Sabtu, 17 Desember 2011

Gharaib Alquran



MAKALAH ULUMUL QUR’AN
( GHARAIB ALQUR’AN )





Makalah ini Disusun guna memenuhi
Tugas mata kuliah ULUMUL QUR’AN

Dosen pengampu : Prof. Dr. Nashiruddin Baidan
Disusun oleh : Faisal Amin


JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2008

PENDAHULUAN
            Dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang sukar pemahamannya , adalah suatu kenyataan yang sulit di bantah. Mengkaji hal itu secara ilmiah dan mendalam amat penting agar terhindar dari penafsiran dan pemahaman yang keliru. Kondisi ayat yang demikian telah menarik perhatian ulama tafsir dimasa lampau. Diantaranya karangan al-Isfahani. Namun tulisan pakar tersebut tenatang permasalahan ini, tidak membicarakan cara memahami ayat-ayat sukar tersebut melainkan secara langsung memberikan pejelasan atau penafsirannya. Pada hal ini kita akan membicarakan tntang ilmu tafsir bukan menafsirkan sebagaimana mereka. Dalam hal ini ada sebuah hadist dari Abu Hurairot yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
" أَعْرِبُوْا الْقُرْآنَ وَ التَّمِسُوْا غَرَائِبَهُ "
(Terangkanlah makna-makna yang terkandung didalam Alqur’an dan carilah peringatan kata kata yang sukar)
Jadi yang dikaji disini ialah ilmu tentang menafsirkan “gharaib” Alqur’an , bukan menafsirkan ayat ayat Alqur’an yang sukar dalam Alqur’an
PENGERTIAN
            Lafal gharib berasal dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti asing atau sulit pengertiannya. Apabila di hubungkan dengan Alqur’an maka yang dimaksud dengannya ialah ayat ayat Alqur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tak dimengerti seperti kata (   اباَّ) dalam ayat 31 surat Abassa ( وَفَاكِهَةَ وَ اَبَّا  ) Jangankan kita yang bukan bangsa arab, bahkan orang Arab asli dan sahabat Rasulullah tak paham maksud kata tersebut. Contoh ketika Abu bakar ditanya tentang ayat tersebut beliau menjawab “ Mana langit yang akan menaungiku, dan mana bumi tempatku berpijak, bila kukatakan sesuatu yang tidak aku ketahui dalam kitab Allah? “.
            Cuplilkan peristiwa di atas dapat dijadikan bukti bahwa dalam Alqu’an memang ada ayat ayat yang sukar dipahami. Ayat-ayat yang serupa itulah yang dimaksud gharaib Alqur’an.
CARA MENAFSIRKANNYA
            Permasalahan ini menjadi problema setelah wafatnya Rasulullah, karena sebelum rasul meninggal permasalahan kembalinya ke rasul. Namun sebelum wafat beliau telah meninggalkan dua pusaka Alqur’an dan Hadist. Nabi menjamin sepenuhnya siapa saja yang berpegang kepada keduanya niscaya tidak akan sesat selama-lamanya.
( تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِى ) (رواه الحكم )                                                Secara teoris kembali keada Alqur’an dan Sunnah boleh disebut tidak ada masalah; tapi problema segera muncul dan terasa sekali memberatkan pikiran ketika teori itu akan diterapkanuntuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi dimasyarakat. Dalam hal ini tidak terkecuali permasalahan tafsir seperti kasus yang dihadapkan kepada Abu Bakar yang telah dikutip di atas.
            Ketika Nabi masih hidup perasalahan tafsir serupa itu belum sempat ditanyakan; lalu beliau wafat sementara ayat-ayat yang gharaib belum sempat dijelaskan pengertiannya. Oleh karenanya cara yang ditempuh ulama dalam memahminya ialah sebagai berikut:
1.      Menafsirkan Alqur’an dangan Alqur’an
2.      Jika tidak ada dalam Alqur’an maka dicari dalam Sunnah;
3.      Kalau tidak juga ditemukan, maka dicari dalam atsar (pendapat) sahabat.
4.      Jika masih belum dijumpai. Maka dicari dalam pendapat para sahabat  dan tabi’in.
Contoh : Kata )  ظُلْمٍ) didalam ayat 82 dari al-An’am :
الّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَلمَ ْيَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلئِكَ لَهُمْ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ. (الأنعام 82)                                                                                                                                                   
            Pemakaian kata zhulm dalam konteks ayat itu terasa membawa pemahaman yang asing dan seakan akan tidak cocok dangan kenyataan sebab hampir tak ditemukan orang-orang yang beriaman yang tak melakukan kezhaliman. Jika demikian halnya tentu tak ada orang beriman yang akan tentram hidupnya dan mereka tak akan mendapat petunjuk, atau dengan perataan lain percuma mereka beriman jika mereka tak akan selamat karena teramat sukar bagi mereka untuk membebaskan diri mereka sepenuhnya dari kezhaliman.
            Oleh karena itu, sahabat bertanya kepada Raul Allah; lalu rasul menafsirkan kata zhulm dalam ayat itu dengan syirik berdasarkan ayat 13 dari surat Luqman                                                                                  
   "لاَ تُشْرِكُ بِاللهِ إِنْ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ "
(Jangan kamu mensekutukan Allah, seungguhnya syirik itu ialah kezaliman yang besar )
            Dari penjelasan Nabi itu diketahuilah bahwa kata zhulm dalam ayat itu berarti syirik bukan kezhaliman biasa. Berdasarkan penjelasan nabi maka ayat 82 dari An’am diterjemahkan sebagai berikut “Orang orang yang beriman dan tidak mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang orang yang mendapat petunjuk “
5.      Melalui syi’ir (syair) arab. Artinya untuk mengetahui maksud dari ayat ayat yang sukar pengertiannya itu dicari padanan pemakaian dan maknannya dalam syair-syair Arab.
Sebagian ulama menolaknya karena cara serupa itu menurut mereka berarti menjadikan syair sebagai asal bagi Alqur’an sendiri tidak menyukai syair seperti tampak pada kecaman dan celaannya terhadap para penyair yang mengubah syair tersebut sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat 224-226 dari surat al-Syu’ara’ sebagai berikut :
    وَالشُّعَرَاءُ يَتْبَعُهُمْ الغَاوُوْنَ أَلمَ ْتَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِمُوْنَ. وَأَنَّهُمْ يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ    ( الشعراء : 224-226 )                                                                         
             (Dan penyair penyair itu diikuti oleh orang orang yang sesat. Tidaklah kamu melihat, mereka           mengembara di tiap tiap lembah; dan mereka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak melakukannya)
           Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa  Allah tak pernah mengajarkan syair kepada Nabi Muhammad SAW dan tak pantas syair itu baginya          ( َومَا عَلَمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِي لَهُ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌ )                     
   Namun sebagian besar  ulama tetap menjadikan syair sebagai salah satu cara dalam memahamai ayat ayat Alquran. Cara serupa ini kata  Abu Bakar bin al-Anbari sebagaimana  dikutip al-Suyuthi, banyak dilakukan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in. Dalam konteks ini Ibnnu Abbas berkata : “Syair (bagikan) kitab (diwan) bagi bangsa arab. Dari itu apabiala sukar bagi kami memahami suatu kata dari Alqu’an yang diturunkan  Allah dalam bahasa Arab, maka kami akan kembali kepada diwan itu (syair); lalu kami mencari pemahaman kata darinya”
         Penegasan Ibnu Abbas ini mengandung makna bahwa para sahabat nabi tidak menjadikan syair sebagai dasar dalam memahami suatu kata melainkan sekedar media alat bantu dalam memahaminya. Kita mengetahui bahwa Alqur’an diturunkan dalam bahasa Arab, dengan demikian, bahasa arab (syair) hanya berfungsi sebagai alat untuk memahami ayat ayat tersebut. Jika demikaian maka tidak ada salahnya bila kita menggunakan syair Arab untuk memahami Alqur’an selama tidak menganggap syair tersebut sebagai asal dari Alqur’an melainkan hanya sekedar memudahkan pemahaman. Sebagai contoh kata “ أَنْدَادًا “ yang terdapat dalam enam tempat dalam Alqur’an yaitu ayat 22 dan 165 dari al-Baqoroh; ayat 30 dari Ibrahim; ayat 33 dari Saba; ayat 8 dari al-Zumar dan ayat 9 dari al-Fushshilat. Menurut Ibnu Abbas kata tersebut mengandung arti bandingan’ ( أَشْبَاهٌ وَأَمْثَالٌ) sebagaimana serupa itu juga ditemukan dalam syair Arab seperti ucapan Habib bin Rabi’ah.
اَحْمَدَ اللهَ فَلاَ نِدَّالَهُ + بِيَدِيْهِ الْخَيْرُ ماَ شاَءَ فَعَلَ "
(Saya memuji Allah, tidak ada {teman} sebanding bagi-Nya. Di tangannya terletak kebaikan, apa yang dikehandaki-Nya pasti terjadi )
FAEDAH MENGETAHUI GHARAIB ALQUR’AN
         Banyak faedah yang dipetik dengan mengetahui dan mempelajari ayat ayat yang ghaibat antara lainnya :
1. Mengundang tubuhnya penalaran ilmiyah. Artinya dengan memelajari ayat ayat yang sulit pemahamannya itu akan melahirkan berbagai ilmu baru dikalangan ulama muslim di dunia ini dan juga menumbuhkan syaraf syaraf baru diotak para pemikir muslim. Jadi jika Alqur’an yang turun itu hanya berisi ayat ayat yang biasa dan mudah dipahami maka kegiatan penalaran ilmiah kurang termotifasi. Dengan demikian tidak akan lahir analisis tajam. Akibatnya otak akan menjadi manja dan kurang berpikir.
2. Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya ke-gharaib-an ayat ayat Alqur’an, maka terasa secara mendalam ketinggian bahasa yang di bawa oleh Alqur’an, baik lafalnya, maupun kandungan yang terkandung didalamnya.
3. Memperoleh keyakianan terhadap eksistensi Alqur’an sebagai kalam Ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat ayat yang gharibat maka diperoleh sesuatu pemahaman yang mendalam dari ayat tersebut.
PENUTUP
         Dari uraian dimuka, jela bagi kita bahwa untuk memahami dan menafsikan ayat ayat yang gharibat diperlukan keluasan  pengetahuan, tidak hanya tentang ‘ulum Alqur’an, melainkan juga hal-hal yang berhubungan dengan budaya, kondisi, adat istiadat bangsa dan bahasa Arab, terutama yang ditemukan ketika  Alqur’an diturunkan. Tanpa mengetahui hal-hal tersebut tidak mustahil bagi kita akan keliru dalam menafsirkan ayat ayat gharibat itu.   

REFERENSI
           Al-Qur’an al-Karim,  al-Madinat al-Munawwarat Majamma’ al-Malik Fahad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Su’udi, t.th.


           Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-1 2005.


           Nashruddin Baidan, Metode penafsiran Alqur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cetm ke-1 2002.


                                                                                                                                                           

SEBAB KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN DAULAH ABBASIYAH


SEBAB KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN 
DAULAH ABBASIYAH
Oleh: Yus Yusuf Zaeni Taziri
A.    PENDAHULUAN
Dalam teori evolusi[1] bahwa segala sesuatu memiliki siklus yang selalu berputar ada hidup dan ada mati seperti dunia yang selalu berputar terkadang diatas dan terkadang dibawah. Begitu juga dalam sejarah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan selalu berputar ada masanya pembentukan dan pembangunan, masa keemasan dan pada akhirnya masa keruntuhan dan kehancuran. Seperti kerajaan Babilonia[2], Gupta[3], Firaun[4], Daulah Umayyah[5], bahkan kerajaan yang pernah berjaya di Indonesia yaitu Majapahit[6].
Dari gambaran diatas banyaknya kerajaan yang berdiri lalu jatuh dan hancur. Hal ini serupa dengan yang dialami oleh Daulah Abbasiyah yang memiliki sejarah panjang selama lima abad dimulai dari masa pembentukan, masa keemasan dan sampai masa kehancuran.[7]
Daulah Abbasiyah merupakan Daulah Islamiyah yang paling besar dan mengalami masa keemasan dari perluasan daulahnya[8], tata kota dan bangunan yang indah[9], pemerintahan[10], ekonomi[11], kesehatan[12], dan pendidikan atau keilmuan[13].
Penjelasan tersebut akan mengejutkan otak kita dan mengerutkan alis kita yang lantaran Daulah Abbasiyah merupakan daulah yang hebat, luas, dan berjaya tetapi mengalami masa keruntuhan, kehancuran dan bahkan lenyapnya Daulah Abbasiyah dari muka bumi.
Maka dari itu, kami akan membahas bagaimana terjadinya keruntuhan Daulah Abbasiyah, faktor apa saja yang menjadikan Daulah Abbasiyah masuk kedalam kehancuran dan keruntuhan baik dari faktor intern atau ekstern.

B.     PEMBAHASAN
Dalam pembahasan kehancuran daulah Abbasiyah kami membaginya kedalam dua segi, yaitu faktor-faktor penyebab kemunduran dan sebab-sebab kehancurannya.
a.      Kemunduran Daulah Abbasiyah
a)   Faktor Intern
1.      Kemewahan hidup di kalangan penguasa
Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Daulah Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung  ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang kepada tentara profesional Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[14]
2.      Melebihkan Bangsa Asing dari Bangsa Arab
Keluarga Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negara yang penting-penting dan tinggi-tinggi, baik sipil ataupun militer kepada bangsa Persia. Mereka itu sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima tentara, wali provinsi, hakim-hakim dan lain sebagainya. Oleh karena itu, umat Arab benci dan amarah kepada khalifah-khalifah serta menjauhkan diri dari padanya. Kebengisan keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya  keluarga Bani Umayah dan perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyin, kian menambah amarah dan sakit hati mereka.[15]
3.      Angkara murka terhadap Bani Umayah dan Alawiyin
Keluarga Abbasiyah melakukan siasatnya dengan menindas dan menganiaya Bani Umayah dan memusuhi kaum Alawiyin yang mengakibtkan kerugian bagi dirinya sendiri. Mereka lupa bahwa berdirinya daulah mereka adalah hasil kerja sama dengan keluarga Alawiyin yang tiada sedikit jasanya kepada mereka dalam menjauhkan kekuasaan Bani Umayah. Akibat dari permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah dan Alawiyin timbullah huru-hara dan pemberontakan hampir diseluruh negeri-negeri Islam.[16]
4.      Perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Banyak sejarawan yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah ialah ketika terjadinya perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun.[17]Tetapi kalau kita cermati lebih dalam bahwa perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah adalah ketika masa khalifah Musa al-Hadi yaitu ketika Musa al-Hadi ingin membatalkan putra mahkota yang diberikan khlaifah al-Mahdi kepada Harun ar-Rasyid dan membai’ahkan putranya sendiri yang bernama Jafar.[18]Walaupun hal ini tidak kesampaian dilaksanakan oleh Musa al-Hadi karena dia telah diburu ajalnya.[19]
5.      Pengaruh bid’ah-bid’ah agama dan filsafat
Beberapa orang khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun, Al-Muktasim dan Al-Wasiq amat terpengaruh oleh bid’ah-bid’ah agama dan pembahasan-pembahasan filsafat. Hal ini menimbulkan bermacam-macam madzhab dan merenggangkan persatuan umat Islam sehingga mereka terpecah belah kepada beberapa partai golongan dan ini menjauhkan hati kaum agamawan.[20]
6.      Konflik keagamaan
Timbulnya konflik keagamaan ini dimulai ketika terjadinya konflik antara Khalifah Ali ibn Thalib dan Muawiyah yang berakhir lahirnya tiga kelompok umat yaitu pengikut Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh. Yang senantiasa berpengaruh baik pada masa Daulah Umayah atau Abbasiyah.[21]Ketika kekhalifahan Abbasiyah muncul juga kaum zindik yang lahir pada masa Khalifah al-Mahdi, kaum ini menghalalkan yang haram dan mencederakan adab kesopanan dan budi kemanusiaan. Oleh karena itu al-Mahdi berusaha menindas golongan ini, sehingga untuk itu dia mendirikan suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang yang pangkatnya bernama “Shahibu az-Zanadiqah”. Tugasnya adalah membasmi kaum itu serta mengikis faham dan pengajarannya.[22]hal ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Khalifah Musa al-Hadi.[23]
7.      Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah
Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah[24].
8.      Ketergantungan dan kepercayaan khalifah kepada  wazir-nya sangat tinggi.
Dalam hal ini kita bisa melihat beberapa khalifah yang terlalu mempercayakan kepercayaannya terhadap wazirnya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah al-Amin yang menyerahkan sekalian urusan daulahnya kepada wazirnya Fadhal ibn Rabi. Dia terkenal pandai memfitnahi dan memburukkan orang lain. Dia pula yang menghasut Harun ar-Rasyid untuk menggulingkan keluarga Barmak dan dia juga yang memutusan tali silaturrahim antara adik dan kakak, yaitu antara al-Amin dan al-Makmun yang mengakibatkan meletusnya perang dua saudara dengan tewasnya al-Amin dan naiknya al-Makmun kesinggasana Khalifah.[25]
b)   Faktor Ekstern
1.      Banyaknya pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak diikuasai oleh khalifah dengan memberikan atau memilih gubernur  dari orang yang telah berjasa kepada khalifah sebagai hadiah dan penghormatan untuknya.[26]Ditambah dengan kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam.[27]Akibatnya provonsi-provinsi yang diberikan khalifah kepada gubernur-gubernur  banyak yang ingin melepaskan diri dari genggaman khalifah Abbasiyah. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad adalah: Pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, kemudian melepaskan diri, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Kurasan.[28]
2.      Bencana Bangsa Turki
Amat besar bahaya umat Turki atas Daulah Abbasiyah. Beberapa khalifah menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala persediaan rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang khalifah sendiri menjadi permainan dalam tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan antara tentara dan rakyat sering terjadi. Permusuhan diantara panglima-panglima Turki itu sendiri kian menambah buruk dan keruh suasana daulah Abbasiyah.[29]
Kelemahan pemerintah pusat di Baghdad itu menjadi peluang bagi kepala-kepala pemerintahan wilayah untuk melakukan siasatnya. Mereka berusaha memutuskan perhubungan dengan khalifah lalu mendirikan kerajaan sendiri-sendiri dalam daerah mereka. Dengan demikian terurailah buhul tali persatuan Daulah Abbasiyah dan berdirilah kerajaan kecil-kecil dalam pekarangan daulah itu senndiri.[30]
3.      Dominasi Bangsa Persia
Pada awal pemerintahan Bani Abbasiyah, keturunan Parsi bekerjasama dalam mengelola pemerintahan dan Daulah Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian khalifah, yaitu dari khalifah Muttaqi kepada khlaifah Muth’ie. Banu Buyah berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat kepada pembesar-pembesar dari pada khalifah, sehingga banyak dari mereka yang menjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka memiliki kedudukan yang kuat, para khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar, bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis atas mata uang, dinar dan dirham.[31]



b.      Sebab-Sebab Kehancuran Daulah Abbasiyah
a)   Faktor Intern
1.      Lemahnya semangat patriotisme negara
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab Daulah Abbasiyah memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab, yaitu: pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.[32]
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljukdan munculnya dinasti-dinasti yang lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah.[33] Dan bahkan ada yang mengaku dirinya khilafah.[34]Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa, terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
2.      Hilangnya sifat amanah
Hilangnya sifat amanah dalam segala perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.[35]
3.      Tidak percaya pada kekuatan sendiri
Tidak percaya pada kekuatan sendiri. Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing. Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.[36]
4.      Fanatik madzhab dan keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
Pada saat gerakan ini mulai tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam Husein Ibn Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut. Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya. Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas intelektual Islam.[37]
5.      Kemerosotan ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta.[38] Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi.[39] Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.

b)   Faktor Ekstern
1.      Disintegrasi
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Bahkan berusaha merebut pusat kekuasan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menghancurkan Sumber Daya Manusia (SDM). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan Fatimiah di Mesir walaupun pemerintahan lainnyapun cukup menjadi perhitungan para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini dapat ditaklukan atas bantuan Bani Saljuk atau Buyah.[40]
2.      Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen.[41] Selain seruan Paus Urbanus ada juga dua faktor penyebab terjadinya perang salib yaitu para pedagang besar yang berada di pantai Timur laut Tengah, terutama yang berada di kota Venezia, Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan laut Tengah untuk memperluas jaringan dagang mereka.[42]Sedangkan sebab lainnya adalah orang-orang Kristen beranggapan jika mereka mati dalam perang salib maka jaminannya adalah surga.[43]
Periodesasi perang salib terbagi menjadi tiga, yaitu Pertama, periode penaklukan yang dimulai oleh pidato Paus Urbanus II yang memotivasi untuk berperang salib. Pada periode ini terjadi beberapa pertempuran yaitu gerakan yang dipimpin oleh Pierre I’ermitte melawan pasukan Dinasti Bani Saljuk. Pasukan ini mudah dipatahkan oleh pasukan Bani Saljuk. Kedua, Gerakan yang dipimpin oleh Godfrey of Bouillon. Gerakan ini merupakan gerakan terorganisir rapi. Mereka berhasil menundukan kota Palestina (Yerussalem) pada 7 Juli 1099 dan melakukan pembantaian besar-besaran terhadap umat Islam. Begitu juga mereka menundukkan Anatalia Selatan, Tarsus, Antiolia, Allepo, Edessa, Tripoli, Syam, Arce dan Bait al-Maqdis. Kedua, periode reaksi umat Islam (1144-1192). Periode ini muncullah pasukan yang dikomandani oleh Imanuddin Zangi untuk membendung pasukan salib bahkan pasukan ini dapat merebut Aleppo dan Edessa. Lalu setelah wafatnya Imanuddin Zangi maka anaknya menggantikannya yaitu Nuruddin Zangi, dia berhasil menaklukan Damaskus, Antiolia dan Mesir. Di Mesir muncullah Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) yang berhasil membebaskan Bait al-Maqdis. Dari keberhasilan umat Islam tersebut membangkitkan kaum Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat. Ekspedisi ini dipimpin oleh raja-raja besar Eropa, seperti Frederick I, Richard I dan Philip II. Disini terjadiilah pertempuran sengit antara pasukan Richard dan pihak Saladin. Pada akhirnya keduanya melakukan gencatan senjata dan membuat perjanjian. Ketiga, yaitu periode perang saudara kecil-kecilan atau periode kehancuran di dalam pasukan Salib.[44]
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya. Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah. Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[45]

3.      Serangan Bangsa Mongol dan jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung "topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut, wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu terhadap sulthan-sulthan Seljuk"[46].
Khalifah menerima usul itu, la keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang. Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh dengan leher dipancung secara bergiliran.[47]
Dengan pembunuhan yang kejam ini berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.[48]
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan tersebut.[49]

C.    KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas mengenai kehancuran Daulah Abbasiyah bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kehancuran baik dari faktor intern atau ekstern. Dari faktor intern adalah kemewahan hidup dikalangan penguasa, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah, konflik keagamaan, luasnya wilayah kekuasaan, lemahnya semangat patriotisme negara, hilangnya sifat amanah, tidak percaya akan kekuatan sendiri, fanatik madzhab dan kemerosotan ekonomi.
Adapun dari faktor ekstern adalah banyaknya pemberontokan, dominasi Bangsa Turki dan Bangsa Persia, disintegrasi, perang salib dan penyerbuan Bangsa Mongol dan jatuhnya kota Baghdad.

D.    PENUTUP
Artikel ini yang berjudul Kehancuran Daulah Abbasiyah berusaha menggambarkan dan menelaah faktor-faktor intern atau ekstern yang menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah.
Tujuan dari artikel ini adalah agar menjadi bahan renungan dan pertimbangan bagi para pejabat, penguasa dan pemerintah dalam menjalankan kebijakan negara supaya tidak terperosok kedalam lubang yang pernah dialami oleh Daulah Abbasiyah.
Kami sangat menyadari bahwa artikel ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak perbaikan. Maka dari itu kita semua agar lebih mendalami dan memahami sejarah Daulah Abbasiyah, khususnya kehancurannya guna adanya perbaikan dan penyempurnaan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA

A Partanto, Pius dan Albarri, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Janibu al-‘Athifiyyu Mina al-Islam Bahtsu fi al-Khalq wa as-Suluk wa at-Tasawwuf, Cet. I. Al-Iskandariyah: Daru ad-Da’wah, 1990.
Al-Iskandari, Umar dan Safdaj, al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II. Ponnorogo: Darussalam Pers, tt.
Bagian Kurikulum KMI Gontor, Tarikh al-Adabi al-‘Arabiyyi Juz II, Ponorogo: Darussalam Pers, tt.
Hajar, Siti, Sejarah Dinasti Bani Umayyah (Artikel), Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Mansur, Hasan. Khaeruddin, Abdul Wahab. ‘Anani, Mushthafa, Ad-Dinu al-Islamiyyu Juz I, Ponorogo: Darussalam Pers, tt.
Maryam, Siti. Dkk., Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003.
Mustafa, Sodiq., Suparman, dan Kuswanto. Kompetensi Dasar Sejarah. Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Mutholib, Abd, dkk., Sejarah Kebdayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995
Osman, A Latif, Ringkasan Sejarah Islam, Cet. XXX. Jakarta: Widjaya, 2000.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Cet. II. Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Sami an-Nasyar, Ali, Nasyatu al-Fikri al-falsafi fii al-Islam Juz I, Cet. IV. al-Iskandariyah: Daru al-Ma’arif, 1966.
Suparman. Sejarah Nasional dan Umum. Cet. III. Solo: 2002.
Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam,Cet. X. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Susiawati, Peradaban Emas Dinasti Abbasiyah (Artikel), Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung, 2011.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Cet. XXI. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.


[1] Evolusi adalah perubahan atau perkembangan secara lambat. Teori evolusi adalah suatu interpretasi tentangg cara terjadinya perkembangan makhluk-makhluk hidup. Pius A Partanto dan M. Dahlan Albarri. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994, hlm. 164.
[2] Sekitar tahun 2000 SM, Bangsa Akkadia yang menguasai Messopotamia diserang oleh Bangsa Amorit. Mereka termasuk bangsa pengembara dari rumpun bangsa Semit. Setelah berhasil mengalahkan bangsa Akkadia kemudian mendirikan kerajaan Babilonia Lama. Ibu kotanya adalah Babilon yang terletak di sungai Eufrat. Kerajaan Babilonia Lama mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Raja Hamurabi (1955-1912). Kerajaan Babilonia Lama yang bernilai tinggi tersebut akhirnya mengalami kemunduran setelah pemerintahan Hamurabi berakhir. Situasi demikian dimanfaatkan bangsa Kassit untuk menyerang Babilonia Lama dan berhasil menguasainya. Namun, dalam perkembangannya Mesopotamia dikuasai oleh bangsa Assiria. Suparman. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai, 2002, hlm. 44-45.
[3] Kerajaan Gupta berdiri dari kejatuhan kerajaan Kanishka lewat perang saudara yang dimenangkan Chandragupta I (320 M). Kebesaran kerajaan Gupta tercapai pada masa pemerintahan Raja Samudragupta (330-375 M). Kejatuhannya dikarenakan serbuan Raja Mihiragula dari suku Hun dengan kejam. Pasukan Gupta tidak berdaya menghadapi serbuan itu dan hancurlah kerajaan beserta kekuasaanya. Suparman. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai, 2002, hlm. 32-33.
[4] Firaun adalah gelar bagi Raja di Mesir. Firaun yang hidup pada masa Nabi Musa merupakan Firaun yang sangat dzalim dan mengaku dirinya sebagi Tuhan yang harus disembah oleh Bangsa Mesir. Kehancuran firaun dan tentaranya terjadi ketika mengejar Nabi Musa As dan pengikutnya melewati laut Merah, Nabi Musa memukulkan tongkatnya kelaut maka terbelahlah laut sehingga terlihatlah jalan besar. Melalui jalan itulah Nabi Musa dan pengikutnya selamat di tepi pantai sebrang. Seketika itu lautpun bersatu kembali, sehingga Firaun dan seluruh tentaranya tertelan ombak laut Merah. Abd Mutholib, dkk., Sejarah Kebudayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995, hlm. 87-89. Lihat pula Al-Qur’an: al-Baqarah: 50.
[5] Para sejarawan mebagi Daulah Umayah menjadi dua, yaitu pertama, Daulah Umayah yang dirintis dan didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Fase ini berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari khilafah menjadi mamlakah. Dan kedua, Daulah Umayah di Andalusia di bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid ibn Abd al-Malik; kemudian diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Daulah Abbasiyah setelah berhasil menaklukan Daulah Umayah di Damaskus. Siti Maryam, dkk. Sejarah Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003, hlm. 79, lihat pula Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hlm. 103.
[6] Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya (1239-1309) dengan cara menaklukan Raja Jayakatwang di Kediri dengan bantuan tentara Mongol dan Arya Wiraja dari Madura. Dalam penyerengan itu Raja Jayakatwang tertangkap dan dibunuh oleh tentara Mongol. Tetapi Raden Wijaya dan Arya Wiraja berbalik arah dengan menyerang tentara Mongol sehingga hancur dan sisanya tunggang-langgang. Kerajaan Majapahit memiliki masa keemasan yaitu ketika Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada yang menguasai seluruh Nusantara bahkan sebagian Thailand (Campa), Indocina, Filipina Selatan dan Malaysia. Majapahit runtuh dikarenakan penyerangan oleh Ranawijaya dari Keidri (1478). Sodiq Mustafa, Suparman, dan Kuswanto. Kompetensi Dasar Sejarah. Solo: Tiga Serangkai, 2004, hlm. 57-65. Lihat pula Suparman. Sejarah Nasional dan Umum. Cet. III. Solo, 2002, hlm. 124-135.
[7] Umar al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo: Darussalam Pers, tt, hlm. 1-11.
[8] Berikut ini merupakan wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah: Afrika disebelah Barat Gurun Libya bersama dengan Sisilia, Mesir, Suriah dan Palestina, Hijaz dan Yamamah, Yaman dan Arab Selatan, Bahrain dan Oman, Bashrah dan Iraq, Sawad atau Mesopotamia, Kufah dan Wash, Jazirah, Azerbaijan, Jibal dan beberapa wilayah lainnya. Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 131.
[9] Pembangunan pada Daulah Abbasiyah, yaitu pembangunan kota Hasyimiyatu al-Kufah yang sangat indah lalu dijadikan ibu kota kerajaan. Begitu juga dibangunkannya kota Baghdad di trmpat yang bagus letaknya, tidak terlalu jauh dari laut, dan terletak di atara sungai Tigris dan Euphrat. Dibangunkan pula kota ar-Rushufah di pinggir Timur kota Tigris yang kemudian dijadikan markas militer. A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam. Jakarta: Widjaya, 2000, hlm. 110.
[10] Pada sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah sudah diberlakukan dewan-dewan dan biro-biro, seperti al-Majlis al-‘Aziz yaitu suatu kantor yang berfungsi untuk berkumpulnya khlaifah dan mentri-mentri dalam membicarakan permasalahan-permasalahan. Diwan an-Nadzar fi al-Madzalim yaitu biro yang menanggulangi kriminal. Ada juga kantor militer, kantor pos, kantor pengawas, dewan penyelidik keluhan dan lain sebagainya. Umar al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo: Darussalam Pers, tt, hlm. 16.
[11]Kemajuan ekonomi Daulah Abbasiyah tidak terlepas dari keluasan wilayahnya yang setiap wilayahnya harus memberikan pajak atau upeti. Dan ini didirong pula oleh perdagan, pertanian, dan pembangunan yang sangat baik berkembang. Umar al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo: Darussalam Pers, tt, hlm. 16-27.
[12]Dalam ilmu kedokteran pada zaman Daulah Abbasiyah ada beberapa ahli kedokteran yang sampai sekarang masih dikenal baik oleh orang Muslim atau non-Muslim yaitu ar-Razi dan Ibn Sina. Adapun buku-buku tentang kedokteran yang dibuat pada masa ini adalah Kitab asy-Syifa, Al-Qanun fi ath-Thib, Kamil ash-Shid’ah ath-Thibbiyah dan Al-Asy’ar Maqalat fi al-‘Ain. Dedi Supriyadi. Ibid, hlm. 135-136.
[13] Hal ini terbukti adanya Bait al-Hikmah yang didirikan oleh al-Makmun (830 M di Baghdad. Lembaga ini merupakan sebagai biro penerjemahan dan pusat kajian akademis dan perpustakaan umum, serta memiliki sebuah observatorium. Observatorium tersebut berfungsi sebagai pusat pembelajaran astronomi dan sekaligus pusat pendidikan kedokteran.  Ada juga Nizhamiyah yang merupakan sekolah akademis didirikan oleh Nizham al-Mulk pada tahun 1065-1067. Di Syiraz terdapat Khizanah al-Kutub yaitu sebuah perpustakaan yang sangat besar dan di dalamnya sarjana yang bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan tersebut. Di Rayy juga terdapat sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Terdapat pula toko-toko buku yang berjejer lebih dari seratus toko di Damaskus dan Kairo. Ibid, hlm. 136-137.
[14]Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm. 61. Lihat pula Dedi Supriadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 137.
[15] A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta: Widjaya, 2000, hlm. 128.
[16] Ibid, 129.
[17] Ibid, 123-124.
[18] Ibid, 116.
[19] Ibid.
[20] Ibid, 129.
[21] Dedi Supriadi. Ibid, hlm. 138.
[22] A Latif Osman, Ibid, hlm. 113.
[23] Ibid, 115.
[24] Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensklopedia Bebas. Bani Abbasiyah.
[25] A Latif Osman. Ibid, 123.
[26] Umar al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikh al-Islamiyyi Juz II. Ponorogo: Darussalam Pers, tt. hlm. 10.
[27] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm.61.
[28] Dedi Supriyadi. Ibid. hlm. 138.
[29] A Latif Osman, Ibid, hlm. 129.
[30] Ibid.
[31] Dedi Supriyadi. Ibid. hlm. 139.
[32] www.google.com. Keruntuhan Daulah Abbasiyah.
[33] Daulah-daulah atau dinasti-dinasti yang lahir ketika kekhalifahan Abbasiyah sangatlah banyak mulai dari bangsa Persia, Turki, Khurdi dan Arab. Daulah yang lahir dari bangsa Persia adalah Bani Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M), Bani Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M), Bani Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M), Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M). Dari bangsa Turki adalah Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M), Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M), Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M) dan Bani Seljuk. Dari bangsa Khurdi adalah al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M), dan al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan oleh Sulthan Shalahuddin al-Ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III. Dari bangsa Arab adalah Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M), Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M), Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M), 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M), Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M), Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M), dan Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
[34] Yaitu Daulah Umayah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.
[35] Dedi Supriyadi. Ibid. hlm. 140.
[36] Ibid.
[37] Badri Yatim. Ibid. hlm. 82-83.
[38] Philip K. Hitti, History of the Arabs, London: Macmillan, 1970, hlm. 485. Ditukil dari Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 82.
[39] Ahmad Amin. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV Rusyda, 1987. Hlm. 42.
[40] Dedi Supriyadi. Ibid. hlm. 141.
[41] Dedi Supriyadi. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hlm. 171.
[42] Ibid, 172.
[43] Ibid.
[44] Ibid, 174.
[45] Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensklopedia Bebas. Bani Abbasiyah.
[46] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.  Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm. 114.
[47] A Latif osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cet. XXX. Jakarta: Widjaya, 2000, hlm. 136.
[48] Ibid.
[49] Ibid.