QIRA’AT
PENDAHULUAN
Pengertian
qira’at secara etimologis adalah masdar dari قرأ-يقرأ yang berarti
“membaca”, dan kata qiraat merupakan jamak dari qiraat. Jadi lafal qira’at
secara ringkasnya berkonotasi “beberapa bacaan”.
Akan tetapi,
beberapa ulama tafsir berbeda pengertian dalam ma’na qira’at secara
teminologis. Seperti dalam kajian ilmu tafsir term ini berkonotasi: “Suatu
aliran dalam melafalkan Al-quran yang dipelopori oleh salah seorang imam(ahli)
qiraat yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan
huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qiraat tersebut darinya serta
jalur yang dilaluinya disepakati”.[1]
Definisi
diatas berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh Ibn al-Jaziri sebagaimana dikutip
al-Zarqoni dari kitab munjid al-Muqriin, ia menegaskan bahwa qira’at adalah
ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an dan perbedaannya, dan tidak
menyatakan qiraat sebagai suatu aliran dan tidak pula menegaskan perlu adanya
kesepakatan dalam periwayatan dan sanad yang dilaluinya.[2] Dari kedua definisi yang
berbeda ini, kita akan membahas kelanjutan dan sebab akibat dari pandangan Ibn
al-Jaziri yang menafyikan qiraat adalah sebagai suatu aliran dan periwayatan
dan jalurnya disepakati.
Dari sini kita
dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu qira’at dalam kajian ini
adalah pengetahuan mengenai qira’at sesuai dengan yang didefinisikan oleh ulam
tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan.
AL-QUR’AN DITURUNKAN ATAS
TUJUH HURUF
Ada yang berpendapat bahwa qiraat tujuh
identik dengan dengan hadits nabi yang menyatakan bahwa al-Quran diturunkan atas
tujuh huruf. Maka kita dapat menyimpulkan, sejauh mana kebenaran dari pendapat
itu, dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tujuh huruf?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita harus megnetahui beberapa hadits nabi yang bersangkutan
dengan kasus ini (al-Quaran diturunkan atas tujuh huruf), dan hadits ini hmpir
sampai kederajat mutawatir, diantaranya,:
1. قال رسول الله صلعم: "أقرأنى جبريل
على حروف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدنى حتى أنتهى الى سبعة أحرف" (رواه
البخارى ومسلم)
2. قال رسول الله صلعم: "ان هذا القران
أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر مننه" (رواه البخارى ومسلم)
3. قال رسول الله صلعم لى (أبى بن كعب): يا
أبى أرسل الى أن أقرأ القران على حرف, فرددت اليه أن هون على أمتى, فرد الى
الثانية, اقرأه على حرفين, فرددت اليه أن هون على أمتى, فرد الى الثالثة, اقرأه
على سبعة أحرف". (رواه مسلم)
Dalam
hadits-hadits yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang
diberikan Rasul Allah saw dalam membaca al-Quran lebih dari satu huruf
dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada umat dalam membaca kitab suci,
sehingga mereka tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar mereka
lafalkan. Sebab pada zaman itu banyak dari kalangan arab yang ummi (buta
huruf),[3]dan terdiri atas berbagai
suku dan puak, masing-masing suku dan kelompok mempunyai bahasa dan dialek yang
berbeda.
Dengan
kemudahan dan kelonggaran yang diberikan nabi dalam membaca al-Quran, maka
mereka makin tertarik kepada islam, sehingga mereka merasakan islam itu
benar-benar diturunkan untuk mereka guna membimbing kehidupan mereka di muka
bumi ini untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain itu ketujuh
bacaan huruf yang disampaikan nabi sama nilainya dan sama orisinalnya, tak ada
kelebihan atau keistimewaan bacaan yang satu dati yang lainnya karena semuanya
sama datang dari Allah. Begitu pula tak ada pertentangan diantara bacaan-bacaan
itu dari segi kandungan maknanya.
Meninjau dari
uraian diatas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian
ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasul Allah tidak identik
dengan qiraat tujuh yang populer dalam dunia islam. Adapun perbedaan antar
keduanya adalah:
Qira’at Tujuh
|
Tujuh Huruf
|
Lahir pada abad II H, populer pada
pertengahan abad IV[4].
|
Muncul pada zaman nabi
|
Tokohnya adalah Ibn Mujahid
|
Berasal dari nabi Muhammad saw
|
Berdasarkan ijtihad ulama
|
Orisinal berasal dari Allah
|
Jadi yang
dimaksud dengan ‘Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” ialah memberi isyarat
kepada umat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-Quran sesuai
dengan bacaan yang mudah bagi mereka, dan ini sesuai dengan hadits Rasul Allah
saw:
ان هذا القران
أنزل على سبعة أحرف فاقرؤو ما تيسر منه
Artinya
Sesungguhnya Al-Quran
diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah olehnu apa yang mudah darinya.[5]
MACAM-MACAM QIRA’AT (YANG SAH DAN
TIDAK SAH)
Yang dimaksud
dengan qiraat yang sah disini adalah qira’at yang diterima dan diakui sahih
oleh para ahli qiraat; artinya qiraat tersebut sesuai dengan yang diajarkan
Rasul Allah saw. Sebaliknya, qira’at yang tidak sah ialah qira’at yang tidak
diakui oleh ahli qiraat berasal dari Rasul Allah atau disebut juga “qiraat
syaddzah”.
Pada mulanya
tak ada qiraat yang tidak sah, tetapi setelah islam menyebar kedaerah-daerah
yang teramat luas, maka dikirimlah para sahabat dan tabiin ke daerah-daerah
tersebut unutk mengajarkan Al-Quran kepada umat. Maka muncullah beberapa qiraat
diberbagai daerah.[6]
Seadangkan yang dimaksd dengan qiraat sepuluh adalah tujuh qiraat yang telah
disebut, ditambah 3 lagi yaitu qiraat Ya’qub al-Hadrami, Khallaf bin Hisyam dan
Yazid bin al-Qoqa’. Adapun qiraat empat belas adalahsepuluh qiraat diatas
ditambah dengan 4 qiraat lainnya yaitu al-Hasan Al-Basyri, Muhammad bin ‘Abd
Rahman, Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi dan Abu al-fajr Muhammad bin Ahmad
Al-Syabudzi.[7]
Para ulama telah memberikan batasan
atau kriteria qiraat yang sah (yang dapat diterima) dan yang tidak sah. Secara
garis besarnya ada tiga kriteria pokok yang harus dimiliki oleh qiraat, apabila
suatu qiraat tidak memenuhinya, maka qiraat tersebut ditolak. Ketiga persaratan
itu ialah;
1.
Cocok dengan kaidah
bahasa arab walaupun dalam satu aspek(wajh).
2.
Cocok dengan tulisan
(rasm) salah satu mushaf Usmani sekalipun secara implisit.
3.
Jalan periwayatannya
benar (sihhatul-isnad) meskipun terambil bukan dari kelompok tujuh dan sepuluh
yang disebutkan diatas.[8]
Tetapi sebagian ulama yang berpendapat
bahwa syarat itu tidaklah cukup, melainkan harus ditambah dengan persyaratan
mutawatir karena syarat utama dalam menetapkan suatu teks sebagai salah satu
ayat adalah mutawatir.[9] Kalau kita mengamati
pendapat yang kedua itu maka kita akan menemukan kekeliruan di dalamnya yaitu,
pertama, jika disyaratkan setiap huruf qiraat harus mutawatir, maka akan
terbuanglah sebagian besar qiraat-qiraat yang tidak disepakati, padahal qiraat
tersebut sudah tetap dari imam-imam qiraat yang tujuh, dan lain-lain.
Selanjutnya tidaklah sama antara Al-Quran dengan qiraat, dan masing-masing mempinyai
substansi yang berbeda. Maka pendapat salaf lebih baik dan selamat dari
pendapat yang kedua (Ibn al-Jaziri).
KEDUDUKAN
QIRA’AT AL-QUR’AN DITINJAU DARI KAIDAH BAHASA ARAB
Para ulama
tafsir sepakat bahwa yang menjadi daar dalam membaca al-Quran ialah riwayat
dari Rasul Allah bukan kaedah bahasa; artinya selama periwayatan suatu qiraat
melalui perawi-perawi terpercaya, maka qiraat tersebut wajib diterima sekalipun
tak cocok dengan kaedah bahasa arab.
Akan tetapi
pendapat ini ditolak oleh beberapa ulama dan sebagian besarnya adalah ahli
nahwu, seperti Sibawahi,[10]dan al-Khlil
bin Ahmad.[11]Diantara
qiraat yang tidak cocok dengan kaedah bahasa misalnya, qiraat hamzah dengan
member harakat kasrah pada akhir kata اللأرحام dalam ayat
pertama surat al-Nisa’[12]:
4#qà)¨?$#ur
©!$#
Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ P%tnöF{$#ur
Contoh lain, misalnya ان هذان لساحران
, para ahli
nahwu menganggap qiraat serupa itu keliru karena tak sejalan dengan kaedah
nahwu. Menurut mereka seharusnya ayat itu berbunyi: ان هذين
لساحران yakni dengan
mengganti “I” (alif) dengan ya karena jata tersebut dimasuki oleh
ان
yang bekerja
me nasbkan kata yang dimasukinya.[13] Meskipun banyak contoh
dari al-Quran yang dapat dikemukakan tidak berdasarkan kaedah bahasa arab
melainkan pada riwayat dari nabi saw. Jadi tidak peduli, apkah cocok dengan
kaidah atau tidak. Inilah yang ditegaskan oleh Abu Hayyan: “ kita tidak
tunduk dibawah pendapat ulama nahwu Basrah, dan tidak pula dibawah pendapat
ahli nahwu lain yang tak sependapat dengan mereka”.[14]
Dengan bukti yang dikemukakan itu
jelaslah bahwa al-Quran mempunyai aturan khusus dalam penerapan kaidah-kaidah
bahasa arab. Oleh karena itu tak mungkin dinilai keabsahan struktur kalimat
al-Quran hanya berdasarkan kaidah bahasa arab semata, malah sebaliknya : Seyogyanya
–tulis Anshari- menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi yang tak kering
dalam penetapan setiap kaidah bahasa.[15]
PENGARUH QIRA’AT TERHADAP
PENETAPAN HUKUM
Banyak
contoh-contoh qiraat didalam al-Quran yang bisa kita ambil kesimpulan bahwa qiraat itu berpengaruh
terhadap penetapan hukum. Misalnya kata لامستم النساء (dengan
memanjangkan bacaan لا ), Qiraat ini
diriwayatkan oleh lima orang qori yang tujuh itu yaitu: Nafi’, Ibn Katsir, Abu
Amr, ‘Ashim, dan ‘Amir. Sementara lainnya yakni Hamzah dan al-Kisai membacanya لمستم (tanpa memanjangkan bacaan lam).[16]
Pendapat peertama
mengatakan (yang memanjangkan lam) bahwa
yang dimaksud dengan لامستم dalam ayat itu
ialah jimak; artinya, baru batal wudhu jika pria dan wanita melakukan jima.
Berbeda dengan kelompok kedua yang cenderung dengan membaca لمستمmengatakan dan menetapkan
hukum, bahwa yang dimaksud dengan ayat diatas adalah asal bersentuhan kulit
laki-laki dan perempuan secara lngsung tanpa batas, batal wudhu masing-masing
pihak. Ini menunjukkan bahwa qiraat itu berpengaruh pada penetapan hukum.
HIKMAH
AL-QUR’AN DITURUNKAN ATAS TUJUH HURUF
Dari sejumlah
hadits banyak yang menunjukkan hikmah dari diturunkan al-Quran atas tujuh huruf
adalah untuk memberikan kemudahan bagi umat dalam membaca al-Quran, tetapi
tidak ada salahnya kita mencoba merenungkan untuk menangkap sinyal-sinyal
hikmah tersebut, sehingga tampak kepada kita bahwa perbedaan bacaan itu
mengandung nilai yang tidak kecil antara lain sebagai berikut:[17]
1.
Memperkokoh kesatuan umat
2.
Bukti keagungan al-Qur’an
3.
Memberikan kelegaan pada
umat
4.
Memberikan kemudahan
KESIMPULAN
Diturunkannya
qiraat pada nabi saw adalah untuk mempermudah dan memberikan kelegaan pada umat
islam dalam membaca kitab sucinya agar mudah dipahami dan diambil hikmah yang
terdapat didalamnya. Qiraat juga memberikan pengaruh terhadap penetapan hukum
dan qiraat tidak tunduk atau terikat pada kaedah bahasa arab tetapi sebaliknya,
seharusnya kaedah bahasalah yang harus mengikuti al-Qur’an.
REFRENSI
1.
Muhammad A’bd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manahil
al-‘Irfani, Mesir, al-Bab al-Habibi, I.t.t.
2.
Ibn al-Jaziri, al-Nasyr fi al-qiraat
al-Asyr, Beirut, Darul-fikr,t.t.
3.
Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan
baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta 2005.
4.
Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad
bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Kairo, Darulkatib,
al-arabi, V,1967.
5.
Al-Ansari, Ahmad Makki, Difa’ an
al-Quran Didh an-nahwiyin wa al-Musytasyriqiin, Mesir, Darul-Ma’arif, 1973.
[1] Muhammad A’bd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manahil
al-‘Irfani, Mesir, al-Bab al-Habibi, I.t.t, hlm 412. Dikutip dari buku
wawasan baru ilmu tafsir karangan Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, bagian kedua
komponen eksternal jati diri al-quran & kepribadian mufassir, bab !,
qiraat, pustaka pelajar, Yogyakarta 2005, hlm 92.
[2] Ibid, hlm 93.
[3] Ibid,143
[4] Ibn al-Jaziri, al-Nasyr fi
al-qiraat al-Asyr, Beirut, Darul-fikr,t.t. I, hal 24.
[5] Al-Zarqoni,op, cit., hal 144.
[6] Qiraat ‘Abd Allah bin Katsir al Dari(
wafat 120 H) di Makkah, Qiraat Nafi’ bin ‘abd Rahman bin Abi Na’im (wafat 169)
di madinah, Qiraat ‘Abd Allah al-Yasyubi di Syam, Qiraat Hamzah di Kufah,
Qiraat Ya’Qub, Qiaraat ‘Asyim dll.
[7] Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan
baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta 2005, hal 104
[8] Shubhu al-Shalih, op. Cit., h.
250
[9] Ibn al-Jaziri, loc. Cit.
[12] Al-Ansari, Ahmad Makki, Difa’ an al-Quran
Didh an-nahwiyin wa al-Musytasyriqiin, Mesir, Darul-Ma’arif, 1973. Hal 1
[13] Al-Anshari,op. Cit, h. 61
[14] Abu Hayyan, op. Cit, h. 159
[15] Al-Anshari, op.cit. h. 9
[16] Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad
bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Kairo, Darulkatib,
al-arabi, V,1967, h 233
[17] Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan
baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 114-115