‘Ulum al- Qur’an dan Perkembangannya
Oleh
: Ikhsan Rifa’i S.W
Pendahuluan
Sebagai sumber utama
ajaran Islam, al-Qur’an dalam membicarakan suatu masalah sangat unik, tidak
tersusun secara sistematis sebagaimana buku-buku ilmiah yang dikarang manusia.
Al-Qur’an jarang sekali membicarakan suatu masalah secara rinci, kecuali
menyangkut masalah aqidah, pidana dan beberapa masalah tentang hukum keluarga.
Umumnya, al-Qur’an lebih banyak mengungkapkan suatu persoalan secara global dan
seringkali menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip dasar dan garis
besar. Keadaan demikian, sama sekali tidak berarti mengurangi keistimewaannya
sebagai firman Allah, bahkan sebaliknya, di situlah letak keunikan dan
keistimewaan al-Qur’an yang membuatnya berbeda dari kitab-kitab lain.
Sebagaimana
diketahui bahwa al- Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafadz maupun
uslubnya, suatu bahasa yang kaya akan kosa kata dan sarat makna. Kendati
berbahasa Arab, bukan berarti al- Qur’an susah untuk dipelajari, dipahami atau
bahkan dihafalkan bagi orang non Arab, pun sebaliknya tidak semua orang Arab
atau orang yang mahir bahasa Arab dapat memahaminya secara rinci, karena dalam
memahami al- Qur’an tidaklah cukup dengan menguasai bahasa Arab saja[1],namun
lebih dari itu juga harus manguasai ilmu penunjang ( ilmu alat ).
Hasbi
as Shiddieqi menyatakan, untuk dapat memahami al- Qur’an dengan sempurna,
bahkan untuk menterjemahkannya sekalipun diperlukan sejumlah ilmu pengetahuan
yang disebut ‘Ulum al- Qur’an.[2]
Pengertian ‘Ulum al- Qur’an
Secara
etimologis, ‘ulum al Qur’an merupakan gabungan dari dua kata bahasa Arab yaitu ‘ilm
dan al Qur’an. Kata ‘ulum merupakan bentuk kata jama’ dari kata ‘ilm,
bentuk mashdar dari kata ‘alima ya’lamu ( علم- يعلم ) yang berarti mengetahui.[3]
Kata ‘alima juga disinonimkan dengan ‘arafa ( mengetahui,
mengenal ). Kata ‘ilm semakna dengan ma’rifah yang berarti “
pengetahuan “, sedangkan ‘ulum ( علوم ) berarti
sejumlah pengetahuan.
Arti
kata Qur’an dari segi derivasi/isytiqaqnya terdapat beberapa
pandangan dari para ulama’,
antara lain :
1) Qur’an adalah bentuk mashdar
dari kata kerja qara’a ( قرأ ) yang berarti “bacaan”. Kata ini selanjutnya berarti
kitab suci yang diturunkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw. pendapat ini
berdasarkan firman Allah swt : فإذا قرأنه فاتبع قرأنه
(apabila Kami telah
selesai membacanya, maka ikutilah bacaannya). Pendapat ini diantaranya dianut al Lihyan (w. 215 H).
2) Menurut al-Zujaj (w. 311 H),
Qur’an adalah kata sifat dari al-qar’u yang bermakna al jam’u yang berarti
kumpulan. Selanjutnya kata ini digunakan sebagai salah satu nama bagi kitab
suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., karena al Qur’an terdiri dari
sekumpulan surah dan ayat, memuat kisah-kisah, perintah dan larangan, dan
mengumpulkan inti sari dari kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
3) Kata al-Qur’an adalah ism
alam, bukan kata bentukan dan sejak awal digunakan sebagaimana bagi kitab suci
umat Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari imam Syafi’i (w. 204 H).
Menurut
Abu Syubhah, dari ketiga pendapat di atas, yang paling tepat adalah pendapat
pertama,[4]
yakni al-Qur’an dari segi isytiqaqnya, adalah bentuk mashdar dari kata qara’a.
Adapun al- Qur’an, sebagaimana didefinisikan ulama ushul, ulama fiqh, dan ulama
bahasa adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad saw,
yang lafazh-lafazhnya mengandung mu’jizat, membacanya mempunyai nilai ibadah,
diturunkan secara mutawatir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat al
Fatihah (1) sampai akhir surat an Naas (114).[5]
Dengan demikian, secara bahasa, ‘Ulum al-Qur’an
adalah kumpulan sejumlah ilmu yang berkaitan dengan al-Qur’an`.
Secara
terminologis, ‘ulum al-Qur’an didefinisikan oleh para pakar di bidang ini
dengan sangat beragam.
1 ) Menurut
Manna’ al-Qathan.
العلم الذي يتناول الأبحاث المتعلقة بالقرآن من حيث معرفة
أسباب النزول وجمع القرآن وترتيبه ومعرفة المكي والمدني والناسخ والمنسوخ والمحكم
والمتشابه إلى غير ذلك مماله صلة بالقرآن.
Artinya :
“ Ilmu yang mencakup pembahasan-pembahasan yang
berhubungan dengan al-Qur’an dari segi sebab turunnya, pengumpulan dan
urutan-urutannya, pengetahuan tentang ayat-ayat Makiyyah dan Madaniyyah, nasikh
dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dan hal-hal lain yang terkait dengan
al-Qur’an”.
2 ) Menurut
Az-Zarqani.
مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من ناحية نزوله وترتيبه وجمعه و
كتابته وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ودفع الشبه عنه ونحو ذلك.
Artinya :
“ Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan
al-Qur’an dari segi turunnya, susunannya, pengumpulannya, penulisannya,
bacaannya, tafsirnya, kemu’jizatannya, nasikh dan mansukhnya, penolakan dari
hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan terhadapnya dan sebagainya “.
3 ) Menurut
Abu Syahbah.
علم ذو مباحث تتعلق بالقرآن الكريم من حيث نزوله وترتيبه
وكتابته وجمعه وقراءته وتفسيره وإعجازه وناسخه ومنسوخه ومحكمه ومتشابهه إلى غيرذلك
من المباحث التى تذكرفى هذاالعلم
Artinya :
“ Ilmu yang memiliki banyak objek pembahasan
yang berhubungan dengan al-Qur’an, mulai dari proses turunnya, urutannya,
penulisannya, kodifikasinya, cara membacanya, penafsirannya, kemu’jizatannya,
nasikh-mansukhnya, muhkam-mutasyabihnya, serta pembahasan lainnya “.
Tiga definisi yang dikemukakan di atas, pada
dasarnya tidak memiliki perbedaan yang berarti. Ketiganya mempunyai maksud yang
sama dan sepakat dalam dua hal penting, yaitu : Pertama, bahwa ‘ulum
al-Qur’an adalah sejumlah ilmu pengetahuan yang membahas tentang al-Qur’an. Kedua,
masing-masing membuka peluang kemungkinan masuknya aspek lain kedalam
pembahasan ‘ulum al-Qur’an dalam pengertian tidak memberikan batasan yang pasti
tentang jumlah ilmu-ilmu yang masuk dalam kategori ‘ulum al-Qur’an.
Sejarah dan Perkembangan ‘Ulum al-Qur’an
Istilah
‘ulum al-Qur’an belum dikenal pada masa awal pertumbuhan Islam, mengenai
kemunculan istilah tersebut untuk pertama kalinya, para penulis menyatakan
bahwa Abu Farj bin Al Jauzi adalah yang pertama kali menggunakan kata tersebut
pada abad ke-6 H. Pendapat ini disitir pula oleh As Suyuthi dalam pengantar
kitab Al Itqan.
Adapun
Az Zarqani menyatakan bahwa istilah itu muncul pada awal abad V H, yang
disampaikan oleh Al Hufi ( w. 430 H ) dalam karyanya yang berjudul Al Burhan
fi ‘Ulum al-Qur’an. Namun, analisis tersebut mendapat kritikan oleh Abu
Syahbah. Kritiknya itu menyangkut
penyebutan ‘ulumul al-Qur’an pada kitab Al Burhan fi Ulumul Qur’an
yang pertama kali muncul. Persoalannya, Az Zarqani menyatakan bahwa juz 1 kitab
itu hilang. Lalu, dari mana ia memperoleh nama kitab itu ? Akan tetapi, setelah
dilakukan pengecekan terhadap kitab Kasyf Azh-Zhumun, demikian kata Syahbah, ternyata kitab itu bernama Al-Burhan
fi Tafsir Al-Qur’an. Pendapat lain dikemukakan Subhi Ash Shalih[6].
Ia berpendapat bahwa istilah ‘ulum al-Qur’an sudah muncul sejak abad III H.
yaitu ketika Ibn al Marzuban menulis kitab yang berjudul Hawi fi ‘Ulum
Al-Qur’an.
Dalam
perkembangannya kaitannya dengan ‘ulum al-Qur’an terbagi menjadi beberapa fase sebelum
akhirnya mencapai kesempurnaannya :
1. Fase
sebelum kodifikasi
Pada
fase sebelum kodifikasi, ‘ulum al-Qur’an telah dianggap sebagai benih yang
kemunculannya sangat dirasakan sejak masa Nabi. Hal itu ditandai dengan
kegairahan para sahabat untuk mempelajari Al Qur’an dengan sungguh-sungguh. Terlebih
lagi diantara mereka, sebagaimana diceritakan oleh Abu Abdurrahman As Sulami,
memiliki kebiasaan untuk tidak berpindah ke ayat lain, sebelum memahami dan mengamalkan
ayat yang sedang dipelajarinya. Nampaknya, itulah yang menyebabkan Ibn Umar
memerlukan waktu delapan tahun hanya untuk menghafal surat Al Baqarah.
Salah
satu dari beberapa riwayat yang membuktikan adanya penjelasan Nabi saw. kepada
para sahabatnya menyangkut penafsiran Al-Qur’an adalah riwayat yang dikeluarkan
oleh Ahmad, Tirmidzi, dan yang lainnya dari ‘Adi bin Hayyan. Ia berkata bahwa
Rasulullah SAW. pernah bersabda :
إن المغضوب عليهم : هم اليهود, و إن الضالين : هم النصاري
Artinya :
“Yang dimaksud dengan orang-orang yang dimurkai
Allah adalah orang-orang Yahudi, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang
tersesat adalah orang-orang Nasrani”.
Adapun
tokoh-tokoh para perintis ‘ulum al-Qur’an pada masa sebelum kodifikasi yaitu :
1) Dari kalangan sahabat :
Khulafa’ ar-Rasyidin, Ibn ‘Abbas, Ibn Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Ubai bin Ka’ab,
Abu Musa al Asy’ari, dan Abdullah bin Zubair.
2) Dari kalangan tabi’in : Mujahid, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah,
Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair, dan Zaid bin Aslam.
3) Dari kalangan tabi’i tabi’in
adalah Malik bin Anas, yang belajar dari Zaid bin Aslam.
Tokoh-tokoh ini dianggap sebagai orang-orang
yang meletakkan dasar ilmu tafsir, ilmu asbab an nuzul, ilmu nasikh dan
mansukh, ilmu gharib al-Qur’an, dan lain-lain.
2. Fase Kodifikasi
Sebagaimana
diketahui, pada fase sebelum kodifikasi, ‘Ulum al-Qur’an dan ilmu-ilmu lainnya
belum dikodifikasikan dalam bentuk kitab atau mushaf. Satu-satunya yang sudah
dikodifikasikan saat itu hanyalah al-Qur’an. Hal itu terus berlangsung hingga
‘Ali bin Abi Thalib memerintahkan Abu al-Aswad ad Duali untuk meletakkan
kaedah-kaedah bahasa Arab (ilmu Nahwu). Dari sinilah terbuka pintu gerbang bagi
pengkodifikasian ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab. Pengkodifikasian itu semakin
marak dan meluas ketika Islam berada di bawah pemerintahan bani Umayyah dan
bani ‘Abbasiyyah pada periode-periode awal pemerintahannya.
Kemudian,
penyusunan ilmu-ilmu agama mulai berkembang semenjak itu yang diawali dengan
disusunnya ilmu tafsir yang merupakan induk ‘Ulum al-Qur’an pada abad ke II H
dan terus berlangsung secara komperehensif serta semakin banyak bermunculan
karya para ulama tentang ‘ulum al-Qur’an hingga abad ke X H. Pada abad ini
lahir karya Jalaluddin ‘Abdurrahman bin Kamaluddin as-Suyuthi ( 849-911 H )
yang berjudul At Tahbir fi ‘Ulum at-Tafsir dan merupakan kitab ‘ulum
al-Qur’an paling lengkap karena memuat 102 macam ilmu Al-Qur’an. Selain itu
beliau juga menyusun kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an yang membahas 80
macam ilmu Al-Qur’an yang tersusun secara sistematis.
Setelah
wafatnya As- Suyuthi pada tahun 911 H, perkembangan ilmu Al-Qur’an seolah-olah
telah mencapai puncaknya dan berhenti dengan berhentinya para ulama dalam
mengembangkan ilmu-ilmu Al-Qur’an hingga akhir abad XIII H. Kemudian memasuki
abad XIV H, perhatian ulama bangkit kembali, hal ini dipicu oleh kegiatan
ilmiah di Universitas Al-Azhar Mesir, terutama ketika dibukanya jurusan bidang
studi yang salah satu jurusannya adalah tafsir hadist. Di abad ini pula mulai
ada sedikit pengembangan tema pembahasan oleh para ulama, di antaranya berupa
penterjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa-bahasa ‘Ajam.
Ruang Lingkup dan Pokok Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan ‘Ulum al-Qur’an terdiri
atas enam hal pokok berikut :
1. Persoalan turunnya Al-Qur’an
( Nuzul Al-Qur’an ),
2. Persoalan sanad ( rangkaian
para periwayat ),
3. Persoalan qira’at ( cara
pembacaan Al-Qur’an ),
4. Persoalan kata-kata Al-Qur’an,
5. Persoalan makna-makna
Al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum,
6. Persoalan makna Al-Qur’an
yang berpautan dengan kata-kata Al-Qur’an.
Cabang-Cabang (Pokok Bahasan) ‘Ulum al-Qur’an
Di antara cabang-cabang ‘ulum al-Qur’an, terdapat
17 cabang yang paling penting, yaitu :
1. Ilmu Mawatin al-Nuzul,
yaitu ilmu yang menerangkan tempat turunnya ayat.
2. Ilmu Tawarikh al-Nuzul,
yaitu ilmu yang menerangkan tentang masa turunnya ayat dan tertib turunnya.
3. Ilmu Asbab al-Nuzul,
yaitu ilmu yang menerangkan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat.
4. Ilmu Qira’ah, adalah
ilmu yang menerangkan tentang macam-macam bacaan Al-Qur’an, mana yang shahih
dan tidak.
5. Ilmu Tajwid, adalah
ilmu tentang tata cara membaca Al-Qur’an.
6. Ilmu Gharib al-Qur’an,
yang membahas tentang makna kata-kata yang ganjil, yang tidak lazim digunakan
dalam kehidupan sehari-hari.
7. Ilmu I’rab al-Qur’an,
yang membahas tentang kedudukan suatu lafaz dalam kalimat (ayat) dan
harakatnya.
8. Ilmu Wujuh wa al-Naza’ir,
ilmu yang menjelaskan tentang lafadz-lafadz dalam Al-Qur’an yang mempunyai
banyak arti, dan menerangkan makna yang dimaksud pada suatu tempat.
9. Ilmu Ma’rifah al-Muhkam wa
al-Mutasyabih, ilmu yang membahas tentang ayat-ayat muhkam dan ayat-ayat
mutasyabih.
10. Ilmu Nasikh wa Mansukh,
ilmu yang membahas ayat-ayat yang dianggap mansukh oleh sebagian ulama’.
11. Ilmu Bada’i al-Qur’an,
yang membahas tentang keindahan susunan ayat-ayat al-Qur’an, kesusasteraannya,
serta ketinggian balaghahnya.
12. Ilmu I’jaz al-Qur’an, ilmu
yang secara khusus membahas tentang kemu’jizatan al-Qur’an.
13. Ilmu Tanasub Ayat
al-Qur’an, membahas tentang kesesuaian ayat yang satu dengan yang lainnya.
14. Ilmu Aqsam al-Qur’an,
membahas tentang arti dan tujuan sumpah Allah dalam Al-Qur’an.
15. Ilmu Amtsal al-Qur’an,
membahas tentang perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur’an.
16. Ilmu Jidal al-Qur’an,
membahas tentang bentuk-bentuk perdebatan dalam Al-Qur’an
17. Ilmu Adab Tilawah al-Qur’an,
ilmu yang membahas segala aturan yang harus dipakai dan dilaksanakan dalam
membaca al-Qur’an.
Urgensi Mempelajarinya
Untuk
dapat memahami ajaran Islam secara sempurna ( kaffah ) diperlukan
pemahaman terhadap kandungan al- Qur’an dan mengamalkannya dalam kehidupan
sehari-hari secara sungguh-sungguh dan konsisten. Dan pemahaman itu akan
diperoleh seorang muslim dengan jalan mempelajari ilmu-ilmu kaitannya dengan Al-Qur’an
al-Karim. Dengan tujuan dapat menggali dan menemukan rahasia-rahasia ilmu pengetahuna
yang masih terpendam di dalam Al Qur’an. Lain dari pada itu, hendaklah setiap
muslim selalu berpegang teguh terhadap Al-Qur’an dan tidak sekali-kali mencoba
untuk berlepas dari padanya. Sebagaimana hadist Nabi SAW :
عن ابن عمر رضي الله عنهما : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : إنما صاحب
القرآن كمثل الإبل المعلقة إن عاهد عليها أمسكها وإن أطلقها ذهبت.
Artinya :
“ Perumpamaan Al Qur’an itu bagaikan unta yang
terikat, jika diperhatikan ikatannya akan tetap bertahan, dan jika dilepas ia
akan pergi “.[7]
Hanya saja ada sebuah persoalan rumit yang selalu
menjadi sebab kita tak pernah mendapatkan itu semua, yaitu keengganan kita
untuk mengkajinya. Kita tak pernah berhasil benar dalam meraih puncak ilmu,
petunjuk dan kebahagiaan, karena kita lebih sering terasing dari Kitab yang
mulia ini.kita tidak pernah benar-benar seperti yang dikatakan oleh
seorang sahabat Nabi, “Bacalah Al-Qur’an
seolah ia baru diturunkan saat ini untukmu”. Maka tidak mengherankan jika kita
pun seperti yang dikatakan Utsman Radhiyallahu ‘Anhu, “Jika saja hati kalian
itu suci, maka ia tak akan pernah kenyang dan puas dengan Kalamullah.”[8]
Penutup
Demikianlah,
bahwa Al-Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan inspirasi
kebenaran yang tak pernah kering dan habis. Tapi di saat yang sama, Al-Qur’an
adalah sumber segala kebahagiaan sejati.
Mempelajari
Al-Qur’an laksana meminum air laut, semakin banyak diminum semakin terasa haus.
Begitu pula mempelajari Al-Qur’an, semakin didalami semakin terasa miskinnya
ilmu seorang hamba dan semakin jelas kelihatan di setiap sisinya memancarkan Nur
( cahaya ).
Daftar Pustaka :
1. Al Munawar, Said Agil Husin, Al
Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Ciputat Press, 2002
2. Anwar, Rosihon, Ulumul
Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, Cet. III, 2006
3. Al Qaththan, Manna’, Pengantar
Studi Ilmu Al Qur’an, Pustaka Al Kautsar,2006
4. Ali Ash-Shabuni, Muhammad, Ikhtisar
‘Ulumul Qur’an Praktis, Jakarta: Pustaka Amani, 2001
5. Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990 M
[1] Ahmad Amin, Fajr al Islam, (Beirut: Dar al-Kutub, 1975),
cet. XI, h. 195-196.
[2]T.M. Hasbi as Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/
Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang,1980), Cet. VII h.112
[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia , (Jakarta: Hidakarya
Agung,1990), Cet. VIII, h. 277
[4] Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah, al-Madkhal li Dirasah
al-Qur’an al-Karim, h. 19-20
كلام الله المنزل على نبيه محمد صلىالله عليه وسلم المعجز المتعبد بتلاوته
النقول بالتواتر
المكتوب فىالمصاحف من أول سورة الفاتحة إلى أخر سورة الناس
Muhammad bin
Muhamamad Abu Syahbah, Al-Madkhal li Dirasat Al-Qur’an Al-Karim Maktabah As
Sunnah, Kairo,1992, h. 18-20
[8] Syikh Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an,(Pustaka
Al Kautsar, 2206),cet I
Ketika saya masih aktip mengelola Studi Ilmu al-Quran di Pascasarjana UIN SGD Bandung ada berita: Konsentrasi Studi a-Quran boleh membuka S3. Tapi pimpinan pasca minta agar itu digabung dg S3 Studi Hadit,,dan Ketua Konsentrasi inilah yg mengatur segalanya.Tetapi ada berita lagi bahwa dua S3 konsentarsi itu tidak jadi dibuka. Setelah saya pensiun dan dilepas dari UIN Bdg, nama saya dicantumkan terus dalam jadwal kuliah, tetapi tidak dihubungi atau diberi tahu sama sekali.Yg berperan dan menentukan segalanya adalah dosen yang dicantumkan an asistean saya. Saya sendiri sama selaki tidak tahu segalanya. Itulah kehebatan UIN dalam mengatur kurikiulum dan administrasinya.
BalasHapusDulu banyak alumni S2 Studli al-Quran yang ingin meneruskan S3-nya. Tetapi krn ada hal2 lain, mk mereka masuk S3 yg bukan Studi al-Quran. Meskipun begitu mrk tetap konsen pada Studi al-Quran.
Tampaknya S3 Studi al-Quran di UNI Bdg masih banyak peminat dan dosen2 yang dibanggakan oleh UIN Bdg masih belum memadai.Profesor yang ada skrang belum banyak kreasi untuk mengembangkan Ulum al-Quran atau Tafsir al-Qurna. Maka agar Studi al-Quran tetap berkembang saya kirimkan pemikiran liwat google semacam ini.Utk mengembangkan Ulum al-Quran,buka google Model-model Peng-embangan Ulum al-Quran, dan untuk mengembangkan tafsir al-Quran, pertama buka " Falsafat Ilmu Tafsir" dalam buku 70 tahun Prof. Dr. H.A. Chozin Nasuha, dan kedua, Insya Allah akan saya tulis tentang Pengembangan Tafsir al-Quran.
(A. Chozin Nasuha Rektor Institut Studi Islam (ISF) Cirebon).- . .