HERMENEUTIKA
Oleh: Amirul Bakhri
Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kalam Allah
yang diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk bagi manusia dalam
menjalani kehidupan dunia menuju kehidupan akhirat kelak. Dewasa ini muncul
penafsiran baru didalam kajian islam yang berasal dari dunia luar islam sendiri
yang bernama Hermeneutika. Agar tidak terjebak dalam pemikiran menerima atau
menolak Hermeneutika, kita perlu mengkaji, menelaah dan mempelajarinya supaya
tidak ada kesalahan dalam menyikapi hermeneutika tersebut.
Pengertian Istilah
Secara epistimologis Hermeneutik
berasal dari kata kerja dalam bahasa yunani Hermeneuein yang berarti
menafsirkan.[1]
Lahirnya istilah Hermeneutik tidak lepas dari tokoh mitologis yunani kuno yang
bernama Hermes yang ditugaskan menerjemahkan pesan-pesan dari dewa digunung
Olympus kedalam bahasa manusia. Berdasarkan tugas Hermes itu maka Hermeneutik
mengandung pengertian "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti ".[2]
Berangkat dari pemahaman
tersebut maka tampak kepada kita bahwa Hermeneutik adalah pembahasa
tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan
suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha
menyampaikannya kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka.[3]
Menurut Rudi al Hana Hermeneutika adalah disiplin ilmu filsafat yang berupaya
menjelaskan, mengungkap, memahami dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dan
pengejawantahan dari suatu teks wacana dan realitas sehingga sampai pada isi,
maksud dan makna sebenarnya.[4]
Dalam perkembangannya,
hermeneutika tak lagi dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan
filsafat. Para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk
memahami teks-teks Bible Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible
tersebut. Para teolog dari kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah
Bible itu kalam Tuhan atau kalam manusia? Ini karena banyaknya versi Bible
dengan pengarang yang berbeda.[5]
Hermeneutika, Tafsir dan Takwil
Untuk mengetahui persamaan
maupun perbedaan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir serta Takwil terlebih dahulu
kita perlu mempelajari pengertian Ilmu Tafsir dan Takwil itu sendiri. Menurut
Dr. Mahmud Ayub Tafsir adalah penjelasan umum sebuah ayat dengan untuk menemukan
makna luarnya serta penerapannya. [6]
sedangkan menurut Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Tafsir adalah keterangan atau
penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an atau kitab suci lain sehingga lebih
jelas maksudnya. Sedang Ilmu Tafsir menurutnya adalah ilmu yang membahas semua
aspek yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur'an,mulai dari sejarah turunnya
al-Qur'an, sebab-sebab turunnya, qira'at, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat
mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dan
sebagainya.[7] Sedangkan
pengertian dari Takwil itu sendiri terdapat tiga pengertian antara lain :
- Takwil berarti
menjelaskan makna harfiah teks.
- Takwil berarti
mengiterpretasikan tentang sesuatu.
- Takwil berarti
terbuktinya sesuatu yang kabur menjadi jelas.[8]
Menurut Abdul Muqsith Ghozali membagi
Tafsir menjadi tiga model penafsiran :
- Tafsir tekstual
skriptual
- Tafsir kontekstual
historis
- Tafsir tranfomatif [9]
Tafsir Tekstual Skriptual
Yang dimaksud yang memandang
teks sebagai kebenaran itu sendiri. Tafsir ini merupakan tafsir yang digunakan
oleh para 'ulama dulu hingga sekarang.
Tafsir Kontekstual Historis
Menurut Arkoun dan Nasr Hamid
al-Qur'an secara kultural adala terkonstruk secara kultural dan terstruktur
secara historis artinya disamping memproduk budaya, al-Quran juga produk
budaya.
Contoh :
- tentang isra' mi'rajnya
nabi, menurut Nasr Hamid masjid Aqso disitu tak lain adalah masjid nabawi
di madinah.
- Sujudnya malaikat pada
nabi Adam, dia mengatakan bahwa malaikat sebagai duta sitem dan
pengontrol sunnah alam, menyimbolkan sujudnya alam pada manusia.
- Hukum cambuk bagi
pezina, dia mengatakan bahwa ini berlaku bagi laki-laki atau perempuan
yang tertangkap basah dan perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan dan watak
mereka.
Tafsir Tranformatif
Yang dimaksud Tafsir Tranformatif ialah
tafsir yang memandang perubahan sebagai sarana untuk kebaikan kualitatif yang
berujung pada kebaikan akhlak.
Contoh :
Masdar Farid melakukan tafsir trnformatif
dalam hal zakat dan pajak. Zakat adalah konsep pajak dalam islam. Tidak ada pemisahan
antara zakat dan pajak. Pada zaman rosul umat islam umat islam hanya mengenal
stu bentuk pembayaran harta (wajib) yakni zakat. Sayangnya umat islam telah
memisahkan kedua konsep itu sehingga timbul dalam diri umat islam yang
mengeluarkan pajak seolah membayar untuk kepentingan dunia tidak mendapat
pahala ukhrowi. Untuk itu Masdar menyarankan agar setiap membaya pajak diniati
dalam hati untuk berzakat.
Hermeneutik mempunyai tujuan
yang sangat luhur yaitu menjelaskan kepada umat suatu ajaran sejelas-jelasnya
dan sejujur-jujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh umat itu sendiri. Dari
itu seorang Hermeneut (pengikut Hermeneutik) harus memahami secara mendalam dan
utuh tentang teks yang akan disampaikan nya kepada umat.[10]
Dalam Hermeneuti terdapat
tiga prinsip pokok yang disebut Triadic Stucture yakni satu struktur yang
terdiri atas tiga unsur yang berkaitan dalam proses penafsiran yaitu teks,
interpreter, audien (penerima tafsir). Ketiga aspek tersebut secara implisit
berisi tiga konsep pokok antara lain:
- membicarakan hakikat
sebuah teks.
- apakah interpreternya
memahami teks dengan baik.
- bagaimana suatu
penafsiran dapat dibatasi oleh asumsi-asumsi dasar serta kepercayaan atau
wawasan para audien.[11]
Ketiga unsur pokok yang
menjadi pilar utama dalam teori Hermeneutik itu tidak jauh beda dari yang
dipakai para 'ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an Ibnu Taimiyah misalnya
menyatakan dalam setiap proses penafsirannya harus memperhatikan tiga hal
berikut:
- Siapa yang
menyabdakannya.
- kepada ayat itu
diturunkan.
- ayat itu ditujukan
kepada siapa.[12]
Ilmu Tafsir juga mempunyai
tujuan yang sama dengan Hermeneutik yakni ingin menjelaskan suatu teks
sejujurnya dan seobjektif mungkin. Karena itulah Rosulullah mengancam kepada [13]para
sahabat dan generasi yang akan datang kemudian jika berani menafsirkan
al-Qur'an dengan secara serampangan berdasarkan pemikiran semata (hawa nafsu).
Perbedaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
Sebelum membahas perbedaan
Hermeneutika dengan ilmu tafsir, kita perlu memgetahui ilmutafsir itu sendiri.
Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an sehingga
lebih jelas maknanya. Sedangkan Ilmu Tafsir ialah ilmu yang membahas semua
aspek yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur'an mulai dari sejarah turunnya
al-Qur'an, sebab-sebab turunnya al-Qur'an, qiraat, kaidah-kaidah tafsir,
syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran,
dsb.
Lafal Hermeneutika adalah derivasi
(musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan.
Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan). Hermeneias
dimaknakan oleh Aristotle dalam karyanya, Kategoriai, bermakna pembahasan
tentang peran ungkapan dalam memahami pemikiran, juga tentang satuan-satuan
bahasa seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan (proposition) dan
lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa. Jadi semula, Hermeneutika hanyalah
melulu mengenai makna bahasa semata. Kemudian Hermeneutika berubah dari makna
bahasa ke makna teologi Yunani, kemudian teologi Yahudi dan Kristen, kemudian
kini ke makna istilah filsafat
The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah
studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the
general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan
kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible.
Kemudian Dr UgiSuharto menandaskan: Di
dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajaran Islam, ada
hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qoth’iy al-tsubut
al-wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’iy al-dilalah ada
perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lum min al-din bi al-dhoruroh. Ada
sesuatu yang ijma’ mengenai al-Qur’an, dan ada yang difahami sebagai Al-Qur’an
yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan
dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran
Al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan
kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul
menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaghoyyarot, yang qoth’iy menjadi
dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang
mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin menjadi dhonn bahkan syakk. Alasannya
sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap
hal-hal yang axiomatic di atas. (Islamia, vol 1, 2004,
halaman 52).
hermeneutika itu berbeda dengan tafsir
ataupun takwil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian
al-Qur’an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis,
hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang dhahir dari
al-Qur’an dan menganggapnya sebagai problematic. Di antara kesan hermeneutika
teologis ini adalah adanya keragu-raguan terhadap mushaf Utsmani yang telah
disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi’ah,
sebagai “tekstus recheptus” (teks yang telah disepakati).
Hermeneutik
itu ketika masuk ke Yahudi dan Kristen untuk menafsiri Bible menimbulkan
kekacauan.
Hasil dari kekacauan yang ditimbulkan hermeneutic adalah kemenangan tradisi Barat yang sekuler dan mau lepas dari agama.
Kemenangan tradisi Barat itu membawa hermeneutic menjadi falsafi, dan muncul berbagai corak hermeneutic falsafi.
Hasil dari kekacauan yang ditimbulkan hermeneutic adalah kemenangan tradisi Barat yang sekuler dan mau lepas dari agama.
Kemenangan tradisi Barat itu membawa hermeneutic menjadi falsafi, dan muncul berbagai corak hermeneutic falsafi.
buku Fiqih Lintas Agama oleh Paramadina
pimpinan Nurcholis Madjid dengan dana dari The Asia Foundation, 2003. Isinya
mengatasnamakan hukum Islam, namun menentang ayat-ayat terutama ayat yang
menegaskan hanya Islamlah agama di sisi Allah, larangan menikah dengan
musyrikin/musyrikat dan kafirin, serta larangan waris mewarisi antara muslim
dan kafir. Semuanya itu ditolak. Bahkan lebih gila lagi, buku Draf Kompilasi
Hukum Islam yang disusun Tim Gender Departemen Agama pimpinan Dr Musdah Mulia
(wanita) itu menentang hukum-hukum Islam, di antaranya lelaki pun dikenai iddah
130 hari, poligami dilarang, tapi nikah mut’ah boleh, waris lelaki dan
perempuan sama, dan mahar juga dibayar oleh wanita, sedang hak talak juga
dipegang wanita pula.
Padahal Nabi Muhammad saw telah marah
kepada Umar bin Khatthab ra ketika membawa selembar kertas berisi Taurat, dan
Nabi saw menegaskan bahwa wahyu yang beliau bawa lebih suci, bahkan seandainya
Musa as masih hidup pun tidak ada kelonggaran lagi kecuali mengikuti Nabi
Muhammad saw. Itu saja tentang wahyu (Taurat), bukan sekadar metodenya untuk
memahami teksnya yang mereka sebut hermeneutik yang diambil dari nama dewa
Yunani, Hermes, dalam kepercayaan kemusyrikan.
Dalam kasus orang-orang liberal mengambil
hermeneutika untuk diadopsi sebagai metode tafsir teks ayat dalam Islam ini
benar-benar meniru orang-orang di luar Islam. Pertama hermeneutika itu sendiri
dari Yunani lalu dimasukkan dalam mitologi Yunani, kemudian diadopsi ke Kristen
dengan teologi Kristen, lalu diadopsi Barat dengan filsafat Barat menjadi
hermeneutika falsafi.
Di Kristen, dengan pakai metode
hermeneutika itu maka telah terjadi kekacauan yaitu pecahnya orang Kristen jadi
dua: Kristen dan Katolik. Kristen memakai hermeneutika literal (hakiki/ makna
harfiyah sebenarnya) berhadapan dengan Katolik yang cenderung pakai hermeneutic
alegoris alias majazi/ kiasan. Lalu dua-duanya, Kristen dan katolik itupun
dilibas oleh Barat yang pada dasarnya sekuler (laa diini) dan mau melepaskan diri
dari agama. Pelibasan Barat terhadap Kristen dan Katolik itupun pakai
hermeneutic yaitu hermeneutic falsafi model Barat yang sebenarnya anti agama
itu.
Barat yang menjadikan hawa nafsu dan
otaknya sebagai tuhannya itu mereka berkendaraan teori antrophosentrisme, yaitu
manusia inilah yang jadi pusat pertimbangan. Ketika diaduk dengan humanisme,
lalu dimunculkan secara internasional dengan istilah apa yang mereka sebut HAM
(hak-hak asasi manusia). Dalam berkendaraan politik maka mereka memakai apa
yang mereka sebut demokrasi
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi
orang-orang yang yakin? (QS Al-Maaidah: 50).
Allah Pelindung orang-orang yang beriman;
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqoroh: 257).
[1] Rudi al-Hana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu
keialaman, lembaga penelitan IAIN Sunan Ampel, Semarang , vol.3, April 2006, h.82.
[7] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka
Pelajar, h..67
[9] Quaita Ahsana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu
keislaman, h.92.
[10] Ibid, h.74.
[11] Ibid, h.75.
[12] Ibid, h.75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar