At-Tafsir al-Wadhih
(Karya Dr. Muhammad
Mahmud Hijazi)
Pendahuluan
Dari banyaknya buku tafsir yang ada, kami menemukan buku yang
berjudul "At-Tafsir al-Wadhih" lalu kami membuka surat
ar-Ra'du ayat 35, tentang sifat-sifat surga lalu kami membacanya dengan
seksama. Setelah itu kami tertarik dan ingin mengetahui bagainmana beliau
membuat buku tafsir ini, metode apa yang beliau gunakan, bagaimana bentuk dan
coraknya, dll.
Maka setelah kami meneliti buku tafsir ini kami menulisnya dalam
makalah ini dengan berusaha menjelaskan dan menggambarkan buku tafsir ini
dengan semampu kami. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya.
Biografi
pengarang
Dalam
pencarian biografi beliau kami tidak menemukan data-data tentang beliau mulai
lahir sampai wafatnya, ini dikarenakan didalam bukunya tafsir al-Wadih, beliau
tidak menulis biografinya dan profil beliau, bahkan dengan jalan internetpun
kami tidak dapat menemukan biografinya. Akan tetapi ada sedikit penjelasan
mengenai beliau, dia adalah merupakan salah seorang guru besar atau dosen di
universitas al-Azhar, jurusan usuluddin di Mesir.
Latar
Belakang Penulisan Kitab
Dalam pendahuluan buku tafsir ini ia menuliskan kenapa ia
berkeinginan untuk menulis buku tafsir yang diberi judul dengan "At-Tafsir
al-Wadhih", beliau menyatakan karena di dalam al-Qur'an terdapat
banyak makna-makana dan rahasia-rahasia al-Qur'an yang belum terkuak dan sudah
dijelaskan tetapi secara global saja.
Pada dasa warsa sekarang ini telah banyak kegiatan belajar-mengajar,
maka dari itu muncullah pembelajaran yang berpokok kepada dua permasalahan
yaitu: Pertama, banyaknya penilitian dari kalangan peneliti tentang
hubungan manusia dengan lainnya, sehingga terjadilah perbedaan-perbedaan
pemahaman tehadap undang-undang atau peraturan-peraturan yang telah dibuat,
begitu pula kita masih melihat dan mendengar mereka terus memperbaharui bahkan
mengganti peraturan-peraturan yang ada, setelah tahun berganti dengan tahun
berikutnya mereka mengulangi pekerjaan sebelumnya dengan mengganti dan memperbaharuinya.[1]Kedua
adalah bahwa banyak dari orang-orang kembali berwajah kepada al-Qur'an,
seakan-akan mereka telah bosan terhadap realita yang ada, yang mana mereka
berkesimpulan bahwa undang-undang yang dibuat belum berhasil dalam penanggulangan
permasalahan-permasalahan kriminal dan belum bisa memberikan hak-hak mereka,
tetapi justru sebaliknya menjadikan kehidupan mereka sangat buruk dan
menprihatinkan, lau mereka berwajah kembali kepada al-Qur'an dengan
berkeyakinan al-Qur'an adalah sebagai jalan keluar atas segala permasalahan
yang ada, yang bisa membawa mereka kepada kehidupan yang bahagia dan lebih
baik.[2]
Maka dari itu, Dr. Muhammad Mahmud Hijazi berhasrat untuk membantu
mereka dengan menulis buku "At-Tafsir al-Wadhih" yang
bertujuan bisa menjadi alat dalam mewujudkan kehidupan yang berlandaskan
terhadap al-Qur'an.
Sistematika
Penulisan Kitab
At-Tafsir al-Wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi juga tidak
terlepas dari tafsir-tafsir terdahulu seperti yang dikatakan beliau
"tafsir ini tidak terlepas jauh dari tafsir sebelumya, seperti al-Fajr,
asy-Syihab, al-Ulusi, ath-Thabari dan al-Qurthubi".[3]Secara
deskriptif dan langkah-langkah yang digunakannya adalah sebagai berikut:
1.
Menjelaskan
arti dari nama surat
dan kandungan dan pokok-pokok apa saja yang terdapat didalamnya.
2.
Penjelasan
kosa kata (Syarhu al-Mufradat) yang terdapat didalam ayat yang dirasa
sukar menurut ukurannya. Dengan demikian tidak dijelaskan seluruh kosakata yang
ada tetapi sebagiannya saja yang dianggap sukar.
3.
Penjelasan
(al-Idhah), pada langkah ini, beliau memberikan penjelasan yang luas
dengan dibarengi asbab an-Nuzul jika ada. Terkadang ia menjelaskan
tafsir ayat dengan ayat lain dan bahkan penjelasan para ulama terdahulu yang
dianggapnya baik atau sahih.
4.
Pada
langkah terakhir biasanya beliau memberikan penjelasan pada surat
yang dianggap penting atau yang bersangkutan dengan ilmu tafsir seperti apa
macam surat ini
makkiyah atau madaniyyah.
.Metode,
Bentuk dan Corak Penafsiran
Dilihat dari sudut metodologi at-Tafsir al-Wadhih menggunakan metode
uaraian rincian dengan ringkas tanpa basa-basi, hal ini bisa kita lihat dalam
tafsirnya, seperti kata Allah dalam Bismillahirrahmanirrahim, beliau
langsung menjelaskan Allah adalah suatu dzat yang paling tinggi.[4]
Beliau juga menggunakan tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an, seperti
dalam menjelaskan sifat-sifat surga yang dijanjikan Allah pada surat
ar-Ra'du ayat 35 beliau menjelaskan dengan surat Muhammad ayat 15.[5]
Kalau kita melihat lebih dalam dan kritis tentang metode yang
digunakannya, beliau banyak menggunakan ilmu-ilmu yang ada pada sekarang,
seperti psikologi, sosiologi, antropologi, historis, ekonomi budaya dan segala
yang dapat membantu beliau dalam penafsirannya yang bisa diterima akal.
Sebagimana beliau menyatakan bahwa surga yang dijanjikan Allah itu tidaklah
seperti yang termaktub pada teks al-Qur'an, karena seandainya surga seperti itu
maka kitapun pernah merasakan keenakannya didunia ini walaupun diakhirat lebih
enak. Jika ditinjau dengan pendekatan psikologi , budaya dan histories lahirnya
ayat itu, maka pendapat beliau bisa diterima, beliau menyatakan ayat ini lahir
atau turun di Arab, yang mana di dataran tanah Arab itu sangatlah gersang dan
jarang sekali pohon-pohon yang tumbuh dan tidak adanya sungai yang mengalir,
maka dari tiu Allah menggambarkan surga itu dengan sebuah perkebunan yang
rindang terdapat buah-buahan yang enak ditambah sungai-sungai yang mengalir
didalamnya[6].
Hal ini supaya teks al-Qur'an itu pas dengan bangsa itu, tetapi kalau di Indonesia
itu sudahlah sangat biasa dengan perkebunan dan sungai. Oleh karena itu beliau
berpendapat surga yang dijanjikan Allah tidaklah sperti yang digambarkan dalam
teks tetapi surga yang dijanjikan Allah lebih dari itu.[7]
Dari contoh diatas kita dapat menyimpulkan bahwa pemikiran beliau
dalam penafsirannya harus sesuai denagan akal dan sesuai dengan zamannya
walaupun tidak semua ayat al-Qur'an tidak sejalan dengannya, tetapi beliau
terus berusah untuk bisa diterima oleh akal.
Contoh
Dari at-Tafsir al-Wadhih
Tafsir
Qur'an Surat
Al-Ikhlash
Makkiyah, terdiri dari 4 ayat, surat
tauhid dan pensucian nama Allah Ta'ala. Ia merupakan prinsip pertama dan pilar utama
Islam. Oleh karena itu pahala membaca surat
ini disejajarkan dengan sepertiga Al-Qur'an. Karena ada tiga prinsip umum:
tauhid, penerapan hudud dan perbuatan hamba, serta disebutkan dahsyatnya hari
Kiamat. Ini tidaklah mengherankan bagi orang yang diberi karunia untuk
membacanya dengan tadabbur dan pemahaman, hingga pahalanya disamakan dengan
orang membaca sepertiga Al-Qur'an.
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Syarah:
Inilah prinsip pertama dan tugas utama yang diemban Nabi saw. Beliau
pun menyingsingkan lengan baju dan mulai mengajak manusia kepada tahuhid dan
beribadah kepada Allah yang Esa. Oleh karena itu di dalam surat ini Allah memerintahkan beliau agar
mengatakan, "Katakan, 'Dialah Allah yang Esa." Katakan kepada mereka,
ya Muhammad, "Berita ini benar karena didukung oleh kejujuran dan bukti
yang jelas. Dialah Allah yang Esa. Dzat Allah satu dan tiada berbilang.
Sifat-Nya satu dan selain-Nya tidak memiliki sifat yang sama dengan sifat-Nya.
Satu perbuatan dan selain-Nya tidak memiliki perbuatan seperti perbuatan-Nya.
Barangkali pengertian kata ganti 'dia' pada awal ayat adalah
penegasan di awal tentang beratnya ungkapan berikutnya dan penjelasan tentang
suatu bahaya yang membuatmu harus mencari dan menoleh kepadanya. Sebab kata
ganti tersebut memaksamu untuk memperhatikan ungkapan berikutnya. Jika kemudian
ada tafsir dan penjelasannya jiwa pun merasa tenang. Barangkali anda bertanya,
tidakkah sebaiknya dikatakan, "Allah yang Esa" sebagai pengganti dari
kata, "Allah itu Esa." Jawabannya, bahwa ungkapan seperti ini adalah
untuk mengukuhkan bahwa Allah itu Esa dan tiada berbilang Dzat-Nya.
Kalau dikatakan, "Allah yang Maha Esa," tentu inplikasinya
mereka akan meyakini keesaan-Nya namun meragukan eksistensi keesaan itu.
Padahal maksudnya adalah meniadakan pembilangan sebagaimana yang mereka yakini.
Oleh karena itu Allah berfirman, "Dia-lah Allah, Dia itu Maha Esa. Allah
adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu."Artinya tiada
sesuatu pun di atas-Nya dan Dia tidak butuh kepada sesuatu pun. Bahkan
selain-Nya butuh kepada-Nya. Semua makhluk perlu berlindung kepada-Nya di saat
sulit dan krisis mendera. Maha Agung Allah dan penuh berkah semua
nikmat-Nya."Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan"
Ini merupakan pensucian Allah dari mempunyai anak laki-laki, anak
perempuan, ayah, atau ibu. Allah tidak mempunyai anak adalah bantahan terhadap
orang-oran musyrik yang mengatakan bahwa malaikat itu anak-anak perempuan
Allah, terhadap orang-orang Nashrani dan Yahudi yang mengatakan 'Uzair dan Isa
anak Allah. Dia juga bukan anak sebagaimana orang-orang Nashrani mengatakan
Al-Masih itu anak Allah lalu mereka menyembahnya sebagaimana menyembah ayahnya.
Ketidak-mungkinan Allah mempunyai anak karena seorang anak biasanya bagian yang
terpisah dari ayahnya. Tentu ini menuntut adanya pembilangan dan munculnya
sesuatu yang baru serta serupa dengan makhluk. Allah tidak membutuhkan anak
karena Dialah yang menciptakan alam semesta, menciptakan langit dan bumi serta
mewarisinya. Sedangkan ketidak-mungkinan Allah sebagai anak, karena sebuah
aksioma bahwa anak membutuhkan ayah dan ibu, membutuhkan susu dan yang
menyusuinya. Maha Tinggi Allah dari semua itu setinggi-tingginya. "Dan
tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. "Ya. Selama satu Dzat-Nya dan
tidak berbilang, bukan ayah seseorang dan bukan anaknya, maka Dia tidak
menyerupai makhuk-Nya. Tiada yang menyerupai-Nya atau sekutu-Nya. Maha Suci
Allah dari apa yang mereka sekutukan.
Meskipun ringkas, surat
ini membantah orang-orang musyrik Arab, Nashrani, dan Yahudi. Menggagalkan
pemahaman Manaisme (Al-Manawiyah) yang mempercayai tuhan cahaya dan kegelapan,
juga terhadap Nashrani yang berpaham trinitas, terhadap agama Shabi'ah yang
menyembah bintang-bintang dan galaksi, terhadap orang-orang musyrik Arab yang
mengira selain-Nya dapat diandalkan di saat membutuhkan, atau bahwa Allah
mempunyai sekutu. Maha Tinggi Allah dari semua itu.
Penutup
Setelah kita menjelaskan uraian diatas, kita bisa mengambil
kesimpulan bahwa at-Tafsir al-wadhih karya Dr. Muhammad Mahmud Hijazi
menggunakan metode uraian terperinci tetapi secara ringkas dan tanpa basa-basi.
Selain itu beliau menafsirkan ayat dengan ayat lain dan berbentuk tafsir
bilra'yi, akan tetapi tafsir bilra'yi ini tidak mutlak karena terkadang beliau
menggunakan ayat lain dalam penjelasannya. Beliau juga yang sangat
mengedepankann akal walaupun tidak menutup mata dengan dalil-dalil naqli yang
ada.
Refrensi
Muhammad Mahmud Hijazi, At-Tafsir
al-Wadhih", Darul-Jail, Beirut ,
Lebanon , tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar