Senin, 12 Desember 2011

Maslahah al-Mursalah


Maslahah al-Mursalah
Oleh:Zainal Arifin

Pendahuluan
Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh dalam mengisbatkan hukum dari nasb adalah maslahah al-mursalah, yaitu suatu kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i(rinci) yang mendukungnya, dan tidak pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’(induksi dari sejumlah nash). Sebagaimana dikemukakan dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa dijadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang dijadikan ‘illat itu mesti sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep maslahah al-mursalah, terlebih dahulu kita membahas hakikat maslahah itu sendiri.
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu maslahatan dan menurut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi mashlahah yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Gazhali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan-tujuan syara’”
Mashlahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya.
            Imam al-Gazhali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, dizaman jahiliah para wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal terseebut mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah. Oleh karena itu menurut Imam al-Gazhali, yang dijadikan patokan dalam menentukan kemashlahatan adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak tujuan manusia.
Macam-macam Mashlahah
            Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian mahlahah jika dilihat dari beberapa segi. Dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:

1.      Mashlahah al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan  dengan kenutuhan pokok umat manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,dan memelihara harta. Kemaslahatan ini disebut dengan mashalih al-khamah.
2.      Mashlahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang membentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas(qasr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang musafir.
3.      Mashlahah al- Tashiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluaan yang dapat melengkapi kemadlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunah sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.

Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Kemashlahatan dharurriyyah harus lebih didahulukan dari pada kemashlahatan hajiyah, dan kemaslahatan hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tashiniyyah.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada:
a)      Maslahah al-‘Amanah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan membunuh para penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.
b)      Maslahah al-Hkashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang.

Kehujjahan Maslahah
Jumhur ulama menetapkan bahwa mashlahah mursalah itu adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum. Alas an yangmereka kemukakan adalalah sebagai berikut:
a)      Kemaslahatan manusia it uterus berkembang dan bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan-kemaslahatan yang sedang berkembang itu tidak diperhatikan, sedang yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya saja, niscaya banyak kemaslahatan-kemalahatan manusia yang terdapat dibeberapa daerah dan pada masa yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hukun dan syari’at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia. Padahal tujuan syari’at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia disetiap tempat dan masa.
b)      Menurut penyelidikan bahwa hukum-hukum, putusan-putusan, dan peraturan-peraturan yang diprodusir oleh para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahiddin adalah untuk mewujudkan kemaslahatan bersama.
Misalnya:
·         Kebijaksanan yang dilakukan oleh Abu Bakar ra, dalam mengumpulkan Al-Qur’an dan menuliskan seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran, memerangi orang-orang yang membangkang membayar zakat dan menunjuk Umar bin Khaththab ra, untuk menjadi khalifah sesudah beliau.
·         Usaha Utsman bin Affan ra, menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf, menyiarkan kemudian membakar lemnaran-lembaran yang lain.

Syarat-syarat berhujjah debgan mashlahah mursalah
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah harus memiliki tiga syarat:
1.      mashlahat tersbut haruslah mashlahat yang haqiqi ( sejati ) bukan yang hanya yang berdasarkan wahm ( perkiraan ) saja. Artinya bahwa membina hukum berdasarkab kemashlahatan itu haruslah benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar berdasarkan perkiraan akan adanya kemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan kemudharatan yang bakal timbul, maka pembinaan hukum yang seperti itu adalah berdasarkan wahm saja dan tidak dibenarkan oleh syari’at. Misalnya menyerahkan hak mentalak seorang istri kepada hakim dalam semua keadaan, yang sebenarnya mentalak itu adalah ditangan suami.
2.      kemashlahatan itu hendaklah kemashlahatan yang umum, bukan kemashlahatan yang khusus untuk perseorangan. Karena itu harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat menolak kemudharatan yang menimpa kepada orang banyak.
3.      kemashlahatan itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau ijma’. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemashlahatan mempersamakan anak laki-laki dengan anak perempuan dalam menerima warisan. Karena yang demikian itu bertentangan dengan dasar yang telah ditetapkan oleh syari’at.

Mashlahah Menurut Najm al-Din al-Thufi
            Najm al-Din al-Thufi(675-716H/1276-1316M) adalah seorang ulama ushul fiqh dan fiqh mazhab Hanbali yang dilahirkan di desa Thufi, Shar-shar, Irak. Ia adalah seorang ilmuwanyang haus terhadap berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah tercatat ia belajar fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, ilmu mantiq, ilmu kalam, hadist, tafsir, dan ilmu jadal ( cara berdiskusi ). Menurut Najm al- Din al-Thufi, mshlahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Ada empat prinsip yang di anut al-Thufi tentang mashlahah yang menyebabkan pabdangannya berbeda dengan jumhur ulama, yaitu:

1.      Akal bebas menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (kemudharatan), khususnya dalam bidang muamalah dan adapt. Untuk menentukan sesuatu  mengenai kemaslahatan atau kemudharatan cukup dengan akal. Pandangan ini berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan kemudharatan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus mendapatkan dukungan dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2.      Mashlahah merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, untuk kehujjahan mashlahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena mashlahah itu didasarkan kepada pendapat akal semata.
3.      Mashlahah hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, adapun dalam masalah ibadah ataupun ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’. Seperti shalat dzuhur empat reka’at puasa semalam selama satu bulan, dan thawaf dilakukan selama tujuh kali, tidak termasuk obyek mashlahah, karena mashlahah seperti ini merupakan hak Allah semata.
4.      Mashlahah merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh sebab itu  ia juga mengatakan apabila nash atau ijma’ bertentangan dengan maslahah maka didahulukan mashlahah dengan cara takhsbish nash tersebut ( pengkhususan hukum) dan bayan ( perincian / penjelasan ).

Kesimpulan
                     Dalam agama Islam terdapat hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Maslhah al mursalah adalah salah satu hukum yang terdapat di dalamnya. Maslahah al mursalah bertujuan mengambil sebuah kemaslahatan dalam suatu masalah, jika dalam masalah tersebut belum ada dalam hukum syara’. Dan inti dari maslahah al mursalah adalan mengambil manfaat bagi manusia Dan meninggalkan kemudharatan. Demikianlah sedikit uraian dari maslahah al mursalah, semoga bermanfaat bagi kita semua.

Referensi

Prof .Zahrah Abu Mahmud, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta, Logos, 1996

Tidak ada komentar:

Posting Komentar