Maslahah al-Mursalah
Oleh:Zainal Arifin
Pendahuluan
Salah satu metode yang dikembangkan ulama ushul fiqh
dalam mengisbatkan hukum dari nasb adalah maslahah al-mursalah, yaitu suatu
kemaslahatan yang tidak ada nash juz’i(rinci) yang mendukungnya, dan tidak pula
yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi kemaslahatan
ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’(induksi dari sejumlah
nash). Sebagaimana dikemukakan dalam bab qiyas, bahwa sesuatu yang bisa
dijadikan ‘illat hukum adalah bahwa sifat yang dijadikan ‘illat itu mesti
sesuai (mula’im) dengan hukum dan tujuan-tujuan yang dikehendaki syara’.
Pembahasan
Sebelum membahas lebih jauh tentang konsep maslahah
al-mursalah, terlebih dahulu kita membahas hakikat maslahah itu sendiri.
Secara etimologi, mashlahah sama dengan manfaat, baik
dari segi maupun makna. Mashlahah juga berarti manfaat atau suatu pekerjaan
yang mengandung manfaat. Apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu
maslahatan dan menurut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti
bahwa perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan
batin.
Secara terminologi, terdapat beberapa definisi mashlahah
yang dikemukakan ulama ushul fiqh, tetapi seluruh definisi tersebut mengandung
esensi yang sama. Imam al-Gazhali mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah
adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara
tujuan-tujuan syara’”
Mashlahah mursalah ialah suatu kemaslahatan yang tidak ditetapkan
oleh syara’ suatu hukum untuk mewujudkannya dan tidak pula terdapat suatu dalil
syara’ yang memerintahkan untuk memperhatikannya.
Imam al-Gazhali
memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syara’,
sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena kemaslahatan
manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi sering
didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, dizaman jahiliah para wanita
tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka hal terseebut
mengandung kemaslahatan, sesuai dengan adat istiadat mereka, tetapi pandangan
ini tidak sejalan dengan kehendak syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.
Oleh karena itu menurut Imam al-Gazhali, yang dijadikan patokan dalam
menentukan kemashlahatan adalah kehendak dan tujuan syara’, bukan kehendak
tujuan manusia.
Macam-macam Mashlahah
1.
Mashlahah
al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kenutuhan pokok umat manusia di dunia
dan akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima ,
yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan,dan memelihara harta. Kemaslahatan
ini disebut dengan mashalih al-khamah.
2.
Mashlahah
al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang membentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya dalam bidang
ibadah diberi keringanan meringkas(qasr) shalat dan berbuka puasa bagi orang
yang musafir.
3.
Mashlahah
al- Tashiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluaan
yang dapat melengkapi kemadlahatan sebelumnya. Misalnya dianjurkan untuk
memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus, melakukan ibadah-ibadah sunah
sebagai amalan tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan
manusia.
Ketiga kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga
seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan.
Kemashlahatan dharurriyyah harus lebih didahulukan dari pada kemashlahatan
hajiyah, dan kemaslahatan hajiyah lebih didahulukan dari kemaslahatan
tashiniyyah.
Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul
fiqh membaginya kepada:
a)
Maslahah
al-‘Amanah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa
berbentuk mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya para ulama membolehkan
membunuh para penyebar bid’ah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut
kepentingan orang banyak.
b)
Maslahah
al-Hkashshah, yaitu kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang
dinyatakan hilang.
Kehujjahan Maslahah
Jumhur ulama menetapkan bahwa mashlahah mursalah itu
adalah sebagai dalil syara’ yang dapat digunakan untuk menetapkan suatu hukum.
Alas an yangmereka kemukakan adalalah sebagai berikut:
a)
Kemaslahatan
manusia it uterus berkembang dan bertambah mengikuti perkembangan kebutuhan
manusia. Seandainya kemaslahatan-kemaslahatan yang sedang berkembang itu tidak
diperhatikan, sedang yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nashnya
saja, niscaya banyak kemaslahatan-kemalahatan manusia yang terdapat dibeberapa
daerah dan pada masa yang berbeda-beda akan mengalami kekosongan hukun dan
syari’at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan manusia.
Padahal tujuan syari’at itu adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia
disetiap tempat dan masa.
b)
Menurut
penyelidikan bahwa hukum-hukum, putusan-putusan, dan peraturan-peraturan yang
diprodusir oleh para sahabat, tabi’in dan imam-imam mujtahiddin adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan bersama.
Misalnya:
·
Kebijaksanan
yang dilakukan oleh Abu Bakar ra, dalam mengumpulkan Al-Qur’an dan menuliskan
seluruh ayat-ayatnya pada lembaran-lembaran, memerangi orang-orang yang
membangkang membayar zakat dan menunjuk Umar bin Khaththab ra, untuk menjadi
khalifah sesudah beliau.
·
Usaha
Utsman bin Affan ra, menyatukan kaum muslimin untuk mempergunakan satu mushaf,
menyiarkan kemudian membakar lemnaran-lembaran yang lain.
Syarat-syarat berhujjah debgan mashlahah mursalah
Untuk menjadikan mashlahah mursalah sebagai hujjah harus
memiliki tiga syarat:
1.
mashlahat
tersbut haruslah mashlahat yang haqiqi ( sejati ) bukan yang hanya yang
berdasarkan wahm ( perkiraan ) saja. Artinya bahwa membina hukum berdasarkab
kemashlahatan itu haruslah benar-benar dapat membawa kemanfaatan dan menolak
kemudharatan. Akan tetapi kalau hanya sekedar berdasarkan perkiraan akan adanya
kemanfaatan dengan tidak mempertimbangkan kemudharatan yang bakal timbul, maka
pembinaan hukum yang seperti itu adalah berdasarkan wahm saja dan tidak dibenarkan
oleh syari’at. Misalnya menyerahkan hak mentalak seorang istri kepada hakim
dalam semua keadaan, yang sebenarnya mentalak itu adalah ditangan suami.
2.
kemashlahatan
itu hendaklah kemashlahatan yang umum, bukan kemashlahatan yang khusus untuk
perseorangan. Karena itu harus dapat dimanfaatkan oleh orang banyak atau dapat
menolak kemudharatan yang menimpa kepada orang banyak.
3.
kemashlahatan
itu tidak bertentangan dengan dasar-dasar yang telah digariskan oleh nash atau
ijma’. Oleh karena itu tidak dianggap suatu kemashlahatan mempersamakan anak
laki-laki dengan anak perempuan dalam menerima warisan. Karena yang demikian
itu bertentangan dengan dasar yang telah ditetapkan oleh syari’at.
Mashlahah Menurut Najm al-Din al-Thufi
Najm al-Din
al-Thufi(675-716H/1276-1316M) adalah seorang ulama ushul fiqh dan fiqh mazhab
Hanbali yang dilahirkan di desa Thufi, Shar-shar, Irak. Ia adalah seorang
ilmuwanyang haus terhadap berbagai ilmu pengetahuan, sehingga dalam sejarah
tercatat ia belajar fiqh, ushul fiqh, bahasa Arab, ilmu mantiq, ilmu kalam,
hadist, tafsir, dan ilmu jadal ( cara berdiskusi ). Menurut Najm al- Din
al-Thufi, mshlahah merupakan hujjah terkuat yang secara mandiri dapat dijadikan
sebagai landasan hukum. Ada
empat prinsip yang di anut al-Thufi tentang mashlahah yang menyebabkan
pabdangannya berbeda dengan jumhur ulama, yaitu:
1.
Akal bebas
menentukan kemaslahatan dan kemafsadatan (kemudharatan), khususnya dalam bidang
muamalah dan adapt. Untuk menentukan sesuatu
mengenai kemaslahatan atau kemudharatan cukup dengan akal. Pandangan ini
berbeda dengan jumhur ulama yang mengatakan bahwa sekalipun kemaslahatan dan
kemudharatan itu dapat dicapai dengan akal, namun kemaslahatan itu harus
mendapatkan dukungan dari nash atau ijma’, baik bentuk, sifat maupun jenisnya.
2.
Mashlahah
merupakan dalil mandiri dalam menetapkan hukum. Oleh karena itu, untuk
kehujjahan mashlahah tidak diperlukan dalil pendukung, karena mashlahah itu
didasarkan kepada pendapat akal semata.
3.
Mashlahah
hanya berlaku dalam masalah muamalah dan adat kebiasaan, adapun dalam masalah
ibadah ataupun ukuran-ukuran yang ditetapkan syara’. Seperti shalat dzuhur
empat reka’at puasa semalam selama satu bulan, dan thawaf dilakukan selama
tujuh kali, tidak termasuk obyek mashlahah, karena mashlahah seperti ini merupakan
hak Allah semata.
4.
Mashlahah
merupakan dalil syara’ paling kuat. Oleh sebab itu ia juga mengatakan apabila nash atau ijma’
bertentangan dengan maslahah maka didahulukan mashlahah dengan cara takhsbish
nash tersebut ( pengkhususan hukum) dan bayan ( perincian / penjelasan ).
Kesimpulan
Dalam
agama Islam terdapat hukum-hukum yang mengatur kehidupan manusia. Maslhah al
mursalah adalah salah satu hukum yang terdapat di dalamnya. Maslahah al
mursalah bertujuan mengambil sebuah kemaslahatan dalam suatu masalah, jika
dalam masalah tersebut belum ada dalam hukum syara’. Dan inti dari maslahah al
mursalah adalan mengambil manfaat bagi manusia Dan meninggalkan kemudharatan.
Demikianlah sedikit uraian dari maslahah al mursalah, semoga bermanfaat bagi
kita semua.
Referensi
Prof .Zahrah Abu Mahmud, Ushul Fiqh, Pustaka
Firdaus, Jakarta
Harun, Nasrun, Ushul Fiqh, Jakarta , Logos, 1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar