Senin, 12 Desember 2011

Dinasti-dinasti Kecil Di Barat Baghdad


DINASTI-DINASTI KECIL DI
BARAT BAGDAD

A.    Pendahuluan
Disintegrasi dibidang politik sebenarnya sudah muncul sejak berakhirnya pemerintahan Bani Umayah, tetapi dalam sejarah politik Islam terdapat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayah dan pemerintahan Abbasiyah. Perbedaan tersebut ialah masa pemerintahan Bani Umayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai awal berdiri sampai pada masa kehancurannya), pada masa pemerintahan Abbasiyah, wilayah kekuasaannya tidak pernah diakui di daerah sepenyol dan daerah Aprika Utara. Kecuali mesir yang bersifat sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak dikuasai oleh khalifah.[1] Hal itu dikarenakan seorang khalifah dari Abbasiyah tidak mengurus daerah yang sudah ditakluan, hanya sekedar penaklukan dan pendirian saja.
Peta kekuasaan tersebut telah banyak mengakibatkan bermunculan wilayah-wilayah atau provinsi yang memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah dan membentuk dinasti-dinasti kecil. Selain itu pula, luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, telah menjadikan khalifah tidak mampu untuk mengawasi secara efektif yang jauh dari pusat pemerintahan, sehingga sangat memungkinkan bagi daerah-daerah terpencil untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari kekuasaan tersebut.[2]
Proses memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah tersebut ialam melalui cara-cara yang dianggap mereka sebagai cara-cara yang akurat, yaitu; pertama, salah seorang peminpin lokal meminpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.  Kedua, seseorang yang ditunjuk sebagai gubernur oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat.[3]
Selain cara-cara tersebut, ada beberapa faktor yang mempercepat proses pelepasan wilayah-wilayah tersebut dari Abbasiyah, diantaranya adalah faktor ras atau kebangsaan, bahwa pendirian kekuasaan Abbasiyah tidak terlepas dari bantuan-bantuan bangsa Persia yang dilatarbelakangi oleh dua alasan: pertama, karena penindasan Bani Umayah terhadap bangsa Persia dan kebijakan Bani Umayah yang lebih mengistimewakan bangsa arab dan memarjinalkan bangsa non Arab, termasuk Persia. Kedua, karena tradisi Persia yang meengakui dan meyakini terhadap adanya hak kerajaan yang suci. Dengan demikian ketergantungan Bani Abbasiyah pada kekuatan orang Persia sangat kuat dan hal ini sangat disadari betul oleh orang Persia, maka sebagai balasannya, bangsa Persia memegang kedudukannya yang penting dan strategis dalam pemerintahan Abbasiyah.[4]
Setelah memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah yang kekuatan-kekuatan daerah atau wilayah yang mereka bangun, mereka menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara independen dan berusaha untuk meluaskan daerah kekuasaannya dengan menaklukan daerah-daerah yang ada disekitarnya.
B.     KEMUNCULAN DINASTI KECIL PADA MASA ABBASIYAH

1.      Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Setelah Ali bin Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali terus berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Imam Husen Ibn Ali di Madinah pada jaman Dinasti Umayah. Dalam perang tersebut (pemberontakan), husen terbunuh di Karbala dan salah seorang keluarganya Idris Ibn Abd Allah melarikan diri ke Mesir kemudian pindah ke Maroko. Di Maroko ia bergabung dengan Ishaq Ibn Abd al-Hamid (kepala suku Awaraba). Kemudian Idris Ibn Abd Allah di bai’at oleh suku Awaraba di Maroko sebagai peminpin, maka berdirilah Dinasti Idrisiyah.[5]
Dinasti Idrisiyah merupakan Dinasti pertama pada masa pemerintahan Abbasiyah yang terpisah dari dunia Islam. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah, kemudian ia mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan berpura-pura menentang daulah Abbasiyah.
Bersamaan dengan hal itu, khalifah Harun Ar-Rasyid juga menyerahkan kawasan Tunisia  kepada Ibrahim bin Aghlab dengan segala hak-hak otonomnya dengan tujuan untuk menahan bila Idrisiyah melakukan ekspansi ke negri Mesir dan Syam. Sebagai ganti setianya, Ibrahim bin Aghlab menyerahkan pajak tahunan sebesar 40.000 dinar ke Bagdad. Karena letak geografis antara wilayah Afrika Utara dan pusat pemerintahan di Bagdad sangat jauh, daerah tersebut tidak mendapatkan kontrol yang efektif dari pemerintahan pusat. Akhirnya dengan daerah Tunisia dan Aljajair sebagai wilayah kekuasaannya, berdirilah Dinasti Aghlabiyah (800-909 M.)[6]
Dinasti ini didirikan oleh salah satu seorang penganut Syi’ah yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk yang sangat halus.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hizaj terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786 dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, dimana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai peminpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbatkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahan.[7]
Paling tidak, ada dua alasan mengapa dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena ada dukungan yang sangat kuat dari barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Bagdad sehingga sulit untuk ditaklukan.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipinpin oleh Harun Ar-rasyid, (menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pegiriman pasukan. Harun Ar-Rayid memakai alternatif yang lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membunuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada Khalifah Harun Ar-Rayid.[8]
Terbunuhnya Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengingkarkan kerajaan mereka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris II.[9]
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu kekuasaan satu politik,  mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 dikita ini, telah didirikan sebuah masjid Fatimah dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (826-836 M), dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya. Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang, putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M.), terjadi konflik antar keluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ketangan saudaranya sendiri, yaitu yahya bin Muhammad.[10]
Pada masa Yahya bin Muahammad, kota Fez banyak dikunjungi oleh imigran Andalusia dan daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan bangunan megah. Diantara gedung yang dibangun pada masa itu ialah masjid Quirawan dan masjid Andalusia. Menurut versi lain bahwa kota itu didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid Fatimah yang merupakan benih dari masjid Qairawan yang terkenal pada tahun 859 M. Tepat pada tahun 863M., Yahaya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ketangan putranya, yaitu Yahya II.[11]
Pada pemerintahan Yahya II terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahaya II dalam mengatur pemerintahan, sehingga terjadi pembagian wilayah kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan Daud mendapat wilayah yang lebih luas kearah timur kota Fez. Keluarga Kasim menerima sebaagian dari sebuah barat kota Fez bersama-sama dengan pemerintah wilayah suku Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima sebagian wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan Atlas. Disamping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M.[12]
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez yang bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya.[13]
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semeraut diterbitkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu yang cukup lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang diberi nama Yahya IV.
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnaya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afika Utara. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti kedua tersebut mempunyai aliran berbeda, yang satu beraliran sunni dan yang satu beraliran Syi’ah. Kedua aliran tersebut, secara hati-hati menghindari bentrokan, sehingga Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian mereka.[14]
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan penghianatan dari seorang peminpin setempat sehingga kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M., sedangkan anak dan saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara). Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad mendirikan benteng di atas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima puluh tahun sambil mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umayah dan Daulah Fatimiah.[15]
2.      Dinasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Dinasti ini pertama kali didirikan di Afrika Utara oleh Ibrahim bin Aghlab Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah, seorang yang terkenal dibidang administrasi, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik. Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia.
Secara periodik, dinasti Aghlabiyah ini dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu: Ibrahim bin Aghlab (800-811 M.), Abdullah I 811-816 M, Ziyadatullah bin Ibrahim 816-837 M., Abu Iqal bin Ibrahim 837-856 M., Abu Al-Abbas Muhammad 841-856 M., Abu Ibrahim Ahmad 856-864 M., Ziyadatullah II bin Ahmad 863-864 M., Abu Al-Gharanik Muhammad II bin Ahmad 864-874 M., Ibrahim II bin Ahmad 874-902 M.,  Abu Al-Abbas Abdullah II 902-903 M., Abu Mudhar Ziyadatullah III 903-909 M.[16]
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika Baghdad dibawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara, terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.[17]
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan balatentaranya di Ifrikiah (Tunisia) di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi, maka ia tidak hanya mengamankan danmemerintah wilayah tersebut, akan tetapi juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar.[18]
Harun ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil Aghlabiyah yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad. Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian.[19]
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal dalam pertempuran.[20]
Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sisilia, ekspedisi ini bertujuan untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut menjadi pusat penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen. Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan Alpen.[21]
Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang perak pertahun kepada Aglabiyah.[22]
Pasukan Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam jangkauan penyerangan mereka.
Dengan keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun masjid Agung Qairuan, menara masjidnya yang merupakan warisan dari bentuk bangunan Umayah merupakan bangunan tertua di Afrika. Oleh karena itulah Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah dan Yerussalam. Masjid tersebut disebut masjid terindah dalam Islam karena ditata sedemikian indah.[23]
Sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.[24]
Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qairawan juga sebagai pusat penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti Sahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairwan.[25]
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa dibawah pimpinan Ziyadatullah I, Sisilia yang berada di pulau laut tengah tersebut, dijadikan pangkalan untuk penyerangan daratan-daratan eropa yang kristen. Distribusi terpenting  dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hingga ke Eropa. Bahkan Renaisas di Itali terjadi karena transmisi Ilmu pengetauan melalui pulau itu.
Pada akhir abad ke-9, posisi dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran, dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarka oleh Abdullah Al-syi’ah atas isyarat Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat dikalangan orang-orang Barbar. kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab disatu pihak dan orang-orang Barbar dipihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada akhirnya membuahkan kekuatan militer.[26]
Pada tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulirkan kekuasaan Aghlabid yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah pergi ke Mesir setelah gagal mendapat bantuan dari pemerintahan pusat di Bagdad. Ada juga yang berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak mengadakan perlawanan apapun ssebelum dinasti fatimiyah mengadakan invasi. Dan sejak itu pula Ifrikiyah dikuasai oleh orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk dinasti Fatimiah.
Salah satu faktor mundurnya Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara, mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang pun penguasa pun berada di atasnya.[27]
3.      Dinasti Tuluniyah (868-901)
Dinasti ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Bagdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn thulun, yaitu seorang budak dari Asia tengah yang dikirim oleh panglima tharir bin Husain ke Bagdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah Al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai istana.[28]
Ahmad Ibn Tulun ini terkenal dengan sosok yang gagah berani, dan seorang yang dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra dan Militer. Pada mulanya Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. Pada masa Khalifah Al-Mu,taz, Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagi wakil di Mesir dan Libya atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat.[29]
Masa ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik pemerintahan Abbasiyah. Situasi itu dimanfaatkan oleh Ahmad bin Thulun dengan memproklamirkan independensi wilayahnya dan membentuk dinasti Thuluniyah. Meskipun demikian Thuluniyah masih memperlihakan loyalitasnya pada Bgdad melalui penyebuan nama Khalifah dalam khotbah jumat dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta pembayaran pajak sejumlah 300.000 dinar.
Keberadaan dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat, apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antar Ahmad Ibn Thulun dengan saudara Yurjukh, sebagai jaminan kedudukan yang diperoleh Thuluniyah. Ahmad Ibn Thlun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz disemenanjung Arabia hingga Palestina dan siria pada tahun 878 M., serta wilayah Sisilia di Asia kecil pada tahun 879 M.[30]
Posisi Ahmad Ibn Thulun yang secara politis menguntungkan bagi penguatan kekuasaannya tersebut, Al-Muaffaq (salah seorang khalifah Al-Mu’tamid pada saat itu), merasa iri hati dan ia merencanakan untuk membuat strategi dalam mempengaruhi khalifah agar menyerang Ahmad sehingga tidak terhindarkan lagi terjadinya benturan fisik antara khalifah Al-Mu’tamid dengan Ahmad Ibn Thulun. Namun karena mempunyai dukungan dan pasukan yang tangguh dan terlatih, kedudukan Ahmad Ibn Thulun masih tetap kokoh dan kuat.[31]
Beberapa saat setelah peperangan tersebut, Ahmad Ibn Thulun menderita sakit, dan lama-kelamaan sakitnya bertambah parah, akhirnya ia meninggal pada tahun 270 H. Dalam usia 50 tahun dan kekuasannya pun pindah ke tangan putranya yang tertua bernama Al-Khumarwaihi. Ketika kekuasaan berada di tangan Al-khumarwaihi, yaitu pada tahun 884-895 M., Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada masa itu pula, khalifah Al-Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah Mesir, Siria sampai gunung Tauruts dan wilayah Aljazair (Mesopotamia Utara), kecuali Mosul kepada Al-Khumarwaihi.[32]
Pada saat itu pula berbagai prestasi Dinasti Thuluniyah telah banyak dicapai. Dinasti Thuluniyah mampu mengukir dan memperkaya peradaban Islam yang samasa Dinasti Umayah mengalami kemunduran. Sebagai contoh kemajuan prestasi dinasti tersebut ialah dalam bidang seni arsiterktur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad Ibn Thulun  yag megah, pembangaunan rumah sakit yang memakan biyaya cukup besar sampai 60.000 dinar dan bangunan istana Khumarwaihi dengan balairung emasnya.[33]
Kemewahan dan kemegahan masjid Ahmad Ibn Thulun terletak pada menaranya yng melintang dan melilit ke atas. Setiap jumat, di masjid tersebut disediakan dokter khusus untuk mengobati pasien Cuma-Cuma tanpa melihat agama dan alirannya. Adapun keistimewaan istana Al-Khumarwaihi terletak pada seluruh dinding baairungnya yang dilapisi emas dan dihiasi dengan relief dirinya. Istana tersebut dibangun ditengah-tengah kebun yang tumbuh-tumbuhannya sangat indah, juga terdapat kebun binatang.[34]
Kemajuan lainnya ialah di bidang militer, Thuluniyah mempunyai 100.000 perajurit yang cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro. Thuluniyah membangun kubu-kubu pertahanan dan sebuah benteng yang kokkoh diatas pulau Ar-Raudah. Pada masa itu juga, banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sungai Nil.[35]
Selama beberapa tahun menjelang berakhirnya masa kekuasaan Al-Khumarwaihi, pada dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejala memburuk, yaitu pada tahun 896 M., Al-Khumarwaihi meninggal dan tahta kerajaan secara berurutan  diserahkan kepada Abu Al-‘Asakir Jaisy Ibn Khumarwaihi, kemudian Harun bin Khumarwaihi dan Saiban Ibn Ahmad Ibn Thulun.
Pada masa kekuasaan yang terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitah yang berpusat di gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu, Syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukan Dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Bagdad. Setelah ditaklukan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.[36]
4.      Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M.)
Dinasti ini didikrikan oleh Muhammad Ibn Thugi yang diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammab Ibn Tughi diangkat sebagai gubernur di Mesir oleh Abbasiyah saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiah yang berpusat di Afrika Utara.[37]
Dinasti Ikhsidiyah mempunya peran strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Msir. Pada masa itu, Mesir mempeunyai kedudukan yang kuat karena ditopang dengan kemiliteran Iksidiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadinya.
Pada masa Dinasti Ikhsidyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan dunia gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid dan rumah-rumah mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang sangat berperan dalam pendewasaan pendidikan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun pasar buku yag besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syuq Al-Waraqin.
Selama dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsidiyah mengadakan ekspansi besar-besaran dengan menunudukan Siria dan Palestina ke dalam otonominya. Pada tahun berikutnya, Iksidiyah menaklukan Madinah dan Mekah. Dengan demikian kekuasaan Iksidiyah bertambah besar danpesat.
Pada masa pemerintahan Kafur yang termasyhur sebagai pelindung liberal kesusastraan dan seni, beberapa serangan yang dilancarkan di Fatimiah disepanjang pantai Afrika Utara dapat diatasi. Akan tetapi sepeninggalan Kafur pada tahun 968 M., Ikhsidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad Ibn Ali (967-972 M.) yang menerima tahta kekuasaan setelah Kafur, tampaknya tidak bertahan lama, dikarenakan kepeminpinannya yang sangat lemah, sehingga serangan yang terus menerus dilancarkan  oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya membuat dinasti ini tidak berdaya dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya Ikhsidiyah dapat ditaklukan pula oleh Fatimiah.[38]
Ada beberapa faktor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum peneklukan oleh Fatimiah, telah terjadi penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. Selain itu juga, terjadi penyekapan jemaah haji mesir sera serbuan orang-orang Nubia yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.
5.      Dinasti Hamdaniyah (972-1152 M.)
Dinasti ini didirukan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib. Putranya Al-husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al-Haija Abdullah diangkat jadi gebernur Maosul oleh Khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M.
Pada masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh Khalifah Abbasiyah karena beralianasi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi, atas jasa putranya dia diampuni oleh Khalifah abbasiyah.
Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua wilayah bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di halb. wilayah kekuasaan di Haalb, terkenal sebagai pelindung kesusastraan arab dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula, muncul tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti di bidang ilmu nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn Nashr Ad-daulah, Abu A’la Al-Ma’ari, dan syarif Ad-daulah sendiri yang mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.[39]
Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduyannya yang tidak bertanggung jawab dan sikafnya yang destruktif tetap dijalankan. Dengan sikap seperti itu, Suriah dan Aljazirah merasa menderita karena kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang menjadikan kurangnya simpati masyarakat dan wibawanya jatuh.
Kedua, bangkitnya kembali Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan brdirinya dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan Bizantium yang energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo dan Hims terlepas dari kekuasaannya, hingga dinasti Hamdaniyah lumpuh.[40]
Ketiga, kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan, juga melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini mengakibatkan terbunuhnya Said Ad-Daulah yang tengah memegang tambuk kekuasaan dinasti Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada dinasti Fatimiah.[41]
 
KESIMPULAN
Pelepasan wilayah kekuasaan dinasti-dinasti kecil di Barat Bagdad dari Dinasti Abbasiyah dikarenakan beberapa faktor Pertama; terdapat lima latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di Bagian Barat Bagdad, yaitu:
1.      Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberi peluang terhadap wilayah tersebut yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah
2.      Karena peta kekuasaan Abbasiyah tidak diakui Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir, bahkan dalam kenyataannya, banyak daerah yang tidak disukai oleh Khalifah, sehingga peta kekuasaan teersebut membuat daerah-daerah yang jauh mendirikan dinasti-dinasti kecil;
3.      Masalah fanatisme atau ras kebangsaan yang membuat mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah sampai memperluas kekuasaannya;
4.      Adanya pemberian hak otonom, sehingga tidak terkontrol karena berjauhan dari pemerintahan pusat, dan terlalu luasnya kekuasaan Abbasiyah
Kedua, proses pelepasan daerah-daerah kecil memakai salah satu cara, yaitu menunjuk seseorang yang diangkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk menjadi penguasa kecil, dan seseorang peminpin lokal dituntut oleh masyarakatnya untuk mengadakan pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh.
            Ketiga, munculnya dinasti-dinasti kecil, selain mengancam kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak memberikan kontribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, kebudayaan.

DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Mubarok, Jaih, Sejarah peradaban Islam, Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Ahmed, Akbar S., Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 1992
Majid, Nurcholis, Islam dan Politik, Jakarta, Paramadina, 1998,
Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993
Hoesin, Oemar Amin, Kultur Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975



[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 155
[2] ibid
[3] Ibid. Hlm. 159
[4] Jaih Mubarok, Sejarah peradaban Islam, Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2004, hlm. 82


[5] Ibid, 98
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 170
[7] Dedi Supriyadi, Op. Cit. Hlm. 160
[8] Jaih Mubarok, Op.cit. hlm. 98
[9] Dedi Supriyadi, Op. Cit. Hlm, 168
[10] Ibid. Hlm. 56
[11] Akbar S. Ahmed, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 1992, hlm 142
[12] Ibid.
[13] Ibid. Hlm143
[14] Ibid. Hlm. 144
[15] ibid
[16] Dedi Supriyadi, op. Cit. Hlm, 172
[17] Nurcholis Majid, Islam dan Politik, Jakarta, Paramadina, 1998, 133
[18]Dedi Supriyadi, op. Cit. Hlm, 175  
[19] Ibid.
[20] Ibid. Hlm176
[21] Oemar Amin Hoesin, Kultur Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1975, hlm. 144
[22] ibid
[23] Ibid, hlm 150
[24] Ahmad Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta, Pustaka al-Husna, 1993, hlm 211
[25] Ibid. 213
[26] ibid
[27] Ibid.
[28]Oemar Amin Hoesin, Op. Cit. Hlm. 123
[29] Ahmad Syalabi. Op.cit. hlm 189
[30] Ibid. 190
[31] Ibid
[32] ibid
[33] ibid
[34] Nurcholis Majid, Islam Agama Peradaban, Jakarta, Paramadina, 1995, hlm 231
[35]ibid
[36] ibid
[37] Ahmad Syalabi. Op. Cit. Hlm 134
[38] Nurcholis Majid. Op. Cit. Hlm.67
[39] Oemar Amin Hoesin, Op. Cit. Hlm 146
[40] Ibid176
[41] ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar