DINASTI-DINASTI
KECIL DI
BARAT BAGDAD
A. Pendahuluan
Disintegrasi
dibidang politik sebenarnya sudah muncul sejak berakhirnya pemerintahan Bani
Umayah, tetapi dalam sejarah politik Islam terdapat perbedaan antara
pemerintahan Bani Umayah dan pemerintahan Abbasiyah. Perbedaan tersebut ialah
masa pemerintahan Bani Umayah, wilayah kekuasaan sejajar dengan batas-batas
wilayah kekuasaan Islam (mulai awal berdiri sampai pada masa kehancurannya),
pada masa pemerintahan Abbasiyah, wilayah kekuasaannya tidak pernah diakui di
daerah sepenyol dan daerah Aprika Utara. Kecuali mesir yang bersifat
sebentar-sebentar, bahkan pada kenyataannya terdapat banyak daerah yang tidak
dikuasai oleh khalifah.[1]
Hal itu dikarenakan seorang khalifah dari Abbasiyah tidak mengurus daerah yang
sudah ditakluan, hanya sekedar penaklukan dan pendirian saja.
Peta
kekuasaan tersebut telah banyak mengakibatkan bermunculan wilayah-wilayah atau
provinsi yang memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah dan membentuk dinasti-dinasti
kecil. Selain itu pula, luasnya wilayah kekuasaan Abbasiyah, telah menjadikan
khalifah tidak mampu untuk mengawasi secara efektif yang jauh dari pusat
pemerintahan, sehingga sangat memungkinkan bagi daerah-daerah terpencil untuk
melepaskan dan memerdekakan diri dari kekuasaan tersebut.[2]
Proses
memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah tersebut ialam melalui cara-cara
yang dianggap mereka sebagai cara-cara yang akurat, yaitu; pertama, salah seorang peminpin lokal meminpin suatu pemberontakan
dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk sebagai
gubernur oleh khalifah dan kedudukannya semakin bertambah kuat.[3]
Selain
cara-cara tersebut, ada beberapa faktor yang mempercepat proses pelepasan
wilayah-wilayah tersebut dari Abbasiyah, diantaranya adalah faktor ras atau
kebangsaan, bahwa pendirian kekuasaan Abbasiyah tidak terlepas dari
bantuan-bantuan bangsa Persia yang dilatarbelakangi oleh dua alasan: pertama, karena penindasan Bani Umayah
terhadap bangsa Persia dan kebijakan Bani Umayah yang lebih mengistimewakan
bangsa arab dan memarjinalkan bangsa non Arab, termasuk Persia. Kedua, karena tradisi Persia yang
meengakui dan meyakini terhadap adanya hak kerajaan yang suci. Dengan demikian
ketergantungan Bani Abbasiyah pada kekuatan orang Persia sangat kuat dan hal
ini sangat disadari betul oleh orang Persia, maka sebagai balasannya, bangsa
Persia memegang kedudukannya yang penting dan strategis dalam pemerintahan
Abbasiyah.[4]
Setelah
memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah yang kekuatan-kekuatan daerah atau
wilayah yang mereka bangun, mereka menjadikan daerah-daerah tersebut sebagai
dinasti-dinasti kecil yang berdiri secara independen dan berusaha untuk
meluaskan daerah kekuasaannya dengan menaklukan daerah-daerah yang ada
disekitarnya.
B. KEMUNCULAN DINASTI KECIL PADA
MASA ABBASIYAH
1. Dinasti Idrisiyah (789-926 M.)
Setelah
Ali bin Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali terus berjuang untuk memperoleh
kekuasaan. Diantaranya adalah pemberontakan yang dilakukan oleh Imam Husen Ibn
Ali di Madinah pada jaman Dinasti Umayah. Dalam perang tersebut
(pemberontakan), husen terbunuh di Karbala dan salah seorang keluarganya Idris
Ibn Abd Allah melarikan diri ke Mesir kemudian pindah ke Maroko. Di Maroko ia
bergabung dengan Ishaq Ibn Abd al-Hamid (kepala suku Awaraba). Kemudian Idris
Ibn Abd Allah di bai’at oleh suku Awaraba di Maroko sebagai peminpin, maka
berdirilah Dinasti Idrisiyah.[5]
Dinasti
Idrisiyah merupakan Dinasti pertama pada masa pemerintahan Abbasiyah yang
terpisah dari dunia Islam. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun
Ar-Rasyid merasa terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah, kemudian ia
mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan berpura-pura
menentang daulah Abbasiyah.
Bersamaan
dengan hal itu, khalifah Harun Ar-Rasyid juga menyerahkan kawasan Tunisia kepada Ibrahim bin Aghlab dengan segala
hak-hak otonomnya dengan tujuan untuk menahan bila Idrisiyah melakukan ekspansi
ke negri Mesir dan Syam. Sebagai ganti setianya, Ibrahim bin Aghlab menyerahkan
pajak tahunan sebesar 40.000 dinar ke Bagdad. Karena letak geografis antara
wilayah Afrika Utara dan pusat pemerintahan di Bagdad sangat jauh, daerah
tersebut tidak mendapatkan kontrol yang efektif dari pemerintahan pusat.
Akhirnya dengan daerah Tunisia dan Aljajair sebagai wilayah kekuasaannya,
berdirilah Dinasti Aghlabiyah (800-909 M.)[6]
Dinasti
ini didirikan oleh salah satu seorang penganut Syi’ah yaitu Idris bin Abdullah
pada tahun 172 H./789 M. Dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang
tercatat dalam sejarah berusaha memasukan Syi’ah ke daerah Maroko dalam bentuk
yang sangat halus.
Muhammad
bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad SAW, yaitu cucu dari
Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan
garis imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan
Ali di Hizaj terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786 dan terpaksa pergi ke Mesir,
kemudian ke Afrika Utara, dimana prestise keturunan Ali membuat para tokoh
Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai peminpin mereka. Berkat
dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan
namanya dinisbatkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahan.[7]
Paling
tidak, ada dua alasan mengapa dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang
kokoh dan kuat, yaitu karena ada dukungan yang sangat kuat dari barbar, dan letak
geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di
Bagdad sehingga sulit untuk ditaklukan.
Pada
masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipinpin oleh Harun Ar-rasyid, (menggantikan
Al-Hadi), Harun Ar-rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti
Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan
pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, faktor geografis yang berjauhan,
menyebabkan batalnya pegiriman pasukan. Harun Ar-Rayid memakai alternatif yang
lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang
berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membunuh Idris
dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada Khalifah
Harun Ar-Rayid.[8]
Terbunuhnya
Idris tidak berarti kekuasaan Dinasti Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa
Barbar telah bersepakat untuk mengingkarkan kerajaan mereka sebagai kerajaan
yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang
hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut
melahirkan, kaum Barbar memberikan nama bayi tersebut dengan nama Idris dan
mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan
kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya (Idris bin
Abdullah) dan disebut sebagai Idris II.[9]
Idris
I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar,
imigran-imigran yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu
kekuasaan satu politik, mampu membangun
kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa
(orang-orang terhormat keturunan Nabi dari Hasan dan Husain bin Ali bin Abi
Thalib), dan pada tahun 1959 dikita ini, telah didirikan sebuah masjid Fatimah
dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada
masa kekuasaan Muhammad bin Idris (826-836 M), dinasti Idrisiyah telah
membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walaupun ia sendiri
tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supremasi moral terhadap
wilayah-wilayah lainnya. Setelah ia memerintah selama masa yang cukup tenang,
putranya yang bernama Ali menggantikannya sebagai raja.
Pada
masa Ali bin Muhammad (836-849 M.), terjadi konflik antar keluarga dengan kasus
yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan
Ali pindah ketangan saudaranya sendiri, yaitu yahya bin Muhammad.[10]
Pada
masa Yahya bin Muahammad, kota Fez banyak dikunjungi oleh imigran Andalusia dan
daerah Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi
pertumbuhan penduduk maupun pembangunan bangunan megah. Diantara gedung yang
dibangun pada masa itu ialah masjid Quirawan dan masjid Andalusia. Menurut
versi lain bahwa kota itu didirikan pula sebuah masjid yang diberi nama masjid
Fatimah yang merupakan benih dari masjid Qairawan yang terkenal pada tahun 859
M. Tepat pada tahun 863M., Yahaya bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya
berpindah ketangan putranya, yaitu Yahya II.[11]
Pada
pemerintahan Yahya II terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran
Yahaya II dalam mengatur pemerintahan, sehingga terjadi pembagian wilayah
kekuasaan. Keluarga Umar bin Idris I tetap memerintah wilayahnya, sedangkan
Daud mendapat wilayah yang lebih luas kearah timur kota Fez. Keluarga Kasim
menerima sebaagian dari sebuah barat kota Fez bersama-sama dengan pemerintah
wilayah suku Luwata dan Kutama. Husain (paman Yahya II), menerima sebagian
wilayah selatan kota Fez sampai ke pegunungan Atlas. Disamping ketidakmampuan
mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak
bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri
karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai
akhir hayatnya pada tahun 866 M.[12]
Dalam
suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez yang bernama Abdurrahman
bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih
kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin
Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan
ketentraman dengan bantuan ayahnya.[13]
Pada
masa Yahya III, pemerintahan yang semeraut diterbitkan kembali sehingga menjadi
tentram dan aman. Namun, setelah Yahya III memerintah dalam waktu yang cukup
lama, ia terpaksa harus menyerahkan kekuasaan kepada teman kerabatnya yang
diberi nama Yahya IV.
Yahya
IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh
kerabat-kerabat yang lainnaya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam
persaingan antara dua kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan
Dinasti Bani Fatimiah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afika
Utara. Sebagaimana diketahui bahwa dinasti kedua tersebut mempunyai aliran
berbeda, yang satu beraliran sunni dan yang satu beraliran Syi’ah. Kedua aliran
tersebut, secara hati-hati menghindari bentrokan, sehingga Fez dan
wilayah-wilayah Idrisiyah pada waktu itu menjadi daerah pertikaian mereka.[14]
Setelah
masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian,
seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah
sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan penghianatan dari seorang
peminpin setempat sehingga kekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun
926 M., sedangkan anak dan saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara
(suku Barbar Gumara). Di sana, keluarga Idris dari kelompok Bani Muhammad
mendirikan benteng di atas bukit yang diberi nama Hajar An-Nashr. Di benteng tersebut, mereka bertahan sampai lima
puluh tahun sambil mengamat-amati kubu pertahanan Daulah Umayah dan Daulah
Fatimiah.[15]
2. Dinasti Aghlabiyah
Dinasti
Aghlabiyah yang berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Dinasti ini
pertama kali didirikan di Afrika Utara oleh Ibrahim bin Aghlab Ia adalah
seorang pejabat Khurasan dalam militer Abbasiyah, seorang yang terkenal
dibidang administrasi, ia mampu mengatur roda pemerintahannya dengan baik.
Wilayah kekuasaannya meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia.
Secara
periodik, dinasti Aghlabiyah ini dikuasai oleh beberapa penguasanya, yaitu:
Ibrahim bin Aghlab (800-811 M.), Abdullah I 811-816 M, Ziyadatullah bin Ibrahim
816-837 M., Abu Iqal bin Ibrahim 837-856 M., Abu Al-Abbas Muhammad 841-856 M.,
Abu Ibrahim Ahmad 856-864 M., Ziyadatullah II bin Ahmad 863-864 M., Abu
Al-Gharanik Muhammad II bin Ahmad 864-874 M., Ibrahim II bin Ahmad 874-902
M., Abu Al-Abbas Abdullah II 902-903 M.,
Abu Mudhar Ziyadatullah III 903-909 M.[16]
Aghlabiyah
memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para penguasanya
adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti tersebut
dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu ketika
Baghdad dibawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika Utara,
terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari Dinasti
Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.[17]
Dengan
adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk menempatkan
balatentaranya di Ifrikiah (Tunisia) di bawah pimpinan Ibrahim bin Al-Aghlab.
Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab
mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan
kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi,
maka ia tidak hanya mengamankan danmemerintah wilayah tersebut, akan tetapi
juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar.[18]
Harun
ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil Aghlabiyah
yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian
masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad. Untuk menaklukkan wilayah baru
dibutuhkan suatu proses yang panjang dan perjuangan yang besar, namun tidak
seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah pemberian.[19]
Pemerintahan
Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul dari Kharijiyah
Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I, Aglabiyah dapat
merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan Byzantium
827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan panglima laut
yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan jalan kaki.
Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga peperangan akhir yang dipimpin
panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal dalam pertempuran.[20]
Selain
untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sisilia, ekspedisi ini bertujuan
untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut menjadi pusat
penting bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen. Aspek yang menarik
pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang menjelajahi pulau-pulau
di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai Italia Selatan, Sardinia,
Corsica, dan Alpen.[21]
Karena
tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah pada
Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840 M)
terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang
perak pertahun kepada Aglabiyah.[22]
Pasukan
Aglabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia (890 M),
Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan mengusai kota
Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun berada dalam
jangkauan penyerangan mereka.
Dengan
keberhasilan penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aglabiyah kaya
raya, para penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun
masjid Agung Qairuan, menara masjidnya yang merupakan warisan dari bentuk
bangunan Umayah merupakan bangunan tertua di Afrika. Oleh karena itulah
Qairawan menjadi kota suci keempat setelah Mekah, Madinah dan Yerussalam.
Masjid tersebut disebut masjid terindah dalam Islam karena ditata sedemikian
indah.[23]
Sedangkan
Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan juga membangun hampir 10.000
benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup itu, jalan-jalan, pos-pos,
armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya di Tunisia Selatan, yang
tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan arsitektur, ilmu, seni dan
kehidupan keberagamaan.[24]
Selain
sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qairawan juga sebagai pusat penting
munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka, seperti
Sahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki, Yusuf bin
Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902 M), dan Isa
bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa Dinasti
Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairwan.[25]
Dinasti
Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam sejarah konflik berkepanjangan
antara Asia dan Eropa dibawah pimpinan Ziyadatullah I, Sisilia yang berada di
pulau laut tengah tersebut, dijadikan pangkalan untuk penyerangan daratan-daratan
eropa yang kristen. Distribusi terpenting
dalam ekspedisi tersebut adalah menyebarnya peradaban Islam hingga ke
Eropa. Bahkan Renaisas di Itali
terjadi karena transmisi Ilmu pengetauan melalui pulau itu.
Pada
akhir abad ke-9, posisi dinasti Aghlabiyah di Ifrikiyah mengalami kemunduran,
dengan masuknya propaganda Syi’ah yang dilancarka oleh Abdullah Al-syi’ah atas
isyarat Ubaidillah Al-Mahdi telah menanamkan pengaruh yang kuat dikalangan
orang-orang Barbar. kesenjangan sosial antar penguasa Aghlab disatu pihak dan
orang-orang Barbar dipihak lain, telah menambah kuatnya pengaruh itu dan pada
akhirnya membuahkan kekuatan militer.[26]
Pada
tahun 909, kekuatan militer tersebut berhasil menggulirkan kekuasaan Aghlabid
yang terakhir, Ziyadatullah III sehingga Ziyadatullah pergi ke Mesir setelah
gagal mendapat bantuan dari pemerintahan pusat di Bagdad. Ada juga yang
berpendapat bahwa Ziyadatullah kalah karena tidak mengadakan perlawanan apapun
ssebelum dinasti fatimiyah mengadakan invasi. Dan sejak itu pula Ifrikiyah
dikuasai oleh orang-orang Syi’ah yang pada masa selanjutnya membentuk dinasti
Fatimiah.
Salah
satu faktor mundurnya Aghlabiyah ialah hilangnya hakikat kedaulatan dan ikatan
solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki
oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, sanggup memungut iuran negara,
mengirimkan angkatan bersenjata, melindungi perbatasan dan tak seorang pun
penguasa pun berada di atasnya.[27]
3. Dinasti Tuluniyah (868-901)
Dinasti
ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang
memperoleh hak otonom dari Bagdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn thulun,
yaitu seorang budak dari Asia tengah yang dikirim oleh panglima tharir bin
Husain ke Bagdad untuk dipersembahkan kepada Khalifah Al-Makmun dan diangkat
menjadi kepala pegawai istana.[28]
Ahmad
Ibn Tulun ini terkenal dengan sosok yang gagah berani, dan seorang yang
dermawan, hafidz, ahli dibidang sastra dan Militer. Pada mulanya Ahmad Ibn
Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah disana, lalu menjadi
gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. Pada masa
Khalifah Al-Mu,taz, Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagi wakil di Mesir dan Libya
atas bantuan ayah tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan
barat.[29]
Masa
ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik pemerintahan
Abbasiyah. Situasi itu dimanfaatkan oleh Ahmad bin Thulun dengan memproklamirkan
independensi wilayahnya dan membentuk dinasti Thuluniyah. Meskipun demikian
Thuluniyah masih memperlihakan loyalitasnya pada Bgdad melalui penyebuan nama
Khalifah dalam khotbah jumat dan penulisan nama khalifah pada mata uang, serta
pembayaran pajak sejumlah 300.000 dinar.
Keberadaan
dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat, apalagi setelah
adanya ikatan kuat melalui perkawinan antar Ahmad Ibn Thulun dengan saudara
Yurjukh, sebagai jaminan kedudukan yang diperoleh Thuluniyah. Ahmad Ibn Thlun
mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz disemenanjung Arabia hingga
Palestina dan siria pada tahun 878 M., serta wilayah Sisilia di Asia kecil pada
tahun 879 M.[30]
Posisi
Ahmad Ibn Thulun yang secara politis menguntungkan bagi penguatan kekuasaannya
tersebut, Al-Muaffaq (salah seorang khalifah Al-Mu’tamid pada saat itu), merasa
iri hati dan ia merencanakan untuk membuat strategi dalam mempengaruhi khalifah
agar menyerang Ahmad sehingga tidak terhindarkan lagi terjadinya benturan fisik
antara khalifah Al-Mu’tamid dengan Ahmad Ibn Thulun. Namun karena mempunyai
dukungan dan pasukan yang tangguh dan terlatih, kedudukan Ahmad Ibn Thulun
masih tetap kokoh dan kuat.[31]
Beberapa
saat setelah peperangan tersebut, Ahmad Ibn Thulun menderita sakit, dan
lama-kelamaan sakitnya bertambah parah, akhirnya ia meninggal pada tahun 270 H.
Dalam usia 50 tahun dan kekuasannya pun pindah ke tangan putranya yang tertua
bernama Al-Khumarwaihi. Ketika kekuasaan berada di tangan Al-khumarwaihi, yaitu
pada tahun 884-895 M., Dinasti Thuluniyah mencapai kejayaannya. Pada masa itu
pula, khalifah Al-Mu’tamid terpaksa harus menyerahkan wilayah Mesir, Siria
sampai gunung Tauruts dan wilayah Aljazair (Mesopotamia Utara), kecuali Mosul
kepada Al-Khumarwaihi.[32]
Pada
saat itu pula berbagai prestasi Dinasti Thuluniyah telah banyak dicapai.
Dinasti Thuluniyah mampu mengukir dan memperkaya peradaban Islam yang samasa
Dinasti Umayah mengalami kemunduran. Sebagai contoh kemajuan prestasi dinasti
tersebut ialah dalam bidang seni arsiterktur, telah berdiri sebuah masjid Ahmad
Ibn Thulun yag megah, pembangaunan rumah
sakit yang memakan biyaya cukup besar sampai 60.000 dinar dan bangunan istana
Khumarwaihi dengan balairung emasnya.[33]
Kemewahan
dan kemegahan masjid Ahmad Ibn Thulun terletak pada menaranya yng melintang dan
melilit ke atas. Setiap jumat, di masjid tersebut disediakan dokter khusus
untuk mengobati pasien Cuma-Cuma tanpa melihat agama dan alirannya. Adapun
keistimewaan istana Al-Khumarwaihi terletak pada seluruh dinding baairungnya
yang dilapisi emas dan dihiasi dengan relief dirinya. Istana tersebut dibangun
ditengah-tengah kebun yang tumbuh-tumbuhannya sangat indah, juga terdapat kebun
binatang.[34]
Kemajuan
lainnya ialah di bidang militer, Thuluniyah mempunyai 100.000 perajurit yang
cakap dan terlatih dari orang Turki dan budak belian dari bangsa Negro.
Thuluniyah membangun kubu-kubu pertahanan dan sebuah benteng yang kokkoh diatas
pulau Ar-Raudah. Pada masa itu juga,
banyak dibangun irigasi sebagai sarana pertanian yang terletak di lembah sungai
Nil.[35]
Selama
beberapa tahun menjelang berakhirnya masa kekuasaan Al-Khumarwaihi, pada
dinasti ini mulai kelihatan adanya gejala-gejala memburuk, yaitu pada tahun 896
M., Al-Khumarwaihi meninggal dan tahta kerajaan secara berurutan diserahkan kepada Abu Al-‘Asakir Jaisy Ibn
Khumarwaihi, kemudian Harun bin Khumarwaihi dan Saiban Ibn Ahmad Ibn Thulun.
Pada
masa kekuasaan yang terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte
keagamaan Qaramitah yang berpusat di
gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu, Syaiban tampaknya tidak mempunyai
kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu
pula khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukan Dinasti Thuluniyah
serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Bagdad. Setelah ditaklukan,
Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.[36]
4. Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M.)
Dinasti
ini didikrikan oleh Muhammad Ibn Thugi yang diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 935 M. Muhammab Ibn Tughi diangkat
sebagai gubernur di Mesir oleh Abbasiyah saat Ar-Radi atas jasanya
mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiah
yang berpusat di Afrika Utara.[37]
Dinasti
Ikhsidiyah mempunya peran strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Msir.
Pada masa itu, Mesir mempeunyai kedudukan yang kuat karena ditopang dengan
kemiliteran Iksidiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal sejumlah 40.000
orang dan 800 orang pengawal pribadinya.
Pada
masa Dinasti Ikhsidyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan
dunia gairah intelektual, seperti mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang
dipusatkan di masjid dan rumah-rumah mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang
sangat berperan dalam pendewasaan pendidikan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun
pasar buku yag besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan
nama Syuq Al-Waraqin.
Selama
dua tahun setelah berkuasa di Mesir, Dinasti Ikhsidiyah mengadakan ekspansi
besar-besaran dengan menunudukan Siria dan Palestina ke dalam otonominya. Pada
tahun berikutnya, Iksidiyah menaklukan Madinah dan Mekah. Dengan demikian
kekuasaan Iksidiyah bertambah besar danpesat.
Pada
masa pemerintahan Kafur yang termasyhur sebagai pelindung liberal kesusastraan
dan seni, beberapa serangan yang dilancarkan di Fatimiah disepanjang pantai
Afrika Utara dapat diatasi. Akan tetapi sepeninggalan Kafur pada tahun 968 M.,
Ikhsidiyah menjadi dinasti yang lemah. Pada masa itu, Abu Al-Fawarisaris Ahmad
Ibn Ali (967-972 M.) yang menerima tahta kekuasaan setelah Kafur, tampaknya
tidak bertahan lama, dikarenakan kepeminpinannya yang sangat lemah, sehingga
serangan yang terus menerus dilancarkan
oleh Fatimiah terhadap pemerintahannya membuat dinasti ini tidak berdaya
dan tidak mampu mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Pada akhirnya Ikhsidiyah
dapat ditaklukan pula oleh Fatimiah.[38]
Ada
beberapa faktor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena serangan
terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum peneklukan oleh
Fatimiah, telah terjadi penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. Selain
itu juga, terjadi penyekapan jemaah haji mesir sera serbuan orang-orang Nubia
yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.
5. Dinasti Hamdaniyah (972-1152 M.)
Dinasti
ini didirukan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang amir dari suku Taghlib. Putranya
Al-husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan Abu Al-Haija Abdullah
diangkat jadi gebernur Maosul oleh Khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M.
Pada
masa hidupnya, Abu Hamdan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh Khalifah Abbasiyah
karena beralianasi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas.
Akan tetapi, atas jasa putranya dia diampuni oleh Khalifah abbasiyah.
Wilayah
kekuasaan dinasti ini terbagi dua wilayah bagian, yaitu wilayah kekuasaan di
Mousul dan wilayah kekuasaan di halb. wilayah kekuasaan di Haalb, terkenal sebagai
pelindung kesusastraan arab dan ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula, muncul
tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang
menggeluti di bidang ilmu nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn
Nashr Ad-daulah, Abu A’la Al-Ma’ari, dan syarif Ad-daulah sendiri yang
mendalami ilmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.[39]
Mengenai
jatuhnya dinasti ini, terdapat beberapa faktor. Pertama, meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur
dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduyannya
yang tidak bertanggung jawab dan sikafnya yang destruktif tetap dijalankan.
Dengan sikap seperti itu, Suriah dan Aljazirah merasa menderita karena
kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang menjadikan
kurangnya simpati masyarakat dan wibawanya jatuh.
Kedua, bangkitnya
kembali Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan brdirinya
dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa
menghindari dari invasi wilayah kekuasaannya dari serangan Bizantium yang
energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan
Allefo dan Hims terlepas dari kekuasaannya, hingga dinasti Hamdaniyah lumpuh.[40]
Ketiga, kebijakan
ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan, juga melumpuhkan kekuasaan
dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini mengakibatkan terbunuhnya Said
Ad-Daulah yang tengah memegang tambuk kekuasaan dinasti Hamdaniyah. Akhirnya,
dinasti ini pula takluk pada dinasti Fatimiah.[41]
KESIMPULAN
Pelepasan
wilayah kekuasaan dinasti-dinasti kecil di Barat Bagdad dari Dinasti Abbasiyah
dikarenakan beberapa faktor Pertama;
terdapat lima latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di Bagian
Barat Bagdad, yaitu:
1.
Karena kebijakan penguasa Bani
Abbasiyah yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan
mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberi peluang terhadap wilayah
tersebut yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melepaskan dan memerdekakan diri
dari pemerintahan Abbasiyah
2.
Karena peta kekuasaan Abbasiyah tidak
diakui Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir, bahkan dalam
kenyataannya, banyak daerah yang tidak disukai oleh Khalifah, sehingga peta
kekuasaan teersebut membuat daerah-daerah yang jauh mendirikan dinasti-dinasti
kecil;
3.
Masalah fanatisme atau ras
kebangsaan yang membuat mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah sampai
memperluas kekuasaannya;
4.
Adanya pemberian hak otonom,
sehingga tidak terkontrol karena berjauhan dari pemerintahan pusat, dan terlalu
luasnya kekuasaan Abbasiyah
Kedua,
proses pelepasan daerah-daerah kecil memakai salah satu cara, yaitu menunjuk
seseorang yang diangkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk menjadi penguasa
kecil, dan seseorang peminpin lokal dituntut oleh masyarakatnya untuk
mengadakan pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh.
Ketiga, munculnya dinasti-dinasti
kecil, selain mengancam kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak
memberikan kontribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan,
kebudayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi, Sejarah
Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008
Mubarok,
Jaih, Sejarah peradaban Islam, Bandung;
Pustaka Bani Quraisy, 2004
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta,
PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Ahmed,
Akbar S., Citra Muslim, Tinjauan Sejarah
dan Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 1992
Majid,
Nurcholis, Islam dan Politik, Jakarta,
Paramadina, 1998,
Syalabi,
Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta,
Pustaka al-Husna, 1993
Hoesin,
Oemar Amin, Kultur Islam, Jakarta,
Bulan Bintang, 1975
[1] Dedi
Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
Pustaka Setia, 2008, hlm. 155
[2] ibid
[3] Ibid. Hlm. 159
[5] Ibid, 98
[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT.
Raja Grafindo Persada, 1995, hlm 170
[7] Dedi
Supriyadi, Op. Cit. Hlm. 160
[8] Jaih Mubarok,
Op.cit. hlm. 98
[9] Dedi
Supriyadi, Op. Cit. Hlm, 168
[10] Ibid. Hlm. 56
[11] Akbar S.
Ahmed, Citra Muslim, Tinjauan Sejarah dan
Sosiologi, Jakarta, Erlangga, 1992, hlm 142
[12] Ibid.
[13] Ibid. Hlm143
[14] Ibid. Hlm. 144
[15] ibid
[16] Dedi
Supriyadi, op. Cit. Hlm, 172
[17] Nurcholis
Majid, Islam dan Politik, Jakarta,
Paramadina, 1998, 133
[18]Dedi Supriyadi,
op. Cit. Hlm, 175
[19] Ibid.
[20] Ibid. Hlm176
[21] Oemar Amin
Hoesin, Kultur Islam, Jakarta, Bulan
Bintang, 1975, hlm. 144
[22] ibid
[23] Ibid, hlm 150
[24] Ahmad Syalabi,
Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta,
Pustaka al-Husna, 1993, hlm 211
[25] Ibid. 213
[26] ibid
[27] Ibid.
[28]Oemar Amin
Hoesin, Op. Cit. Hlm. 123
[29] Ahmad Syalabi.
Op.cit. hlm 189
[30] Ibid. 190
[31] Ibid
[32] ibid
[33] ibid
[34] Nurcholis
Majid, Islam Agama Peradaban, Jakarta,
Paramadina, 1995, hlm 231
[35]ibid
[36] ibid
[37] Ahmad Syalabi.
Op. Cit. Hlm 134
[38] Nurcholis
Majid. Op. Cit. Hlm.67
[39] Oemar Amin
Hoesin, Op. Cit. Hlm 146
[40] Ibid176
[41] ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar