Senin, 12 Desember 2011

Tahammul dan Ada' Hadits


TAHAMMUL DAN ADA’ HADITS
Yus Yusuf Zaeni Taziri*[1]

Abstrak
المراد (بكيفية سماع الحديث) بيان ما ينبغي وما يشترط فيمن يريد سماع الحديث من الشيوخ سماع رواية وتحمل, ليؤديه فيما بعد غيره, وذلك مثل اشتراط سن معينة وجوبا, أو استحبابا.
والمراد بتحمله بيان طرق أخذه وتلقيه عن الشيخ. والمراد (بصفة ضبطه) بيان كيف يضبط الطالب ما تلقاه من الحديث ضبطا يؤهله لأن يرويه لغيره علي شكل يطمأن اليه.
وقد اعتني علماء المصطلح بهذا النوع من علوم الحديث, ووضعوا له القواعد والضوابط و الشروط بشكل دقيق رائع. وميزوا بين طرق تحمل الحديث, وجعلوها علي مراتب, بعضها أقوي من بعض, وذلك تأكيدا منهم للعناية بحديث رسول الله ص م, وحسن  انتقاله من شخش الي شخش, كي يطمئن المسلم الي حسن طريقة وصول الحديث النبوي اليه, ويوقن أن هذه الطريقة في منتهي السلامة والدقة.

Kata kunci:
Tahammul, Ada’, as-sama’, al-qira’ah, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, al-wijadah.



  1. Pendahuluan
Kaum muslimin memberikan perhatian sangat tinggi dalam perkembangan hadits. Hal  ini terbukti dari ulama mutaqoddimin dan ulama mutaakhirin dan bahkan sampai cendikiawan abad modern dari kalangan muslim atau orientalis.[2]
Dari perhatian mereka muncullah beberapa ilmu-ilmu hadits mulai dari tahammul dan ada’ hadits, ilmu tarikh ar-ruwat, ilmu al-jarh wa at-ta’dil, ilmu gharib al-hadits, ilmu mukhtalif al-hadits, ilmu nasikh wa mansukh, ilmu ‘ilal al-hadits, dan lain-lain.[3]
Dari banyaknya ilmu-ilmu hadits yang ada, dalam makalah ini kami akan membahas tentang tahammul dan ada’ hadits mulai dari kelayakan tahamul dan ada’ hadits, metode-metode tahammul dan ada’ hadits dan bagaimana kualitas antara metode yang satu dengan yang lainnya.
  1. Pembahasan
1.      Pengertian Tahammul dan Ada’ Hadits
Secara etimologi kata tahammul berasal dari kata ( mashdar): تَحَمَّلَ يَتَحَمَّلُ تَحَمُّلاً  yang berarti menanggung, membawa[4], atau biasa diterjemahkan dengan menerima.[5]Sedangkan secara terminologi tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu[6]. Sedangkan pengertian ada’ menurut etimologi adalah diambil dari kata اَدَى- يُؤْدِى- اَدَاءٌ  yang berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya.[7]Adapun pengertian secara terminologi adalah sebuah proses mengajarkan (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.[8] Atau bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru.
2.      Kelayakan Seorang Perawi
Menurut Al-Khathib bahwa yang dimaksud kelayakan adalah keputusan seseorang untuk mendengar dan menerima hadits serta kepatutannya dan menyampaikannya.[9]
Kelayakan seorang perawi terbagi kedalam dua bentuk, yaitu kelayakan tahammul dan ada’. Dalam kelayakan tahammul, ulama berbeda pendapat tentang anak kecil yang menjadi perawi. Mayoritas ahli ilmu cenderung membolehkannya dengan alasan bahwa sahabat dan tabi’in banyak yang menerima hadits-hadits ketika masih kecil, seperti Hasan, Husein, Abdullah ibn Zubair, Anas ibn Malik, Abdullah ibn ‘Abbas, Abu Sa’id al-Khudhri, Mahmud ibn ‘Arabi’ dan lain-lain tanpa memilah-milah antara riwayat yang mereka terima sebelum dan sesudah baligh. Dalam batas usia juga berbeda pendapat, ada yang mengatakan minimal lima tahun[10], harus memiliki sifat tamyiz[11], dan harus bisa memberikan jawaban dalam pembicaraan[12].
Selain kelayakan tahammul yaitu kelayakan ada’. Ulama hadits, ulama ushul, dan ulama fiqh sependapat bahwa orang yang riwayatnya bisa dijadikan hujjah- baik laki-laki maupun wanita harus memenuhi syarat-sayarat kelayakan ada’, yaitu: islam, baligh, sifat adil, dhabt.
Pada waktu periwayatan hadits, seorang perawi harus islam terlebih dahulu, dan menurut ijma, periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya fasik saja kita diharuskan ber-tawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.[13]Hal itu juga diperkuat Alquran surat al-Hujurat ayat enam.[14]Syarat selanjutnya adalah baligh, baligh disini adalah perawinya cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits, walau penerimanya sebelum baligh.[15]Ini diperkuat dengan hadits yang diriwayatkan Abu Daud dan Nasa’i.[16]Berikutnya adalah ‘adalah. Yang dimaksud dengan adil adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.[17]Sedangkan yang terakhir adalah dhabt. Dhabt adalah teringat kembali perawi saat menerima dan memahami suatu hadits yang ia dengar dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.[18]al-Khathib mengartikan dhabt adalah keterjagaan seorang perawi ketika menerima hadits dan memahaminya ketika mendengarnya serta menghafalnya sejak menerima sampai menyampaikannya kepada orang lain. Dhabt mencakup hafalan dan tulissan.[19]
3.      Metode-metode Tahammul dan Ada’ Hadits
Pada umumnya ulama membagi tata-cara penerimaan riwayat hadits kepada delapan macam, yaitu: as-sama’min lafdz as-syaikh, al-qira’ah ‘ala as-syaikh, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-i’lam, al-washiyyah, dan al-wijadah.[20]
Yang dimaksud dengan as-sama’min lafdz as-syaikh, biasa disebut dengan as-sama’ saja, ialah penerimaan hadits dengan cara mendengar langsung lafal dari guru hadits. Hadits itu didiktekan atau disampaikan dengan pengajian oleh guru hadits, berdasarkan hafalannya atau catatannya[21]. Cara periwayatan bentuk ini oleh mayoritas ulama hadits dinilai sebagai cara tertinggi kualitasnya.[22]
Alasan kenapa as-sima’ menjadi nilai tertinggi diantara metode lainnya adalah pertama, masyarakat pada masa itu masih menempatkan cara hafalan sebagai cara yang terbaik dalam menimba ilmu pengetahuan[23]. Alasan kedua adalah hadits Nabi saw yang menyatakan, “kalian mendengar (hadits dari saya), kemudian dari kalian hadits itu didengar oleh orang lain, dari orang lain tersebut hadits yang berasal dari kalian itu didengar oleh orang lain lagi”. Hadits tersebut secara tegas diakui keabsahannya oleh Nabi saw adalah dengan as-sama’.[24]Adapun bentuk kata yang  digunakan untuk cara as-sima’ beragam, di antaranya: سمعت, حدثنا, حدثنى, أخبرنا, قال لنا, dan ذكر لنا  .[25]
Cara selanjutnya adalah al-qiraah ‘ala asy-syaikh, biasa disebut dengan al-qiraah saja, atau disebut dengan istilah ‘ardh. Yakni, periwayat menghadapkan riwayat hadits kepada guru hadits dengan cara periwayatan itu sendiri yang membacanya dan dia mendengarkan.[26]Dalam kualitas, para ulama berbeda pendapat ada yang menyatakan al-qiraah sama kedudukannya dengan as-sima’dan ada pula yang mengatakan kedudukannya lebih tinggi dari as-sima’. Adapun alasannya adalah apabila dilihat dari proses pemeriksaan terhadap riwayat hadits yang diriwayatkannya, maka cara al-qiraah lebih berpeluang dapat terhindar dari kesalahan dibandiingkan dengan cara as-sima’atau lebih korektif.[27]Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara al-qiraah, ada yang disepakati oleh ulama dan ada yang diperselisihi. Kata-kata yang disepakati addalah: قرأت على فلان kata-kata ini dipakai bila periwayat membaca sendiri dihadapan guru hadits yang menyimaknya. Kedua adalah قرأت على فلان وأنا أسمع فأقر به , kata-kata ini dipakai bila periwayat tidak membaca sendiri, melainkan dia mendengarkan bacaan orang lain, sedang guru hadits menyimaknya.[28] Adapun kata-kata yang tidak disepakati pemakaiannya, diantaranya حدثنا dan أخبرنا yang tanpa diikuti kata-kata lain. Beberapa ulama membolehkannya, bahkan mereka membolehkan juga penggunaan سمعت فلانا. Asy-Syafi’i, Muslim dan beberapa ulama lagi hanya membolehkan penggunaan أخبرنا saja dan tidak membolehkan penggunaan kata حدثنا.[29]
Cara periwayatan ketiga adalah al-ijazah yaitu guru hadits memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada padanya. Pemberian izin dinyatakan dengan lisan atau tertulis.[30]Jenis ijazah secara global ada dua macam. Yakni, ijazah bersama al-munawalah dan ijazah murni atau al-ijazat al-mujarradah.[31]Ijazah yang disebutkan pertama bentuknya ada dua, yaitu pertama,seorang guru hadits menyooodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya, kemudian guru tadi berkata: “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang telah saya peroleh ini”. Kedua, seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits, kemudian guru tadi memeriksanya dan setelah guru memaklumi bahwa dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata: “Bentuk ijazah yang demikian ini oleh sebagian ulama dinilai sama kualitasnya dengan cara as-sama dan oleh sebagian lagi dinilainya sama dengan cara al-qiraah.[32]Kata-kata yang dipakai untuk cara ijazah bermacam-macam. Az-Zuhri dan Malik membolehkan penggunaan حدثنا dan أخبرنا  untuk ijazah yang bersamaan dengan al-munawalah. Mayoritas ulama sendiri umumnya memakai kata-kata: حدثنا اجازة atau حدثنا اذنا  atau اجاز لى.[33]
Cara penerimaan selanjutnya adalah al-munawalah. Cara ini ada dua macam, yaitu al-munawalah bersamaan dengan ijazah dan al-munawalah tidak bersamaan dengan ijazah. Al-munawalah yang disebutkan kedua ini adalah pemberian kitab hadits oleh guru hadits kepada muridnya sambil berucap: “Ini hadits yang telah saya dengar” atau “Ini hadits yang telah saya riwayatkan”. Ulama pada umumnya tidak membenarkan al-munawalah tanpa diikuti ijazah.[34]kata-kata yang dipakai untuk ­al-munawalah tanpa ijazah ialah: ناولنى  atau ناولنا. Ulama tidak banyak berbeda pendapat.[35]
Yang dimaksud dengan al-mukatabah di sini adalah aktivitas seorag guru menuliskan hadits -baik ditulis sendiri atau menyuruh orang lain untuk kemudian diberikan kepada orang yang ada di hadapannya, atau dikirimkan kepada orang yang berada ditempat lain.[36] Sebagaimana halnya munawalah, mukatabah juga terdapat dua macam yaitu disertai dengan ijazah dan tidak disertai dengan ijazah.[37] Perbedaan antara keduanya adalah bahwa al-munawalah, hadits-haditsnya tidak mesti dalam bentuk tulisan, sedang dalam alikitabah haditsnya meski ditulis.[38] Pendapat yang masyhur menyatakan kebolehan meriwayatkan hadits dengan cara ini. Bahkan ia juga menjadi salah satu kebiasan ulama klasik, sehingga tidak heran jika kita menemukan dari sekian banyak hadits diriwayatkan dengan lafat, أخبرنى به كتابة كتب إليّ فلانdan أخبرنى به مكاتبة.[39]
Cara selanjutnya adalah al-i’lam adalah tindakan seorang guru yang memberitahukan kepada muridnya bahwa kitab atau hadits ini adalah riwayat darinya atau dari yang dia dengar, tanpa disertai dengan pemberian ijazah untuk menyampaikannya.[40] Masuk dalam bagian ini apabila seorang murid berkata kepada gurunya “Ini adalah hadits riwayatmu, bolehkah saya menyampaikannya?” lalu syaikh menjawab ya atau hanya diam saja.[41]
Mayoritas ulama -hadits, usul, fiqih- memperbolehkan bentuk ini dijadikan salah satu metode menerima hadits sepanjang kredibilitas guru dapat dipercaya. Namun demikian sejumlah muhadditsin dan pakar usul tidak memperbolehkan cara ini dijadikan salah satu bentuk menyampaikan hadits, dengan alasan yang sangat singkat karena tidak disertai dengan izin. Pendapat ini dikemukakan oleh Al-Ghozali dan Ibnu Sholah dalam bukunya Al-Muqoddimah.[42]
Cara setelah ­al-‘ilam adalah  al-washiyyah. Al-washiyyah adalah penegasan syeikh ketika hendak bepergian atau dalam masa-masa sakaratul maut; yaitu wasiat kepada seseorang tentang kitab tertentu yang diriwayatkannya.[43] Periwayatan hadits dengan cara ini oleh jumhur dianggap dianggap lemah.[44]Sedangkan Ibn Sirin membolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan atas jalan wasiat ini. Orang yang diberi wasiat ini tidak boleh meriwayatkan hadits dari si pemberi wasiat dengan redaksi حدثنى فلان بكذا, karena si penerima wasiat tidak bertemu dengannya[45].Al-Khathib menyatakan bahwa ternyata kami tidak  menemukan seorangpun dari ulama mutaqoddimin yang meriwayatkan dengan cara wasiat.[46].
Sedangkan cara terakhir adalah ­al-wijadah. Al-wijadah adalah eorang rawi menemukan hadits yang ditulis oleh orang yang tidak seperiode, atau seperiode namun tidak pernah bertemu, atau pernah bertemu namun ia tidak mendengar langsung hadits tersebut dari penulisnya.[47] Wijadah juga tidak terlepas dari pertentangan pendapat antara yang memperbolehkan dan tidak. Namun para kritikus hadits yang memperbolehkan menyatakan bahwa, ketika penemu ingin meriwayatkannya maka ia harus menggunakan lafat وجدت بخط فلان atau وجدت فى كتاب. فلان بخطه [48].









  1. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa kelayakan seorang perawi itu harus memiliki kelayakan tahamul dan ada’. Adapun kelayakan tahamul itu harus tamyiz dan bisa memberikan jawaban atas pembicaraan atau pertanyaan. Sedangkan kelayakan ‘ada adalah periwayat hadits harus islam, baligh, adil, dan dhabt.
Adapun metode-metode tahammul dan ada’ hadits ada delapan yaitu as-sama’, al-qiraah, al-ijazah, al-munawalah, al-mukatabah, al-i’lam, al-washiyyah dan al-wijadah. As-sama’ merupakan metode paling tinggi kualitasnya dibandingkan metode-metode lainnya. Dalam pengklasifikasian kualitas metode periwayatan ini ulama berbeda pandangan antara satu dengan lainnya.
  1. Penutup
Makalah ini berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang tahammul dan ada’ hadits hanya secara global dan tidak terlalu mendalam sebagaimana di dalam buku-buku yang membahas tentang ini.
Oleh karena itu, maka makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan perlu akan adanya perbaikan. Maka diharapkan kepada semua yang meneliti hadits khususnya dalam tahammul dan ada’ hadits agar memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
__________, As-Sunnah Qabla at-Tadwin, Qahiroh: Percetakan Ahmad Mukhaimar, 1963.
Al-Adlabi, Shalahudin ibn Ahmad, Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda ‘Ulama al-Hadits an-Nabawi, Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983.
Al-Khathib, Muhammad ‘Ajjaj, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-masyriq, 1986.
Ismail , M. Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Masrur, Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadits Nabi, Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara, 2007.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002) hal. 195, dll.




[1]Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Tafsir Alquran Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.
[2] Dari ulama mutaqoddimin dan mutaakhirin adalah sepeti, Imam as-Syafi’i, Hanbali, Maliki, Hanafi, Ibn ‘Abbas, ‘Aisyah, Bukhari, Muslim,  dll. Sedangkan dari cendikiawan modern adalah seperti Shalahuddin ibn Ahmad al-Adlabi yang membuat buku Manhaj Naqd al-Matan ‘Inda ‘Ulama al-Hadits an-Nabawi, Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib dengan bukunya yang berjudul As-Sunnah Qabla at-Tadwin dan Ushul al-Hadits, G.H.A Juynboll dengan Teori Common Linkn, dll.
[3] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 200, 207, 233, 252, 254, 258, 263.
[4] Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar al-masyriq, 1986) hal. 155.
[5] Lihat misalnya pada buku: M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hal 51-52, dan Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002) hal. 195, dll.
[6] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ibid, 200.
[7]Ibid, 6.
[8] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khattib, Ibid.
[9] Ibid.
[10] Pendapat ini didasarkan kepada riwayat Imam Bukhari dalam shahihnya dari hadits Muhammad ibn ‘Arabi’ ra, katanya: “Aku masih ingat siraman Nabi saw, dari timba ke mukaku, dan aku berusia lima tahun”.
[11] Pendapat kedua ini merupakan pendapat al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh anak kecil dinilai absah bila ia telah mampu membedakan antara sapi dengan himar. Dalam menafsirkan perkataan itu, Al-Khathib menyatakan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah tamyiz. Beliau menjelaskan pengertian tamyiz dengan kehidupan di sekitar. Muhammad ‘Ajjaj Al-Khattib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 201.
[12] Keabsahan kegiatan anak kecil dalam mendengar hadits didasarkan pada adanya tamyiz. Bila anak telah memahami pembiccaraan dan mampu memberikan jawaban, maka ia sudah mumayyiz dan absah pendengarannya, meski usianya di bawah lima tahun. Namun bila ia tidak memahami pembicaraan dan tidak bisa memberikan jawaban, maka kegiatan mendengar hadits tidak absah, meski usianya di atas lima tahun.
[13]Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002) hal. 205.
[14] “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang kepadamu orang-orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan sesuatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan sehingga kamu akan menyesal atas perbuatanmu itu. (QS: 49: 6).
[15] Lihat penjelasan tentang kelayakan seorang anak kecil diterima atau ditolaknya periwayatan haditsnya.
[16] “Hilang kewajiban menjalankan syariat Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila sampai dia sembuh, orang tidur sampai dia bangun, dan anak-anak sampai dia mimpi.(HR: Abu Daud dan Nasa’i).
[17] Munzier Suparta, Ibid,  206.
[18] Ibid.
[19] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khattib, Ibid, 202.
[20] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988) hal. 52.
[21] Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalahu al-Hadits, (Riyadh: Percetakan Sa’id ibn ‘Abd ar-Rahman ar-Rasyid, 2004) hal. 1.s
[22] M. Syuhudi Ismail, Ibid, 52. Dikutip dari (Ibn ash-Shalah, hal. 118, asy-Syaukani, Irsyad al-Futuh, (Surabaya: Salim ibn Sa’ad ibn Nabhan wa akhuhu Ahmad, tt) hal. 54-55.
[23] Ibid.
[24] Ibid, 53.
[25] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 214.
[26] Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalahu al-Hadits, (Riyadh: Percetakan Sa’id ibn ‘Abd ar-Rahman ar-Rasyid, 2004) hal. 2.
[27] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ibid, 55.
[28] Ibid, 56.
[29] Ibid.
[30] Mahmud ath-Thahan, Taisir Musthalahu al-Hadits, (Riyadh: Percetakan Sa’id ibn ‘Abd ar-Rahman ar-Rasyid, 2004) hal. 3.
[31] M.Syuhudi Ismail, Ibid, 57.
[32] Ibid.
[33] Ibid.s
[34] Ibid, 58.
[35] Ibid.
[36] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2002) hal.200.
[37] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ushul al-Hadits Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007) hal. 209.
[38] M. Syuhudi Ismail, Ibid, 58.
[39] Ibid, 59.
[40] M. Syuhudi Ismail, Ibid, 59.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Munzier Suparta, Ibid, 203-204.
[44] Ibid, 204.
[45] Ibid.
[46] Muhammad ‘Ajjaj Al-Khathib, Ibid, 215.
[47] Munzier Suparto, Ibid, 204.
[48] M. Syuhudi Ismail, Ibid, 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar