Senin, 12 Desember 2011

Friedrich Nietzsche


FRIEDRICH NIETZSCHE
Oleh: Yusu Yusuf Zaeni Taziri


A.      PENDAHULUAN
Telah banyak orang-orang yang menelaah dan mengkaji tentang ilmu sosial, seperti August Comte yang terkenal dengan teori organik naturalistik dan positivisme. Menurut Comte tujuan utama sosiologinya adalah mengeliminasi konstruksi masyarakat modern secara revolusioner (seperti menghentikan disorganisasi moral) dan harus menjadikan organisasi masyarakat dalam konteks humanisme positivistik filsafatnya.  Comte juga menitik beratkan bahwa gagasan sosiologinya pada tuntutan moral.[1]
Contoh lain adalah Edward Tryakian yang berusaha membangun teori fenomenologi mengenai keteraturan sosial dalam upayanya untuk membuka selubung matrik budaya dari realitas sosial dan membuat matrik budaya tersebut relatif dapat dikontrol, sehingga perubahan sosiokultural progresif dapat dipertanggungjawabkan.[2]
Selain mereka berdua adalah Marx yang terkenal dengan paham marxisme yang merupaan sebagai ideologi perjuangan kaum buruh. Pemikiran ini juga menjadi salah satu rangsangan besar bagi perkembangan sosiologi, ilmu ekoonomi, dan filsafat kritis.[3]
Sebenarnya masih banyak lagi tokoh-tokoh yang membahas sosial, tetapi pada kesempatan ini hanya akan membahas satu dari mereka yaitu Friedrich Nietzsche yang terkenal dengan teori kekuasaan dan nihilismenya.[4]

B.       BIOGRAFI
Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir di Röcken dekat Lützen, 15 Oktober 1844 dan meninggal di Weimar, 25 Agustus 1900 pada umur 55 tahun. Orang tuanya adalah pendeta Lutheran Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) dan istrinya Franziska, dengan nama lajang Oehler (1826-1897). Ia diberi nama untuk menghormati kaisar Prusia Friedrich Wilhelm IV yang memiliki tanggal lahir yang sama. Adik perempuannya Elisabeth dilahirkan pada 1846. Setelah kematian ayahnya pada 1849 dan adik laki-lakinya Ludwig Joseph (1848-1850), keluarga ini pindah ke Naumburg dekat Saale.[5] Dia adalah seorang filsuf Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno.[6] Ia merupakan salah seorang tokoh pertama dari eksistensialisme modern yang ateistis.[7]

C.      PEMBAHASAN
a.    Nietzsche dan Kekuasaan

b.   Nietzsche dan Kosmologi
Dalam pemahaman Nietzsche tentang kosmologi adalah bahwa kosmologi merupaka sesuatu yang kekal dan abadi. Yang melandasi pernyataan tersebut adalah bersandar terhadap teori Porphirus dalam kehidupan Phitagoras yang menyatakan “Menurut siklus-siklus periodik, maka apa yang terjadi akan terjadi lalgi pada suatu hari. Sebab tidak ada hal yang sama sekali baru.[8]Nietczhe juga mempertegas hal itu bahwa pada bulan Agustus 1881 ia menyatakan bahwa ia memperoleh suatu ilham tentang kembalinya segala sesuatu.[9]
Diantara banyak sekali naskah dimana Nietzsche mengulangi kembali ajaran itu yang dia mengutip dari “Also sprach Zarathustra”:
“ Segala sesuatu pergi, segala sesuatu datang kembali; berputarlah roda hakikat itu secara abadi. Segaa sesuatu itu mati, segala sesuatu itu berkembang lagi; berlangsunglah rangkaian hakikat itu secara abadi. Segala sesuatu hancur, segala sesuatu disusun kembali; berdirilah ahkikat yang sama secara abdi. Lingkaran hakikat tetap setia pada dirinya sendiri secara abadi.... hakikat itu mulai pada sama-sama... pusatnya adalah dimana-mana. Jalan kekekalan itu melingkar.[10]

c.    Kritik Nietzsche Terhadap Paham Kristen
Ada lima poin yang dikritik Nietzsche akan paham kristen yaitu paham kristen merupakan suatu platonisme bagi rakyat, paham kristen yang meremehkan badan, ajaran tentang dosa asal, paham kristen tentang moral dan paham kristen selalu memihak kepada akal yang gila.
Kritik pertama Nietzsche terhadapa kristen addalah bahwa kristen merupakan suatu platonisme. Menurut Nietzsche paham kristen merupakan terjemahan bagi rakyat dari tema-tema besar besar para penganut Plato. Itu merupakan tafsiran yang keliru sama sekali. Kristen sama sekali berlainan, dalam struktur dan kecenderungan konstitulatifnya dengan platonisme. Malahan terdapat pertentangan anatara keduanya mengenai hal-hal yang demikian pokok seperti Allah dan dunia, kosmologi, materi dan apa yang dapat ditangkap panca indera, hubungan antara yang tunggal dan yang majemuk, antropologi (jiwa, pengenalan, panca indera), masalah kejahatan, etika, dan lain-lain. Seluruh pikiran kitab suci yang dibahas kembali dan diperdalam oleh guru-guru agung filsafat dan teologi, sama sekali berbeda dengan segala bentuk platonisme.[11]
Kritik kedua adalah terhadap paham kristen yang meremehkan badan. Di sini, paham Kristen dikacaukan dengan ­gnosis, manikeisme dan kaum Kathar. Paham tersebut mengajar bahwa manusia telah jatuh ke dalam suatu dunia jahat; bahwa materi sendiri bersifat jahat; bahwa badan jahat; bahwa seksualitas jahat; bahwa keselamatan hanya dapat terdiri dari suatu pelarian dari dunia, dengan semacam perjalanan pulang kembali ke keadaan kita yang terdahulu. Nietzsche meninjau paham Kristen dari sudut pandangan ini:
“Paham Kristenlah yang pertama-tama, dengan perasaaan tidak senangnya terhadap hidup, telah membuat seksualitas sebagai suatu hal yang najis...”[12]
“Sejak permulaannya, pahham Kristen itu, pada hakikatnya dan secara fundamental, bersikap muak dan jemu terhadap hidup...kebencian terhadap dunia, fitnahan terhadap hawa nafsu, ketakutan terhadap keindahan serta seksualitas, suatu tempat di “sebelah sana” yang ditemukan untuk memfitnah hal duniawi; pada dasarnya suatu hasrat akan kehampaan, suatu kehendak akan dekadesi, suatu pertanda paling mendalam dari penyakit, kelesuan, kepayahan hidup”.[13]
Gambaran ini cocok benar dengan gnosis. Tetapi harus diketahi bahwa pikiran Kristen senantiasa berjuang melawan setiap bentuk gnosis, oleh karena paham Kristen justru kebalikan dari paham gnosis. Paham Kristen berpendapat bahwa seksualitas, seperti setiap tertib biologis, membawa sama norma-norma obyektif tertentu. Orang tidak boleh berbuat semau-maunya dengan seksualitas, sama tidak boleh berbuat semau-maunya dengan fungsi-fungsi lain dari organisme hidup. Jika norma-norma ini tidak dihormati maka berarti bahwa manusia tidak dihormati, sebab mau tidak mau menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang erugikan kesehatan fisik dan psikologis manusia.
Kritik ketiga adalah ajaran tentang dosa asal. Nietzsche telah menangkap ajaran tentang dosa asal sebagaimana telah diajarkan oleh Luther, yakni dengan cara yang bercorak khusus gnotis. Karena kejatuhan asal, maka tertib kodrati telah dicemarkan dan dirusak secara radikal. Maka hidup kita pada dasarnya adalah tersesat. Dan eksistensi kita sebagai demikian adalah salah. Dengan pengakuan-pengakuan ini maka ajaran Luther mengenai dosa asal membuat paham Kristen jatuh kembali dan meluncur kedalam jejak gnotis.[14]
Bahwa ajaran Kristen Tradisional berlainan sekali dengan ajaran Luther. Hasil ajaran Luther antara lain adalah suatu pandangan pesimistis mmengenai manusia, suatu antropologi yang ditolak oleh seluruh pikiran modern dengan cukup beralasan, atas nama martabat manuisa.
Kritik selanjutnya terhadap Kristen adalah keberatan Nietzsche terhadap perumusan realitas dalam bentuk moral, maka dari itu Nietzsche merasa muak terhadap paham Kristen dengan penuh kebencian. Menurtnya bahwa paham Kristen jauh lebih baik kaya dari itu saja (moral), maka itu berarti menyelewengkannya. Paham itu adalah wahyu, yang menerangkan segala sesuatu di bawah sinar baru, termasuk moral, tanpa menghancurkan apapun saja.
Kritik terakhir adalah bahwa paham Kristen selalu memihak kepada apa yang gila.  Dengan mengacu kepada Luther bahwa paham Kristen adalah paham irrasional:
“Paham kristen juga bertentangan dengan segala sesuatu yang secara spiritual bersifat utama. Ia hanya dapat menggunakan suatu akar sakit sebagai akal Kristen. Ia memihak kepada segala sesuatu yang gila, ia memfitnah roh, memfitnah keutamaan roh yang sehat. Oleh karena penyakit itu termasuk hakikat paham Kristen, maka dengan sendirinya kondisi yang bercorak khas Kristen, yakni iman kepercayaan, juga merupakan sesuatu bentuk penyakit. Semua jalan lurus, jujur dan ilmiah yang menuju kepada pengetahuan, harus dihindari oleh Gereja, sebagai jalan-jalan terlarang.[15]

d.   Nihilisme
Dalam pemikiran Nietzsche, narasi besar yang keambrukannya lantas mengawasi kondisi-kondisi postmodern adalah kristianitas. Sejak awal abad ke-16, modernitas dan kristianitas telah menampakkan diri sebagai pasangan yang sulit namun bukannya tak sejalan. Baru pada abad ke-20 perpecahan itu tak terhindarkan.[16]
Kematian Tuhan mengakibatkan pula putusnya korelasi kosmilogi di dalam ide tentang Tuhan; yakni penyelenggaraan tentang ilahi (divine providence). Dilain pihak, Nietzsche merumuskan manusia unggul beserta hubungan kosmologinya; yakni, suatu dunia tanpa akhir, dunia yang berlangsung abadi.[17]
Menurut Nietzsche, dalam situasi ini tugas suatu pemikiran bukanlah menyerah pada nihilisme pasif yang merupakan hasil dari pemikiran bahwa kini interpretasi moral mengenai dunia sudah berakhir. Tugas pemikiran adalah mengembangkan nihilisme aktif yang ironis sekaligus kreatif, yang merumuskan nilai-nilai baru dan melipatgandakan interpretasi-interpretasi baru. Nietzsche adalah pemikir tentang pelbagai akhir, dan hal ini seharusnya dipahami, terutama dan pertama-tama, sebagai akhir dari interpretasi-duniawi Kristen beserta seluruh kaitan sosial, psikis dan filosofisnya. Pun perlu ditambahkan bahwa Nietszhe, lewat pandangannya tentang interpretasi dan dunia yang berlangsung abadi, merupakan pemikir tentang cakrawala dunia yang tanpa batas akhir.[18]

D.      KESIMPULAN
Filsafat Nietzsche adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. Nietzsche juga dikenal sebagai "sang pembunuh Tuhan" (dalam Also sprach Zarathustra). Ia memprovokasi dan mengkritik kebudayaan Barat di zaman-nya (dengan peninjauan ulang semua nilai dan tradisi atau Umwertung aller Werten) yang sebagian besar dipengaruhi oleh pemikiran Plato dan tradisi kekristenan (keduanya mengacu kepada paradigma kehidupan setelah kematian, sehingga menurutnya anti dan pesimis terhadap kehidupan). Walaupun demikian dengan kematian Tuhan berikut paradigma kehidupan setelah kematian tersebut, filosofi Nietzsche tidak menjadi sebuah filosofi nihilisme. Justru sebaliknya yaitu sebuah filosofi untuk menaklukan nihilisme (Überwindung der Nihilismus) dengan mencintai utuh kehidupan (Lebensbejahung), dan memposisikan manusia sebagai manusia purna. Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht).
Selain itu Nietzsche dikenal sebagai filsuf seniman dan banyak mengilhami pelukis modern Eropa di awal abad ke-20, seperti Franz Marc, Francis Bacon,dan Giorgio de Chirico, juga para penulis seperti Robert Musil, dan Thomas Mann. Menurut Nietzsche kegiatan seni adalah kegiatan metafisik yang memiliki kemampuan untuk mentransformasikan tragedi hidup.

E.       PENUTUP
Makalah ini berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang Friedrich Nietzsche hanya secara global dan tidak terlalu mendalam sebagaimana di dalam buku-buku yang membahas tentangnya.
Oleh karena itu, maka makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan perlu akan adanya perbaikan. Maka diharapkan kepada semua yang meneliti teori ilmu sosial atau sosiologi khususnya yang membahas Friedrich Nietzsche agar memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.








DAFTAR PUSTAKA
Kinloch, Graham C, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Bandung, Pustaka Setia, 2005.
Beilharz, Peter, Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Solihin, M, Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Megnis, Franz, dan Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta, Gramedia, 2005.
Supriyadi, Dedi, Pengantar Filsafat Islam Konsep, Filsuf, dan Ajarannya, Bandung, Pustaka Setia, 2010.
Saebani, Beni Ahmad, dan Hamid, Abdul, Ilmu Akhlak, Bandung, Pustaka Setia, 2010.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Dimensi Ontologi dan Aksiologi, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Magee, Bryan, The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.
Van Der Weij, P. A., Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991.


[1] Graham C. Kinloch, Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi, Bandung: Pustaka Setia, 2005. Hlm. 74.
[2] Ibid, 204.
[3] Megnis, Franz, dan Suseno, Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 2005. hlm. 3.
[4] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 281-289.
[5] Wikepidea Ensklopedia Bebas, Friedrich Nietzsche.
[6] Bryan Magee, The Story of Philosophy. Yogyakarta: Kanisius, 2008.  hlm 172-179.
[7] P. A. van der Weij, Filsuf-filsuf Besar tentang Manusia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1991. hlm. 125-132.
[10] Also sprach Zarathusta, III, Der Genesende. I.
[11] Tentang hal ini. Buku C. Tresmontent, Les idees maitresses de la metaphisique cretienne, Paris, 1962.
[12] Gotzen-Dammerung, Was ich den Alten Verdanke, 41, II, hlm. 1032.
[13] Versuch einer Selbtkritik, I. Hlm. 15.
[14] Lihat C. Tresmontant.
[15] Det Antichrist, 52, II, hlm. 1218.
[16] Peter Beilharz, Teori-teori Sosial Observasi Kritis Terhadap Para Pilosof Terkemuka, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 288.
[17]Ibid.
[18] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar