MAKALAH
ULUMUL QUR’AN
( GHARAIB ALQUR’AN )
Makalah ini Disusun guna memenuhi
Tugas mata kuliah ULUMUL QUR’AN
Dosen pengampu : Prof. Dr. Nashiruddin Baidan
Disusun oleh : Faisal Amin
JURUSAN USHULUDDIN PRODI TAFSIR HADITS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
SURAKARTA
2008
PENDAHULUAN
Dalam Al Qur’an ada ayat-ayat yang
sukar pemahamannya , adalah suatu kenyataan yang sulit di bantah. Mengkaji hal
itu secara ilmiah dan mendalam amat penting agar terhindar dari penafsiran dan
pemahaman yang keliru. Kondisi ayat yang demikian telah menarik perhatian ulama
tafsir dimasa lampau. Diantaranya karangan al-Isfahani. Namun tulisan pakar
tersebut tenatang permasalahan ini, tidak membicarakan cara memahami ayat-ayat
sukar tersebut melainkan secara langsung memberikan pejelasan atau
penafsirannya. Pada hal ini kita akan membicarakan tntang ilmu tafsir bukan
menafsirkan sebagaimana mereka. Dalam hal ini ada sebuah hadist dari Abu
Hurairot yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi
" أَعْرِبُوْا
الْقُرْآنَ وَ التَّمِسُوْا غَرَائِبَهُ "
(Terangkanlah makna-makna yang terkandung
didalam Alqur’an dan carilah peringatan kata kata yang sukar)
Jadi
yang dikaji disini ialah ilmu tentang menafsirkan “gharaib” Alqur’an , bukan
menafsirkan ayat ayat Alqur’an yang sukar dalam Alqur’an
PENGERTIAN
Lafal gharib berasal
dari bahasa Arab, yakni jamak dari gharibah yang berarti asing atau sulit
pengertiannya. Apabila di hubungkan dengan Alqur’an maka yang dimaksud dengannya
ialah ayat ayat Alqur’an yang sukar pemahamannya sehingga hampir-hampir tak
dimengerti seperti kata ( اباَّ) dalam ayat 31 surat Abassa ( وَفَاكِهَةَ
وَ اَبَّا ) Jangankan kita yang bukan bangsa arab,
bahkan orang Arab asli dan sahabat Rasulullah tak paham maksud kata tersebut.
Contoh ketika Abu bakar ditanya tentang ayat tersebut beliau menjawab “ Mana langit
yang akan menaungiku, dan mana bumi tempatku berpijak, bila kukatakan sesuatu
yang tidak aku ketahui dalam kitab Allah? “.
Cuplilkan peristiwa di atas dapat
dijadikan bukti bahwa dalam Alqu’an memang ada ayat ayat yang sukar dipahami.
Ayat-ayat yang serupa itulah yang dimaksud gharaib Alqur’an.
CARA
MENAFSIRKANNYA
Permasalahan ini menjadi problema
setelah wafatnya Rasulullah, karena sebelum rasul meninggal permasalahan
kembalinya ke rasul. Namun sebelum wafat beliau telah meninggalkan dua pusaka Alqur’an
dan Hadist. Nabi menjamin sepenuhnya siapa saja yang berpegang kepada keduanya
niscaya tidak akan sesat selama-lamanya.
( تَرَكْتُ فِيْكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا
بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِى ) (رواه الحكم ) Secara
teoris kembali keada Alqur’an dan Sunnah boleh disebut tidak ada masalah; tapi
problema segera muncul dan terasa sekali memberatkan pikiran ketika teori itu
akan diterapkanuntuk memecahkan berbagai kasus yang terjadi dimasyarakat. Dalam
hal ini tidak terkecuali permasalahan tafsir seperti kasus yang dihadapkan
kepada Abu Bakar yang telah dikutip di atas.
Ketika Nabi masih hidup perasalahan
tafsir serupa itu belum sempat ditanyakan; lalu beliau wafat sementara
ayat-ayat yang gharaib belum sempat dijelaskan pengertiannya. Oleh karenanya cara
yang ditempuh ulama dalam memahminya ialah sebagai berikut:
1.
Menafsirkan
Alqur’an dangan Alqur’an
2.
Jika
tidak ada dalam Alqur’an maka dicari dalam Sunnah;
3.
Kalau tidak juga ditemukan, maka dicari dalam atsar
(pendapat) sahabat.
4.
Jika masih belum dijumpai. Maka dicari dalam pendapat
para sahabat dan tabi’in.
Contoh
: Kata ) ظُلْمٍ) didalam ayat 82 dari al-An’am :
الّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَلمَ ْيَلْبِسُوْا إِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ
أُوْلئِكَ لَهُمْ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُوْنَ. (الأنعام 82)
Pemakaian kata zhulm dalam
konteks ayat itu terasa membawa pemahaman yang asing dan seakan akan tidak
cocok dangan kenyataan sebab hampir tak ditemukan orang-orang yang beriaman
yang tak melakukan kezhaliman. Jika demikian halnya tentu tak ada orang beriman
yang akan tentram hidupnya dan mereka tak akan mendapat petunjuk, atau dengan
perataan lain percuma mereka beriman jika mereka tak akan selamat karena
teramat sukar bagi mereka untuk membebaskan diri mereka sepenuhnya dari
kezhaliman.
Oleh karena itu, sahabat bertanya
kepada Raul Allah; lalu rasul menafsirkan kata zhulm dalam ayat itu dengan syirik
berdasarkan ayat 13 dari surat Luqman
"لاَ تُشْرِكُ بِاللهِ
إِنْ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ "
(Jangan kamu mensekutukan Allah, seungguhnya syirik
itu ialah kezaliman yang besar )
Dari
penjelasan Nabi itu diketahuilah bahwa kata zhulm dalam ayat itu berarti
syirik bukan kezhaliman biasa. Berdasarkan penjelasan nabi maka ayat 82
dari An’am diterjemahkan sebagai berikut “Orang orang yang beriman dan tidak
mencampuradukan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka adalah orang orang yang mendapat
petunjuk “
5. Melalui syi’ir (syair) arab. Artinya untuk
mengetahui maksud dari ayat ayat yang sukar pengertiannya itu dicari padanan
pemakaian dan maknannya dalam syair-syair Arab.
Sebagian ulama menolaknya karena cara serupa itu menurut
mereka berarti menjadikan syair sebagai asal bagi Alqur’an sendiri tidak
menyukai syair seperti tampak pada kecaman dan celaannya terhadap para penyair
yang mengubah syair tersebut sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat 224-226
dari surat al-Syu’ara’ sebagai berikut :
وَالشُّعَرَاءُ
يَتْبَعُهُمْ الغَاوُوْنَ أَلمَ ْتَرَ أَنَّهُمْ فِي كُلِّ وَادٍ يَهِمُوْنَ. وَأَنَّهُمْ
يَقُوْلُوْنَ مَا لاَ يَفْعَلُوْنَ ( الشعراء : 224-226 )
(Dan penyair penyair itu diikuti oleh orang orang yang sesat.
Tidaklah kamu melihat, mereka
mengembara di tiap tiap lembah; dan mereka mengatakan apa yang mereka
sendiri tidak melakukannya)
Dalam surat Yasin ayat 69 ditegaskan pula bahwa Allah tak pernah mengajarkan syair kepada Nabi
Muhammad SAW dan tak pantas syair itu baginya ( َومَا عَلَمْنَاهُ الشِّعْرَ وَ مَا يَنْبَغِي لَهُ
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌ )
Namun sebagian
besar ulama tetap menjadikan syair
sebagai salah satu cara dalam memahamai ayat ayat Alquran. Cara serupa ini
kata Abu Bakar bin al-Anbari
sebagaimana dikutip al-Suyuthi, banyak
dilakukan oleh para sahabat Nabi dan tabi’in. Dalam konteks ini Ibnnu Abbas
berkata : “Syair (bagikan) kitab (diwan) bagi bangsa arab. Dari itu apabiala
sukar bagi kami memahami suatu kata dari Alqu’an yang diturunkan Allah dalam bahasa Arab, maka kami akan
kembali kepada diwan itu (syair); lalu kami mencari pemahaman kata darinya”
Penegasan
Ibnu Abbas ini mengandung makna bahwa para sahabat nabi tidak menjadikan syair
sebagai dasar dalam memahami suatu kata melainkan sekedar media alat bantu
dalam memahaminya. Kita mengetahui bahwa Alqur’an diturunkan dalam bahasa Arab,
dengan demikian, bahasa arab (syair) hanya berfungsi sebagai alat untuk
memahami ayat ayat tersebut. Jika demikaian maka tidak ada salahnya bila kita
menggunakan syair Arab untuk memahami Alqur’an selama tidak menganggap syair
tersebut sebagai asal dari Alqur’an melainkan hanya sekedar memudahkan
pemahaman. Sebagai contoh kata “ أَنْدَادًا “ yang terdapat dalam enam tempat dalam Alqur’an yaitu ayat 22
dan 165 dari al-Baqoroh; ayat 30 dari Ibrahim; ayat 33 dari Saba; ayat 8 dari
al-Zumar dan ayat 9 dari al-Fushshilat. Menurut Ibnu Abbas kata tersebut
mengandung arti bandingan’ ( أَشْبَاهٌ وَأَمْثَالٌ) sebagaimana serupa itu juga
ditemukan dalam syair Arab seperti ucapan Habib bin Rabi’ah.
“اَحْمَدَ اللهَ فَلاَ نِدَّالَهُ + بِيَدِيْهِ الْخَيْرُ ماَ شاَءَ
فَعَلَ "
(Saya memuji Allah, tidak ada {teman} sebanding bagi-Nya. Di
tangannya terletak kebaikan, apa yang dikehandaki-Nya pasti terjadi )
FAEDAH MENGETAHUI GHARAIB ALQUR’AN
Banyak faedah yang dipetik dengan mengetahui dan mempelajari
ayat ayat yang ghaibat antara lainnya :
1. Mengundang tubuhnya penalaran ilmiyah. Artinya dengan
memelajari ayat ayat yang sulit pemahamannya itu akan melahirkan berbagai ilmu
baru dikalangan ulama muslim di dunia ini dan juga menumbuhkan syaraf syaraf
baru diotak para pemikir muslim. Jadi jika Alqur’an yang turun itu hanya berisi
ayat ayat yang biasa dan mudah dipahami maka kegiatan penalaran ilmiah kurang
termotifasi. Dengan demikian tidak akan lahir analisis tajam. Akibatnya otak
akan menjadi manja dan kurang berpikir.
2. Mengambil perhatian umat. Dengan diketahuinya
ke-gharaib-an ayat ayat Alqur’an, maka terasa secara mendalam ketinggian bahasa
yang di bawa oleh Alqur’an, baik lafalnya, maupun kandungan yang terkandung
didalamnya.
3. Memperoleh keyakianan terhadap eksistensi Alqur’an
sebagai kalam Ilahi. Dengan diketahui maksud yang terkandung dalam ayat ayat
yang gharibat maka diperoleh sesuatu pemahaman yang mendalam dari ayat
tersebut.
PENUTUP
Dari uraian
dimuka, jela bagi kita bahwa untuk memahami dan menafsikan ayat ayat yang
gharibat diperlukan keluasan
pengetahuan, tidak hanya tentang ‘ulum Alqur’an, melainkan juga hal-hal
yang berhubungan dengan budaya, kondisi, adat istiadat bangsa dan bahasa Arab,
terutama yang ditemukan ketika Alqur’an diturunkan.
Tanpa mengetahui hal-hal tersebut tidak mustahil bagi kita akan keliru dalam
menafsirkan ayat ayat gharibat itu.
REFERENSI
Al-Qur’an
al-Karim, al-Madinat al-Munawwarat
Majamma’ al-Malik Fahad bin ‘Abdul ‘Aziz al-Su’udi, t.th.
Nashruddin
Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-1
2005.
Nashruddin
Baidan, Metode penafsiran Alqur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cetm
ke-1 2002.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar