TAFSIR SURAT AR-RA'DU AYAT 35
(Tentang Perumpamaan Surga)
Oleh: Ysuf Taziri
PENDAHULUAN
Banyak
ayat-ayat al-Qur,an yang bercerita tentang surga, dengan segala keindahannya.
Seperti didalam surga itu terdapat buah-buahan yang sangat lezat, sungai-sungai
yang mengalir dan lain-lain.
Tetapi
dalam penangkapan ayat-ayat tentang surga itu, banyak sekali orang-orang yang
hanya menyimpulkan surga itu menurut teks yang tertulis saja dan tidak meniliti
lebih dalam teks tersebut dengan berbagai pendekatan-pendekatan yang ada;
seperti: hermeneutik, antropologi, sosiologi, politik, budaya, sejarah dan
berbagai pendekatan yang bisa membantu kita terhadap penafsiran kita agar lebih
baik dan benar.
Oleh karena
itu, maka kami ingin membahas tentang ayat yang membicarakan perumpamaan surga,
salah satu dari ayat al-Qur'an yang berbicara tentang tema itu yaitu surat ar-Ra'du, ayat 35.
PEMBAHASAN
@sW¨B Ïp¨Yyfø9$# ÓÉL©9$# yÏããr tbqà)GßJø9$# ( ÌøgrB `ÏB $uhÏGøtrB ã»pk÷XF{$# ( $ygè=à2é& ÒOͬ!#y $yg=Ïßur 4 y7ù=Ï? Ót<ø)ãã úïÏ%©!$# (#qs)¨?$# ( _q<ø)ãã¨r tûïÍÏÿ»s3ø9$# â$¨Y9$# ÇÌÎÈ
Terjemahannya:
Perumpamaan
syurga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman);
mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti sedang naungannya
(demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa, sedang
tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka.
Penjelasan:
Dalam
tafsir al-Wadhih, Muhammad Mahmud Hijazy mengungkapkan perumpamaan dari surga
yang dijanjikan Allah SWT adalah bahwa Allah hanya ingin menggambarkan sesuatu
yang gaib agar bisa dipahami dan dimengerti oleh khalayak atau manusia, atau
bisa dikatakan untuk pemahaman, diterima oleh akal. Tetapi menurut beliau surga
yang dijanjikan sebenarnya adalah sesuatu yang tidak dapat diketahui oleh orang
dan hanya bisa diketahui setelah masuk kedalamnya, berbahagia dan
bersenang-senag didalamnya.[1]
Adapun
dalam beberapa buku tafsir lainnya[2]disebutkan
bahwa surga yang dijanjikan Allah kepada orang yang bertaqwa adalah surga yang
didalamnya terdapat sungai yang menaglir berasa susu dan tidak akan berubah
sedikitpun dari rasanya, sangatlah lezat bagi yang meminumnya, dan dari sungai
mengalir madu yang jernih, begitu pula dari berbagai buah-buahan.[3]Adapun
balasan bagi orang-orang kafir adalah api nerka yang bahan bakarnya dari
manusia dan bebatuan yang ditempati oleh para malaikat yang seram dan bringas.[4]
Abu
al-Hasan Ali bin Muhammad dalam buku tafsirnya al-Mawardi mengatakan,[5]
ada dua pendapat: pertama, perumpamaan dari surga itu sendiri.[6]Kedua,
adalah tidak adanya perumpamaan.[7]
Tafsir
Maraghi dalam penafsirannya pada ayat ini tidaklah jauh dari tafsir lainnya dan
hampir sama dengan tafsir al-Wadhih,, akan tetapi didalamnya dituliskan
beberapa sebab masuknya surga dan neraka. Seperti menjauhi kejahatan dan
kemaksiatan, adapun contoh dari perbuatan yang menyebabakan seorang masuk
neraka adalah minum minuman kerasm berzina dan lain-lain.[8]
Dari
beberapa penjelasan tafsir diatas, maka menurut hemat penulis bahwa surga yang
digambarkan Allah SWT dalam al-Qur'an bukanlah demikian tetapi itu hanyalah
sebuah gambaran agar bisa dipahami dan diterima akal.
Alasan
mengapa saya menyimpulkan demikian, karena seandainya surga itu hanya bersifat
demikian, maka telah banyak orang-orang yang merasakan kenikmatannya, walaupun
tidak selezat yang ada disurga. Dan kalau kita melihat tempat lahirnya ayat
tersebut, kita akan bisa memahami, mengapa Allah menggambarkan surga demikian.
Pertama, di Arab dahulu bahkan sekarang jarang terdapat kebun-kebun yang
rindang lagi berbuah. Hal ini akan menarik perhatian dan merespon hasrat mereka
agar bisa dekat dan masuk kepada islam. Kedua, Allah menjanjikan bidadari yang
sangat cantik, karena menurut pendekatan psikologi dan melihat kondisi orang Arab,
bahwa orang Arab suka memakan daging yang sangat banyak. Hal ini bisa
menyebabkan dan meningkatnya keinginan untuk berhubungan badan, oleh karena itu
Allah menggambarkannya seperti diatas.
PENUTUP
Dari uraian diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa surga itu bisa dimaknai dengan secara kontekstual atau tekstual.
Tetapi kami lebih condong kepada penafsiran dengan kontekstual dengan berbagai
pendekatan-pendekatan yang bisa membantu seorang mufassir dalam pengambilan
kesimpulan agar lebih baik dan tepat.
REFRENSI
Muhammad Mahmud Hijazy, Tafsir
al-Wadhih Jilid III, Darul Jail, 1993
Abu al-Hasan Ali bin
Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, An-Nukat wa al-Uyun Tafsir
al-Mawardi Jilid III, Bairut ,
Lebanon , tt
Ahmad Musthafa, Tafsir
al-Maraghi Jilid V, Darul Fikr, tt,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar