PEMIKIRAN
DAN GERAKAN MODERN ISLAM
DI
INDONESIA
Oleh: YUS YUSUF ZAENI TAZIRI
A.
Pemikiran
Pemikiran atau pandangan
hidup menurut professor Alparslan suatu worldview terbentuk dalam
pandangan individu secara perlahan-lahan, bermula dari akumulasi konsep-konsep
dan sikap mental yang dikembangkan oleh
seseorang sepanjang hidupnya. Secara epistemologi proses berpikir ini sama
dengan cara kita mencari dan memperoleh ilmu. Ilmu pegetahuan yang diperoleh
seseorang itu sudah tentu terdiri dari berbagai konsep dalam bentuk ide-ide,
kepercayaan, aspirasi dan lain-lain yang kesemuanya membentuk suatu totalitas
konsep yang saling berkaitan dan terorganisasikan dalam suatu jaringan.
Jaringan ini membentuk struktur berpikir yang koheren. Maka dari itu pandangan
hidup seseorang itu terbentk tidak lama setelah pengetahuan yang diperoleh
dalam bentuk konsep-konsep itu membentuk suatu keseluruhan yang saling
berhubungan. Jaringan ini terbentuk oleh pendidikan masyarakat dan dalam kasus
Islam dibentuk utamanya oleh agama.[1]
Jika dalam pandangan
hidup suatu masyarakat tidak terdapat konsep ilmu atau konsep-konsep lain yang
berkaitan, maka pandangan hidup itu hanya berperan sebagai kondisi berpikir
yang tidak menjamin adanya kegiatan ilmiah atau penyebaran ilmu pengetahuan.
Jika pandangan hidup suatu masyarakat itu telah memiliki konsep ilmu atau
konsep-konsep lain yang berkatan maka pandangan hidup itu akan berkembang
melalui cara-cara ilmiah.[2]
Pemikiran Islam atau
biasa disebut pandangan hidup dalam Islam tidak bermula dari adanya suatu
masyarakat ilmiah yang mempunyai mekanisme canggih bagi pengetahuan ilmiah.
Pandangan hidup Islam dicanangkan oleh Nabi melalui penyampaian wahyu Allah
dengan cara-cara yang khas. Setiap kali Nabi menerima wahyu yang berupa
ayat-ayat al-Quran, beliau menjelaskan dan menyebarkannya ke masyarakat.[3] Dan
masyarakat Islam sangat respon terhadap ajaran yang di sampaikan oleh Nabi ini.
Sehingga memunculkan pertanyaan-pertanyaan dan solusi dalam penyelesaian
masalah.
Perkembangan pemikiran
Islam selanjutnya melahirkan ilmu-ilmu ushul dan ilmu-ilmu keislaman. Seperti
thelogi, fiqh, filsafat Islam dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut akan terus
diadaptasikan dengan perkembangan jaman dan permasalahan-permasalahan yang
terus berkembang. Hal ini tentu saja menjadi memenifesto terhadap
pemikiran orang Islam yang bersifat pergerakan atau pun terhadap perubahan
sosial.
B. Paham Modern atau Modernisme
Menurut
Karen Armstrong, abad modern adalah abad kemunculan ilmu pengetahuan Sering
dikatakan bahwa periode modern dimulai pada tahun 1492, ketika Christopher
Columbus menyebrangi samudra Atlantik dengan harapan menemukan jalur pelayaran
baru ke India dan alih-alih justeru menemukan benua Amerika. Pelayaran ini
tentu mustahil tanpa adanya penemuan-penemuan ilmiah, seperi kompas magnetik
dan wawasan terbaru dibidang ekonomi. Orang-orang Eropa Barat sedang ada di
ambang dunia baru yang akan memberi mereka kendali yang belum pernah tercapai
sebelumnya atas lingkungan mereka, dan Spanyol Kristen berada di garda depan
perubahan ini. Pelindung Columbus adalah Raja Katolik Ferdinan dan Isabela,
yang perkawinannya telah menyatukan kerajaan Iberia Aragon dan Kasilia. Spanyol
sedang dalam proses menjadi negara modern yang terpusat. Ini adalah jaman
transisi. Columbus sendiri jelas fasih dengan ide-ide ilmiah baru yang dibahas
dengan semangat di universitas-universitas Spanyol.[4]
Orang-orang Eropa telah memulai perjalanan mereka menuju modernitas.
Modernitas di dunia barat biasa di
hubungkan dengan industrialisasi. Meskipun demikian, perubahan yang diusulkan
modernitas melihat bahwa kunci dalam modernitas adalah perubahan yang
diakibatkannya pada kesadaran. Kesadaran individu atas keberadaannya sebagai
manusia yang unggul dari makhluk lainnya. Kesadaran ini merubah pola pikir dirinya
ke arah kemajuan dan kesejahteraan.[5]
Sebenarnya secara garis besar modernis
bisa dipahami sebagai pengutamaan dan pemahaman tentang kesadaran yang sebagai
suatu kekuatan tersendiri. Pernyataan Baudelaire bahwa modernitas itu adalah
yang bersifat sementara, mengembang dan kontingen’ bisa dipahami dalam
pengertian ini.[6]
Modernitas mempunyai pendiriannya
sendiri. Sebagian akan mendapati era modern yang bersifat membebaskan dan
memikat, tetapi bagi yang lain sebagai sesuatu yang memaksa. Perkembangan modernitas
ini sugguh merubah masyarakat, ketika masyarakat berubah untuk mengakomodasi
perkembangan ini, agama juga harus berubah.[7]
Modernisasi melibatkan industrialisasi,
urbanisasi, meningkatnya masyarakat yang melek huruf, tingkat pendidikan,
kesejahteraan, mobilisasi sosial, dan berbagai tatanan yang lebih kompleks dan
beragam. Hal ini merupakan hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sejak abad 18 yang menjadikan manusia mampu membentuk serta
mengendalikan alam melalui cara-cara yang tak terhingga. Modernisasi merupakan
proses perubahan yang terjadi secara cepat yang dialami oleh suatu masyarakat
primitif menuju masyarakat berperadaban.[8]
Sikap-sikap, nilai-nilai, pengetahuan, dan kebudayaan masyarakat modern sangat
jauh berbeda dengan apa yang terdapat dalam masyarakat tradisional. Sebagaimana
umumnya masyarakat-masyarakat yang menuntut berbagai bentuk pendidikan,
pekerjaan, kesejahteraan, dan struktur sosial.
Terdapat perbedaan-perbedaan yang
signifikan antara kebudayaan modern dan kebudayaan tradisional. Kebudayaan
modern tidak lagi merasa perlu untuk saling bergantung satu sama lain, berbeda
halnya dengan kebudayaan tradisional. Sebuah dunia yang di dalamnya terdapat
berbagai masyarakat yang sepenuhnya telah modern sekaligus di huni oleh
masyarakat-masyarakat yang masih tradisional, akan lebih homogen dibanding
dengan sebuah dunia yang seluruh masyarakatnya telah berada dalam tingkatan
modernitas yang tinggi.
Masyarakat modern dapat saling
menggantikan satu sama lain dikarenakan dua alasan. Pertama, meningkatnya hubungan diantara masyarakat-masyarakat
modern tidak mampu menciptakan sebuah kebudayaan yang dapat diterima secara
umum, akan tetapi hanya mempeasilitasi penyebaran teknologi, penemuan-penemuan
dan berbagai praksis dari suatu masyarakat ke masyarakat lain secara cepat
menuju suatu tataran yang tidak mungkin dapat dicapai oleh
masyarakat-masyarakat yang masuh tradisional. Kedua, masyarakat tradisional tergantung pada pertanian; masyarakat
modern bertumpu pada industri, yang berkembang dari industri kerajinan tangan
menuju industri berat dan akhirnya sampai pada industri modern.[9]
C.
Pemikiran dan Gerakan Modern Dalam Islam
Dalam bahasa indonesia
telah dipakai kata modern, modernisasi dan modernisme. Modernisme atau paham
modern selalu dartikan dengan hal-hal yang bersifat baru, perubahan, gaya hidup
atau cara pandang. Paham modern kemudian merambah ke permasalahan-permasalahan
agama, yang pada saat itu memang dibutuhkan pemikiran modern agama untuk merespon
ilmu pengetahuan yang berkembang di dunia barat dan kolonialisme hegemoninya.
Dalam masyrakat barat
“modernisme” mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha-usaha untuk
mengubah paham-paham dan adat-istiadat, institusi-institusi lama dan lain
sebagainya, agar semua itu sependapat dengan dengan keadaan baru yang timbul
oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[10] Modernisasi dalam hidup
keagamaan di Barat mempunyai tujuan untuk menyesuaikan ajaran yang terdapat
dalam agama kristen dengan ilmu pengetahuan dan filsafat modern.
Sebagaimana
halnya di dunia Barat, di dunia Islam juga timbul pikiran dan gerakan untuk
menyesuaikan faham-faham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang
ditimbulkan kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi moderm. Dengan jalan itu
peminpin-peminpin Islam modern berharap akan dapat melepaskan umat Islam dari
suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa ke pada kemajuan.[11]
Modernisme
di dunia Islam timbul pada abad XIX di negara-negara Islam Asia Barat, yang
merupakan reaksi atas tantangan Barat. Gerakan ini berpusat di Universitas Al
Azhar di Kairo, Mesir dan pimpinannya adalah Jamaluddin al-Afghani. Gerakan ini
datang ke Indonesia berkat tokoh-tokoh berpengaruh bernama Muhammad Iqbal dan
Sayyid Amir Ali. Gerakan ini ingin mencari nilai-nilai yang dianggap sesuai
dengan zaman modern. Reformisme Islam dapatlah dianggap sebagai gerakan
emansipasi keagamaan dan agamanya dihargai sepenuhnya oleh orang Barat.
Akibatnya nasionalisme berdasarkan agama Islam meluas, termasuk Indonesia.
Modernisme Islam masuk ke Indonesia pada abad yang lalu dan awal abad ini,
dilakukan oleh sekelompok masyarakat Arab Hadramaut dan orang Muslim India.[12]
Persoalan
dan gerakan yang timbul di dunia Islam modern sebagai akibat kontak yang
terjadi antara dunia Barat dan dunia Islam. Selain dari kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang banyak mempengaruhi pandangan hidup umat Islam,
kontak itu juga memunculkan ide-ide baru dalam Islam, seperti rasionalisme,
nasionalisme, sosialisme, demokrasi dan lain-lain.[13]
Ini semua
menimbulkan persoalan-persoalan dalam dunia Islam, dan peminpin-peminpin Islam
pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan baru tersebut. Seperti halnya di
dunia barat, di dunia Islam pun masalah tersebut diatasi dengan pikiran dan
gerakan penyesuaian ajaran Islam dengan ide-ide yang dibawa ilmu pengetahuan
modern tersebut. Dengan cara demikian, peminpin-peminpin Islam modern berharap
akan dapat melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran, lambat laun akan
membawa umat Islam ke jaman kemajuan.
1.
Kaum paderi
Paderi adalah sebuah nama didaerah
padang, didaerah inilah awal mulanya diterapkannya gerakan puritanisme di
Indonesia. Gerakan puritanisme adalah sebuah gerakan pemurnian ajaran Islam
yang telah terpengaruh atau telah tercemari oleh ajaran-ajaran yang datang dari
luar Islam. Gerakan ini pertama kali di plopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahab.
Berkat bantuan penguasa keluarga Su`ud faham ini berkembang diwilayah jazirah Arabia,
dan sempat menggoyahkan kerajaan Turki Usmani.[14]
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk kewilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda paderi yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi. Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda Paderi mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. [15]
Gerakan puritanisme ini dibawa masuk kewilayah Indonesia oleh tiga orang kaum muda paderi yang baru pulang kembali dari tanah suci selepas melaksanakan ibadah haji, mereka itu adalah Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang pada tahun 1803 Masehi. Mereka kemudian membentuk kelompok yang terkenal dengan kelompok Harimau Nan Salapan atau kaum muda Paderi mereka mengadakan penentangan terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minang Kabau, yang telah terpengaruh oleh unsur-unsur tahayul, bid’ah, dan kurafat. [15]
Masyarakatnya sudah menyimpang jauh dari
tradisi keagamaan yang telah ada. Perjudian, penyabungan ayam, dan sebagainya
adalah contoh dari sebagian kecil perbuatan mereka yang waktu telah merupakan
perbuatan atau suatu hal yang biasa.oleh karena itu, kedatangan tiga orang Haji
ini, yang kemudian bersekutu dengan tuanku Nan Renceh dan tuanku Imam Bonjol,
melakukan gerakan kemurnian ajaran Islam. Karena aktifitas mereka dianggap
cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau kaum adat paderi, maka kaum tua
meminta bantuan Belanda pada tahun 1821-1937 M terjadilah perang paderi.[16]
Dalam pertempuran yang tidak seimbang
itu kaum Ulama mengalami kekalahan ulama dalam perang paderi dalam menghadapi Belanda,bukanlah
membuat patah semangat para tokoh pejuang pembaharu itu,tetapi gerakannya
semakin hebat. Gerakan pembaharuan tersebut tidak lagi bersifat politik agama,
tetapi dialihkan kedalampembaharuanpndidikan.[17]
Perang paderi dianggap sebagai pembaharuan dalam Islam, karena tujuan dari perang paderi adalah memiliki kekuasaan yang kuat, dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum ulama dapat menguatakan ajaran Islam yang telah banyak ditinggalkan. Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Islam ajarkan.
Para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan madrasah dan Pondok Pesantern yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada abad ke-20Masehi.[18]
Perang paderi dianggap sebagai pembaharuan dalam Islam, karena tujuan dari perang paderi adalah memiliki kekuasaan yang kuat, dengan memiliki kekuatan atas kekuasaan kaum ulama dapat menguatakan ajaran Islam yang telah banyak ditinggalkan. Kondisi pada saat itu daerah Minangkabau jauh dari apa yang Islam ajarkan.
Para Ulama giat mengadakan ceramah-ceramah, pengajian, mendirikan madrasah dan Pondok Pesantern yang diberi nama Sumatera Thawalib. Pengaruh gerakan ini lalu meluas keseluruh tanah air yang diikuti dengan bermunculannya berbagai organisasi Islam pada zaman pergerakan nasional di Indonesia pada abad ke-20Masehi.[18]
2. Al-Irsyad
Jika ditelusuri, awal mulanya kemunculan
Al-Irsyad dilatarbelakangi oleh terjadinya pertentangan dalam Jami’at Al-Khair,
terkait persoalan konsep kafa’ah
dalam pernikahan. Yakni, apakah mereka yang memiliki gelar sayyid boleh menikah
dengan rakyat biasa atau tidak? Bagi masyarakat arab modernis, perkawinan
semacam itu sah, akan tetapi menurut kaum tradisionalis, pernikahan itu
dianggap tidak sah, karena salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya
kafa’ah antara kedua mempelai. Kalau syarat kafa’ah tidak terpenuhi maka perkawinan
dianggap batal atau tidak sah.[19]
Semula, perdebatan kafa’ah ini muncul
pertama kali ketika Ahmad Surkati berkunjung ke Solo, tepatnya dalam suatu
pertemuan di kediaman Al-Hamid dari keluarga Al-Azami. Pada saat menjamu
Surkati ini terjadi pembicaraan tentang nasib seorang syarifah, yang karena
tekanan ekonomi terpaksa hidup bersama seorang China di Solo. Surkati
menyarankan agar dicarikan dana secukupnya untuk memisahkan kedua orang yang
tengah kumpul kebo itu. Pilihan lain yang diajukan Surkati adalah hendaknya
dicarikan seorang muslim yang ikhlas menikahi secara sah seorang pejina tersebut,
agar ia bisa terlepas dari gelimang dosa.[20]
Setelah Surkati mengeluarkan fatwa
tentang sahnya pernikahan yang tidak sekutu tersebut, kemudian terjadi
pertentangan yang terkenal dengan ”Fatwa Solo”. Fatwa tersebut telah
”Mengguncang” masyarakat Arab golongan Alawi. Fatwa ini dianggap sebagai
penghinaan besar terhadap kelompok mereka. Mereka menuntut kepadaSurkati agar bersedia
mencabut fatwanya, Surkati tetap mempertahankan fatwanya dan berusaha
menghormati pendapat publik yang setuju maupun yang menolak.
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati.[21]
Akibat telah mengeluarkan fatwa, pada tahun 1914 Ahmad Surkati dikeluarkan dari Jami’atul Al-Khair. Setelah dikeluarkan dari jami’atul Al-Khair dengan dibantu oleh Sayyid Saleh bin Ubaid Abdatu dan Sayyid Said Masya’bi untuk mendirikan madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah yang diresmikan pada tanggal 15 Syawal 1332 H. Bertepatan 6 September 1914 dengan dia sendiri sebagai pimpinannya. Tidak lama setelah Surkati dikeluarkan dari Jami’atu Al-Khair, keluar pula para guru yang berasal dari Makkah, baik yang datang bersama Surkati maupun yang datang atas jasa Surkati.[21]
Sebagian mereka kembali ke Makkah dan
sebagian tetap tinggal di Indonesia dan bergabung dengan Al-Irsyad sampai akhir
hayat mereka di Indonesia. Di antara mereka adalah: Abul Fadhel Muhammad Khair
Al-Anshori yang tidak lain adalah saudara kandung Surkati, Syaikh Muhammad Nur
Muhammad Khair al-Anshori,dan lain sebagainya.[22]
Izin untuk pembukaan dan pengelolaan
Madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyah berada ditangan dan atas nama Surkati.
Berdasarkan ordonasi guru 1905 yang mengatur pendidikan islam, beban tanggung
jawab Surkati akan ringan apabila Madrasah tersebut dinaungi oleh satu organisasi
yang teratur dan memiliki status badan hukum. Maka disiapkanlah berdirinya
Jami’iyyah Al-ishlah wa Al-irsyad Al-Arabiyyah, yang beberapa tahun kemudian
diganti dengan nama Jami’iyyah Al-Ishlah wal Irsyad Al-Islamiyyah.[23]
Permohonan pengesahan diajukan kepada
Gubernur Jendral AWF. I den Burg, sementara pengurusan Madrasah dilaksanakan
oleh suatu badan yang diberi nama: Hai’ah Madaris Jami’iyyah Al-Irsyad yang
diketuai oleh Sayyid Abdullah bin Abu Bakar Al-Habsyi. Meskipun pengesahan dari
Gubernur Jendral belum keluar, Syaikh Umar Yusuf Manggus telah berhasil menyewa
gedung bekas hotel ORT yang tidak berfungsi lagi di Molenulist West, Jakarta,
guna memenuhi kebutuhan yang agak mendesak karena perhatian dan peminat yang
luar biasa.[24]
Penghimpunan Al-Irsyad (sebagai lembaga
yang memiliki hukum) akhirnya memperoleh pengakuan dari Gubernur Jendral pada
tanggal 11 Agustus 1915.
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagai berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyah, persatuan Islam dan Al-Irsyad merupakan tiga serangkai”yang tak terpisahkan”.[25]
Dalam perjalanannya, Al-Irsyad terlihat sering menjalin kerjasama dengan organisasi Modernis Islam lainnya, seperti Muhammadiyyah dan Persis sebagai berikut ini:
”Dengan lahirnya persatuan Islam di Bandung, pada tahun 1923, kemudian dengan munculnya Fachruddin pada pimpinan Muhammadiyyah kegiatan dakwah menjadi kian semarak dakwah Muhammadiyyah dan Persis diucapkan pula diucapkan diisi oleh tenaga-tenaga dari Al-Irsyad, khusnya dari kelompok izh harAl-Haq ini, ketika Ali Harahah berangkat ke Hejaz dan bermukim kesana, sekitar satu tahun delapan bulam dan baru kembali ke Jakarta bulan juni 1929, kegiatan Izhar Al-haq ikut berhenti. Meskipun demikian Muhammadiyah, persatuan Islam dan Al-Irsyad merupakan tiga serangkai”yang tak terpisahkan”.[25]
Kerjasama antara Al-Irsyad dengan
organisasi Modernis Islam lainnya terus Berlanjut pada kongres Al-Islam ke-1 di
Cirebon pada tahun 1922, kongres Al-Islam ke-2 tahun 1923 di Garut, kongres
ke-3 di Surabaya tahun 1924, kongres Al-Islam ke-4 di Yogyakarta tahun 1925,
kongres Al-Islam ke-5 di Bandung tahun 1926(Hussein Banjerei, 1996:114).
Al-Irsyad juga menjalin kerjasama dengan gerakan-gerakan Islam lain dalam
majelis Islam A’la Indonesia.[26]
Menurut Hussein Badjerei, salah seorang
tokoh pemikir dari Al-Irsyad, organisasi Al-Irsyad didirikan bukan untuk
melawana atau menandingi Jami’at Al-Khoir. Al-Irsyad lahir bukan karena desakan
kebencian kepada segolongan masyarakat Arab yang saat itu di sebut Alawiyyin.
Semasa Surkati masih hidup, Al-Irsyad tidak melulu mengurusi dan berdakwah
kepada masyarakat Arab Hadrami; tidak melulu mengurusi perantau dari Hadramaut.
Risalahnya cukup luas, surkati tidak mululu mengurusi persoalan pembaharuan
dikalangan masyarakat Arab hadrawi.[27]
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Perhimpunan Al-Irsyad juga tidak dibangun dari asas kekesalah kemarahan, para pemimpinnya bukanlah diktator. Karena itulah Al-Irsyad bisa hidup terus sepanjang waktu, meski parapemimpinnya wafat dan silih berganti, sebagai kelompok organisasi Islam tertua yang telah meneliti sejarah di berbagai jama’ah, dari zaman penjajahan Belanda sampai sekarang ini.
Masa formatif Al-Irsyad diawali sejak
kelahirannya. Akte pendirian dan anggaran dasar Al-Irsyad disahkan oleh
Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan nomor 47, tertanggal 11agustus 1915, dan
disiarkan dalam surat kabar Javasche Courant Nomor 67, tertanggal 20 Agustus
1915. Keputusan ini kemudian menjadi izin resmi kelahiran organisasi ini, yaitu
19 Agustus 1915, dalam keputusan ini pula tercatat pengurus pertamanya, yaitu:
Salim bin Awad Balweel sebagai ketua, Muhammad Ubaid Abud sebagai sekretaris,
Said bin Salim Masya’bi sebagai bendahara, dan saleh bin Obeid bin Abdat
sebagai penasehat.[28]
Setelah peristiwa dikeluarkannya beslit
dari Gubernur Jendral pada hari selasa tanggal 19 syawal 1333/31 Agustus
1915,maka diadakan rapat umum anggota.dalam rapat itu diputuskan susunan
pengurus untuk kepentingan intern,yaitu;salim bin awad bal weel sebagai ketua,
saleh bin obeid bin abdat sebagai wakil ketua,Muhammad Ubait Abut sebagai
sekretaris,Said bin Salim Masy’abi sebagai bendahara.
Untuk lebih mendinamisasikan gerak dan
langkah organisasi serta berperan aktif dalam pemberdayaan masyarakat,dalam
kepengurusannya Al-Irsyad membentuk majelis-majelis yang mempunyai fungsi yang
berbeda-beda,antara lain;1. majelis pendidikan dan pengajaran;2,majelis
dakwah;3,majelis sosial dan ekonomi ;4,Majelis wakaf dan yayasan;5 majelis
wanita dan putri:6.majelis pemuda dan pelajar :7,majelis organisasi dan
kelembagaan ;8, Majelis hubungan luar negri.[29]
Patut digaris bawahi bahwa dalam
penyebaran gagasan atau pemikirannya, Al- Irsyad lebih memfokuskan pada upaya
perbaikan dan pelayanan pendidikan.Ini biasa dilihat dari pembukaan sekolah
Al-Isyad yang didukung oleh pemuka-pemuka arab.Terutama Syaikh Umar
Manggus,yang saat itu menjabat sebagai kapten arab.Tokoh ini yang memberi saran
agar didirikan suatu perkumpulan untuk menunjang sekolah yang didirikan oleh
Syeikh Ahmad Surkati tersebut. Atas dukungan itu, berdirilah sekolah”Jam’iyyah
Al Ishlah Wa Al Irsyad Al Islamiyyah”.[30]
Agar kehadirannya tidak terkesan hanya
diperuntukkan bagi orang arab, maka beberapa waktu kemudian namanya di ubah
menjadi ”Jam’iyyah Al- Irsyad Al-Islamiyyah”.Yang selanjutnya dikenal dengan
nama Al- Irsyad,Al- Irsyad beranggotakan semua orang Islam yang berumur 18
tahun atau yang telah beristri dan tingggal di wilayah Indonesia.
Periode perkembangan Al- Irsyad ditandai
dengan pembukaan cabang-cabang Al -Irsyad dengan prioritas pertama pulau
Jawa.Pada tanggal 29 Agustus 1917 Al- Irsyad membuka cabang yang pertama di
Tegal,dengan diketahui oleh Ahmad Ali Bais.Pada tanggal 20 November 1917 di
resmikan pula keputusan untuk pembukaan cabang Al -Irsyad kedua,yaitu di
Pekalongan dengan ketua pertama kalinya Said Bin Salaim Sahaq,cabang Al Irsyad
ketiga dibuka di Bumiayu pada tanggal 14 Oktober 1918,dengan ketuanya yang
pertama adalah Husein Bin Muhammad Al Yazidi pada tanggal 31 Oktober 1918 Al
Irsyad membuka cabang ke empat di cerebon,dengan ketua pertamanya Ali Awad
Baharmuz.Tanggal 21 Januari 1919,dibuka cabang ke lima disurabaya. pembukaan
cabang di Surabaya ini di nilai sebagai peristiwa amat penting dalam sejarah
Al- Irsyad,karena kedudukan Surabaya waktu ini sebagai pusat kegiatan
pergerakan islam dan tempat berdomisilinya para pemuka masyarakat muslim pada
waktu itu. Cabang ini pertama kalinya di ketuain Oleh Muhammad bin Rayis bin
Thaib.[31]
Pada periode berikutnya, setelah pulau
jawa, Al irsyad semakin melebarkan saya at punya keluar jawa.Dari tahun 1927
sampai dengan tahun 1931 telah tercatat berdirinya cabang-cabang Al irsyad di
lhokseumawhe Aceh, Menggala Lampung,Sungeiliat Bangka ,labuan haji dan talewang
Nusa Tenggara Barat, Pemekasan, Probolinggo, Krian, Jombang, Bangil, Sepanjang,
Semarang, Comal, Pemalang, Prowokerto, Indramayu, Cibadak, Sindang laya, dan
Solo.sampai tahun 1970-an, cabang Al-Irsyad telah tersebar diseluruh propinsi
Sulawesi Utara dan sekarang, hampir disetiap propinsi di Indonesian telah
berdiri cabang Al-Irsyad.[32]
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Di masing-masing cabanh tersebut, didirikan pusat pendidikan bagi warga Al-Irsyad khususnya, dan masyarakat. Luas pada umumnya.oleh pendirinya,Ahmad Surkati pendidikan formal dipilih sebagai wahana yang tepat untuk menyemaikan dan mengembangkan gagasan-gagasan Al-Irsyad seban agaimana telah dicanangkan dalam Mabadi Al-Irsyad.
Konsistensi dan fokus gerakan terhadap
bidang pendidikan formal tampaknya tetap mampu dipertahankan hingga saat ini
kiprah al irsyad lebih banyak di fokuskan kepada pengembangan pendidiksn
fornal,yang di harapkan mampu membentuk generasi irsyadi.
Jika diklasifikasikan,maka akan terlihat
perbedaan perkembangan pendidikan al irsyad dari setiap periode,periode
1914sampai dengan1942 menunjukan adanya perkembangan yang cukup pesat,namun
pada periode 1942-1961 terjadi kemunduran .baruhlah pada
periode1961-1982,pendidikan Al-Irsyad mengalami kebangkitan kembalidengan di
tandai pedirian sekolah-sekolah Al- Irsyad di berapah daerah ditanah air
.perkembangan yang cepat terjadi pada periode 1982-1997.pada periode ini Al-
Irsyad masih dan berhasil mendirikan lembaga pendidika berupa pesantren dan
perguruan tinggi.[33]
Terdapat keunikan dari pengembangan
pendidikan Al-Irsyad,yaitu dengan didirikannya pesantren pada tahun 80-an.Jika
pada kelompok tradisional {Nahdlatul Ulama}muncul trend mengembangkan
pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah umum dan madrasah maka tidak
demikian dengan ormas Al Irsyad (dan juga muhammdiyah)yang justeru mendirikan
pesantren ,karena didorong oleh kesadaran perlunya memberikan perhatian yang
besar pada aspek pendidikan agama.Namun demikian,tipologi pesantren Al Irsyad
tetap memiliki perbedaan dengan pesantren milik ormas itu.[34]
Jika pesantren itu didirikan oleh
perorangan, maka pesantren Al Irsyad didirikan oleh Jam’iyyah (Organisasi), dengan
manajement pesantren yang tidak bersifat kekeluargaan. kitab-kitab yang
diajarkan dipesantren Al Irsyad, Meskipun sama-sama berbahasa arab,namun tidak
tergolong kitab kuning seperti yang diajarkan dipesantren-pesantren itu. kitab-kitab
tersebut ditulis oleh para ulama komtemporer di timur tengah.lebih dari itu, kesan
lux juga terlihat pada pesantren-pesantren milik Al Irsyad, jika dibandingkan
dengan pesantren-pesantren tradisional, Akibatnya biaya pendidikan pun menjadi
mahal.[35]
Bisa dikatakan bahwa dalam pengembangan
pendidikan islam di Indonesia,Al Irsyad telah berhasil mempelopori pendirian
lembaga-lembaga islam modoren,yang pada massa berikutnya di ikutin oleh ormas-ormas
Islam lain. Namun demikian,meskipun lembaga pendidikan Al Irsyad didirikan oleh
organisasi yang merupakan representasi dari masyarakat keturunan arab,pribumi
yang simpati dan bersekolah dilembaga-lembaga pendidikan Al Irsyad,baik sekolah
pesantren maupun perguruan tingginya.
Meskipun Al Irsyad didirikan tidak hanya
oleh Ahmad sukarti, namun berbicara kontributor pemikiran untuk Al Irsyad sosok
sukarti tetap menjadi fokus utama. Dia juga menjadi figur utama dan sentral
yang tinggi kini gagasan-gagasannya masi dipakai. Berbicara tentang gagasan
Sukarti, maka tidak salah lagi bahwasanya Sukarti mengadopsi pemikiran dari
Muhammd abdul Wahab sebagai sang inspiratornya.[36]
Jika dirunut,genealogi pemikiran
keislaman Al Irsyad bermula dari kehadiran Ahmad Sukarti di Indonesia.saat
itu,sukarti merasa menghadapi masyarakat yang memiliki kesamaan ciri dengan
yang dihadapi Muhammad Abdul Wahab pada masanya.baik Sukarti maupan Abdul Wahab
sama-sama dihadapkan pada persoalan yang sangat mendasar dalam agama islam, yakni
Taulid kehadiran Sukarti di Indonesia, khususnya dikota Solo, membuat dia
merasa prihatin dengan kemurnian ajaran tauhid yang berkembang dimasyarakat. Meskipun
agama islam telah berkembang cukup lama di Indonesia, namun pengaruh
Hindu-Budha maupun budaya lokal masih sangat kuat, apa lagi di kota Solo yang
merupakan pusat situs kerajaan besar di Indonesia, tentu persinggungan islam
dengan budaya setempat masih sangat insentif.[37]
Meyikapi kondisi yang demikian, Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan. Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab terdapat kemiripan, Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:
Meyikapi kondisi yang demikian, Ahmad Sukarti pernah menyampaikan beberapa pandangan tentang ketauhidan. Apa bila di bandingkan dengan pandangan Muhammad bin Abdul Wahab terdapat kemiripan, Sukarti mempersoalkan Bid’ah sebagai berikut:
Pertama,
taklid buta sebagaimana yang dilakukan para ulama yang sebenarnya memiliki kemampuan
untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Namun mereka menjadikan pendapat seseorang
sebagai dalill agama Sukarti menyatakan adapun taklid buta dan menjadikan
pendapat orang sebagai dalill agama tidak diperbolehkan oleh allah dan
rosull-nya, para sahabat maupun para ulama terdahulu, dan merupakan bid’ah yang
sesat.
Kedua, meminta syafa”at, ia mengatakan
kepada orang yang sudah mata dan bertawasuldenga Mereka, surkati
menyatakansebagaiperbuatan yang munkar dan bid”a ia menatakan:”meminta syafa”at
kepada orang yang mati atau bertawasul kepada mereka adalah perbuatan munkar,
sebab hal tersebut tidak pernah di kerjakan oleh rasulullah saw, al khulafa”al
rasyidan ataupun oleh para mujtahid, baik bertawasul dengan rasul sendiri atau
dengan yang lain. selain itu, hal tersebut merupakan sesuatu yang diadakan
dalam ruang lingkup al-din. Setiap yang baru dalam agama adalah bid ”ah, setiap
bid ah adalah sesat, dan setiap yang sesat akan masuk neraka’’.
Ketiga, dalam kasus pembayaran fidyah
membayar sejumlah tebusan kepada orang lain untuk mengganti shalat dan puasa
yang di tinggalkan oleh salah seorang anggota keluarganya, ketika menyampaikan
fidyah seseorang berkata;’’terimalah uang ini sebagai penebus shalat dan puasa
si fulan’’. kemudian si penerima menjawab ,’’saya terima pemberian ini’’. Bagi surkarti,
pembuatan ini dilarang karena tidak di dasarkan atas dasar dalil agama, dan
merupakan perbuatan bid’ah.
Keempat, dalam kasus pembacaan talqin
untuk mayat yang baru di kubur surkarti melihatnya sebagai pembuatan yang tidak
bedasarkan tuntunan al qur’an dan hadits juga tidak ada petunjuk dari para
sahabat.
Kelima, pembuatan berdiri pada saat
melakukan pembacaan kisah maulid nabi muhammad saw, bagi surkarti bukan
perbuatan agama, namun demikian, apa bila perbuatan tersebut di pandang sebagai
perbuatan agama, atau termasuk dalam ruang lingkup agama, maka pembuatan
tersebuttetap di anggap sebagai perbuatan bid’ah.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan bid’ah. Alasannya, melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati. Menurut Sukarti pula, ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi Muhammad, atau dari para sahabat, walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat. Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut. Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Keenam,pengucapan niat (Nawaitu atau Ushalli) bagi Sukarti adalah perbuatan bid’ah. Alasannya, melafalkan niat demikian dipadang sebagai tambahan dalam melaksanakan niat yang seharusnya merupakan maksud didalam hati. Menurut Sukarti pula, ia tidak pernah memperoleh petunjuk bahwa perbuatan tersebut pernah dirawihkan orang dari nabi Muhammad, atau dari para sahabat, walaupun diajarkan oleh salah satu imam yang keempat. Dari berbagai sumber rujukan dapat disimpulkan bahwa niat adalah maksud dalam hati lebih tidak beralasan lagi ialah pendapat tentang wajib atau sunnahnya pengucapan lafal niat tersebut. Itu berarti ”mewajibkan apa yang sebenarnya tidak wajib”.
Ketujuh, adat berkumpul untuk melakukan
ritual tahlil dirumah orang yang baru ditimpah musibah kematian menurut
Sukarti, merupakan perbuatan Bid’ah dan bertentangan dengan sunnah
rasul.Sukarti menilai parbuatan tersebut sebagai perbuatan yang membebeni
keluarga yang terkena musibah. Dan perbuatan terpuji yang berkenan dengan
keluarga yang terkena musibah adalah penyediakan makanan,sebagaimana Sabda nabi
Jafar bin Abi Thalib meninggal dunia. ”Buatlah makanan bagi keluarga Jafar, sebab
mereka telah ditimpa sesuatu yang membuat mereka lupa makan”.
kedelapan, adat berdzikir bersama dan
berdoaa bersama setelah shalat wajib lima waktu menurut surkarti, merupakan
perbuatan bid’ah dan bertentangan dengan sunnah Rasul. Surkati menilai
perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang mengada-ada dan menambah-nambah
karena Rasulallah selesai sholat wajib lima waktu, langsung mengerjakan sholat
sunnah ba’diah dirumah, tetapi kalau ada yang akan dia sampaikan maka dia berdiri
lalu menyampaikannya ke umat Muslim.[38]
Pendeknya, dari negara Sudan, Ahmad
Surkati datang dengan membawa ”gagasan rasional”. Gagasan itulah yang kemudian
memberi kontribusi besar bagi lahirnya Al-Irsyad Al-Islamiyyah, sebuah gerakan
pembaharuan untuk memperbaiki pemahaman keberagaman muslim Indonesia. Deliar Noer
menyatakan, seperti halnya modernis muslim Indonesia yang lain.
Pemikiran-pemikiran yang berkembang di Al-Irsyad banyak dipengaruhi oleh
pemikiran Puritanisme yang berkembang di Timur Tengah, yang diplopori oleh
Muhammad bin Abdul Wahab (dengan gerakan Wahabinya), pemikiran tersebut secara
intensif masuki Indonesia pada awal abad ke-20, melalui kontak personal antara
masyarakat Arab di Indonesia dengan mereka yang berada di Timur Tengah, juga melaui
penerbitan-penerbitan majalah, seperti majalah Al-Manar dan lain-lainnya.
3.
Jam’iatul al-Khair
Adalah organisasi
sosial yang berperan dalam melakukan perubahan sistem atau lembaga pendidikan
Islam terutama di Jakarta. Lengkapnya Al-Jamiatul Khairiyah. Merupakan
organisasi pendidikan Islam tertua di Jakarta, didirikan tahun 1901 dengan
peran besar para ulama asal Arab Hadramaut dan juga pemuda Alawiyyin, seperti
Habib Abubakar bin Ali bin Abubakar bin Umar Shahab, Sayid Muhammad Al-Fakir
Ibn. Abn. Al Rahman Al Mansyur, Idrus bin Ahmad Shahab, Ali bin Ahmad Shahab,
Abubakar bin Abdullah Alatas, Muhammad bin Abdurrahman Shahab, Abubakar bin
Muhammad Alhabsyi dan Syechan bin Ahmad Shahab. Di tangan ulama-ulama inilah
Jamiatul Khair tumbuh pesat.[39]
Setiap dari mereka gerakan Modernisme Islam termasuk
organisasi islam yang beranggoatakan keturunan Arab memiliki karakter gerakan
yang berbeda-beda. Ada gerakan Islam yang menekankan pada aspek ekonomi dan
politik, ada yang menekankan pada upaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang
menekankan pada uapaya pemurnian ajaran Islam, serta ada yang menekankan pada
aspek pembaharuan pendidikan Islam.
Contoh gerakan Moderenisme Islam yang berdiri pada awal
abad ke-20 adalah Jami’atul khair, sebuah organisasi Islam, yang mana
organisasi ini sebagai tempat para ulama dan aktivis berjuang dan
memperjuangkan pembaharuan dalam segala aspek. Jami’atu khair juga sebagai
organisasi Islam pertama di Indonesia yang dikelola dengan system (managemen)
keorganisasian modern, Jami’atu khairmemliki anggaran dasar, anggaran rumah
tangga, buku anggota notulensi rapat, iuran anggota dan lembaga control anggota
melalui rapat tahunan, dan lain sebagainya.[40]
Lembaga ini telah diusahakan berdirinya sejak tahun
1901. pemrakarsanya adalah golongan terpelajar dari kalangan muslim Indonesia
keturunan Arab, dari keluarga shihab dan Yahya. Klan Shihab dan Yahya
dikalangan Alawiyyin termasuk dalam stratifikasi sosial kelas rendah.[41]
Sebenarnya pada tahun 1901
Jamiatul Khair belum mendapat izin dari pemerintah Belanda. Tujuan organisasi
adalah mengembangkan pendidikan agama Islam dan bahasa Arab. Oleh karena
perhimpunan tersebut kekurangan tenaga guru, maka pada konggresnya tahun 1911, diantara
satu keputusannya adalah memasukkan guru-guru agama dan Bahasa Arab dari luar
negeri. Kemajuan Jamiatul Khair tersebut menambah kepercayaan masyarakat Islam
di Jakarta (dan Jawa umumnya).[42]
Dalam proses pendiriannya, Jami’atul khair mengalami
banyak hambatan. berulangkali permohonan izin pengesahan diajukan kepada
Gubernur Jendral W.Rooseboom, namun selalu ditolak. Penyebabnya tidak jelas
pada tahun 1903 misalnya, permohonan izin diajukan, namun ditolak. Kemudian
untuk meyakinkan pemerintah colonial Belanda, surat permohonan dikirim berulang
kali dengan mencantumkan nama pemohonan yang berbeda, yaitu Said bin Ahmad
Basandid dan Muhammad bin Abdurrahman Al-Masyhur.[43]
Setelah lama menunggu, akhirnya izin pendirian
Jami’atul khair dikeluarkan pada tanggal 17 Juni 1905, setelah permohonan
disetujui oleh Gubernur Jendral J.V.Van Heutsz. Izin pendirian Jami’atul khair
keluar disertai catatan dari pemerintah, bahwa Jami’atul khair tidak boleh
mendirikan cabang diluar Jakarta.[44]
Pengurus Jami’atul khair angkatan pertama terdiri
dari Said bin Ahmad Basandid sebagai ketua, Muhammad bin Abdullah bin Shihab
sebagai wakil ketua, Muhammad Al-Fakhir bin Abdurrahman masyhur sebagai
sekretaris, dan Idrus bin Ahmad bin Shihab sebagai bendahara, setahun kemudian
pengurus Jami’atul khair dirubah dan tersusun pegurus baru dengan Idrus Bin Abdullah
Al-Masyhur sebagai ketua, Salim bin Ahmad Balwel sebagai wakil ketua, Muhammad
Al-Fakhir bin Abdurrahmnan Al-Masyhur sebagai sekretaris, dan Idrus bin Ahmad
bin Shihab sebagai bendahara.[45]
Jami’atul khair semula mencantumkan tujuannya untuk
menolong orang-orang Arab yang tinggal di Jakarta pada saat kemetian dan pesta
perkawinan. Organisasi ini kemudian mendirikan sekolah pertama di Pekojan
Jakarta. Beberapa tahun setelah itu, dibuka pula sekolah-sekolah di Krukut,
Tanah Abang dan Bogor, pada bulan Rabiul Awal 1329 H, atau bulan Maret 1911 M.
Datanglah pengajar dari Makkah yang ditujukan untuk
memperkuat staf penagajar pada sekolah-sekolah Jami’atul khair mereka adalah
Syaikh Ahmad Surkati Al-Anshari ditempatkan disekolah Jami’atul khair di
Pekojan dan sekaligus sebagai pemilik sekolah-sekolah Jami’atul khair lainnya. Syaikh
Ahmad Tayyib Al-Maghribi ditempatkan disekolah Krukut dan syaikh Muhammad Abdul
Hamid Al-Sudani ditempatkan di sekolah Jami’atul khair di Bogor.[46]
Kemudian atas jasa seorang staf pimpinan Jami’atul
khair, Abdullah Al-Attas, didatangkan pula seorang pengajar asak Tunis dan
lulusan kulliyyah Azzaitun, yaitu Muhammad Al-Hasyimi, kemudian ditempat
disekolah Jami’atul khair di Tanah Abang.
Muhammad Al-Hasyimi adalah seorang berkebangsaan
Tunis yang pernah ikut memberontak melawan pemerintah Prancis, ia dikenal
sebagai guru olahraga dan memiliki berbagai pengetahuan keterampilan, seperti
memasak, membuat sabun dan lain sebagainya. Dialah yang pertama kali yang
mengenalkan gerakan kepanduan dikalangan umat Islam Indonesia. dengan demikian
ia mestinya disebut sebagai “bapak kepanduan Islam Indonesia”.[47]Dalam
perkembangan berikutnya, Abdullah Al-Atas mengalami perselisihan dengan
pengurus Jami’atul khair.
Karena perselisihan itu dia memutuskan untuk
meninggalkan Jami’atul khair, dan mendirikan Al-Atas school pada tahun
1912.langkah Abdullah Al-Atas ini diikuti oleh Al-Hasyimi dengan cara
meninggalkan Jami’atul khair dan bergabung dengan Al-Atas Schcool. Namun ketika
Al-Irsyad berdiri, dia meninggalkan Al-Atas school dan bergabung dengan
Al-Irsyad serta menjadi guru pada sekolah Al-Irsyad.[48]
Dua tahun kamudian, atas jasa Ahmad Surkati,
didatangkan empat orang pengajar lagi, yaitu syaikh Ahmad Al-Aqib Assudani.
Ditempatkan di sekolah Al-Khairyyah di Surabaya, syaikh Abul Fadhel Muhammad
Assati Al-Anshari, saudara kandung Ahmad Surkati ditempatkan disekolah
Jami’atul khair di Tanah Abang, syaikh Muhammad Nur Muhammad Khair An-Anshari
ditempat disekolah Jami’atul khair di Pekojan dan Jami’atul khair di Krukut.
Dalam perkembangan selanjutnya Syaikh Hasan Hamid Al-Anshari dipindahkan ke
Bogor karena syaikh Muhammad Abdul Hamid Assudani kembali ke Negerinya.
Organisasi Pembaharuan Islam
ini berkantor di daerah Pekojan di Tanjung Priok (Jakarta). Oleh karena
perkembangannya dari waktu ke waktu semakin pesat, maka pusat organisasi ini
dipindahkan dari Pekojan ke Jl. Karet, Tanah Abang. Organisasi ini dikenal
banyak melahirkan tokoh-tokoh Islam, terdiri dari tokoh-tokoh gerakan
pembaharuan agama Islam antara lain, Kyai Haji Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah), HOS Tjokroaminoto (pendiri Syarikat Islam), H. Samanhudi (tokoh
Sarekat Dagang Islam), dan H. Agus Salim. Bahkan beberapa tokoh perintis
kemerdekaan juga merupakan anggota atau setidaknya mempunyai hubungan dekat
dengan Jamiatul Khair.[49]
Awalnya memusatkan usahanya
pada pendidikan, namun kemudian memperluasnya dengan dakwah dan penerbitan
surat kabar harian Utusan Hindia di bawah pimpinan Haji Umar Said
Cokroaminoto (Maret 1913). Kegiatan organisasi juga meluas dengan mendirikan
Panti Asuhan Piatu Daarul Aitam. Di Tanah Abang, Habib Abubakar bersama
sejumlah Alawiyyin juga mendirikan sekolah untuk putra (aulad) di Jl.
Karet dan putri (banat) di Jl. Kebon Melati serta cabang Jamiatul Khair
di Tanah Tinggi Senen.[50]
Pemimpin-pemimpin
Jamiatul Khair mempunyai hubungan yang luas dengan luar negeri, terutama
negeri-negeri Islam seperti Mesir dan Turki. Mereka mendatangkan
majalah-majalah dan surat-surat kabar yang dapat membangkitkan nasionalisme
Indonesia, seperti Al-Mu'ayat, Al-Liwa, Al-ittihad dan lainnya. Tahun 1903
Jamiatul Khair mengajukan permohonan untuk diakui sebagai sebuah organisasi
atau perkumpulan dan tahun 1905 permohonan itu dikabulkan oleh Pemerintah
Hindia Belanda dengan catatan tidak boleh membuka cabang-cabangnya di luar
Batavia.[51]
1.
Muhammadiyah
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menekankan amar makruf nahi
mungkar telah berkiprah dalam rentang waktu satu abad. Dengan masa sepanjang
itu, Muhammadiyah sudah melewati berbagai tahapan atau periodisasi zaman di
Indonesia. Dari mulai zaman penjajahan (1912-1945), zaman kemerdekaan
(1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), zaman Orde 8aru (1966-1998). dan
zaman Reformasi (1998-sekarang). Masa-masa tersebut dilalui Muhammadiyah dengan
sangat dinamis. Jika pada awal berdiri, Muhammadiyah hanya fokus pada persoalan
pemurnian agama, karena realitas masyarakat yang banyak melakukan taklid, bida’,
dan khurafat. Maka, di zaman penjajahan juga terdapat pandangan perlwanan
terhadap penjajah. Sementara pada masa awal kemerdekaan, banyak di antara tokoh
Muhammadiyah yang berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa ini.[52]
Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Akhmad Dahlan di Yogyakarta tanggal
18 Nopember 1912. Dia adalah salah satu orang yang belajar di Mekah dan
mempunyai kontak dengan pembaharuan yang berkembang di Mesir, yaitu dengan banyak
mempelajari dan membaca majalah al-Manar.[53]
Pengetahuan
pembaharuan yang sedang terjadi di Mesir mendorong K.H. Dahlan untuk mengadakan
pembaharuan di Indosesia.[54]
Maka tidak salah kalau pembaharuan yang terjadi di Mesir, mempunyai pengaruh
yang besar terhadap pembaharuan di Indonesia. Singkat kata, Mesir telah banyak
mempengaruhi perubahan di Indonesia.
Banyak orang berpendapat, bahwa organisasi
Muhamnadiyah adalah organisasi pembawa pembaharuan. Di luar negeri pun
organisasi Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang mengadakan gerakan
modernis. Dan dikatakan, K.H.A. Dahlan dan pemuka-pemuka Muhammadiyah banyak
dipengaruhi oleh ide pembaharuan Muhammad Abduh.
Tetapi menurut Harun Nasution pemikiran
Muhammadiyah dan pemikirannya Abduh sangatlah berbeda. Perbedaan itu tampak
dari metode berpikirnya, Muhammad Abduh memakai metode berpikir rasional
Mu’tajilah sedangkan metode berpikir Muhammadiyah masih bercorak tradisional
Asy’ariyah. Muhammad Abduh menganut paham Qadariyah, sedang Muhammadiyah
kelihatannya masih berpagang pada qadha dan qadar. Dalam
menyelessaikan permasalahan modern, Muhamad Adbuh tidak terikat pedapat ulama
silam, tetapi berijtihad atas dasar al-Quran dan hadis. Sementara muhammadiyah
masih terikat kepada pendapat ulama zaman dulu. Tetapi, keduanya mempunyai
pandangan yang sama terhadap ilmu pengetahuan, yaitu; mempelajari bahasa dan
ilmu pengetahuan orang barat tidak lah haram, bahkan hal itu perlu dikuasai
umat Islam untuk kemajuan.[55]
Organisasi
ini bertumpu pada cita-cita agama. Sebagai aliran modernis Islam, organisasi
ini ingin memperbaiki agama umat Islam Indonesia. Agama Islam sudah tidak utuh
dan murni lagi karena pemeluknya terkungkung dalam kebiasaan yang menyimpang
dari asalnya yaitu Kitab Suci Al Qur‟an. Dorongan dari luar yang melahirkan
organisasi modernis Islam itulah politik kolonial sendiri terhadap pengembangan
agama Islam yang menginginkan agar agama Islam tetap tidak murni dan utuh.
Karena itu kembalinya ke agama yang murni dan utuh mengkhawatirkan pemerintah
karena pemerintah tidak dapat mencampuri dan mengawasi perkembangan organisasi
sesuai dengan kepentingan pemerintah.[56]
Muhammadiyah
menekankan perjuangan sosio-religius, segi pengembangan masyarakat. Organisasi ini
menjadi perhatian utama karena pada dasarnya kehidupan sosio masyarakat masih
sangat terbelakang. Untuk memajukkannya diperlukan perbaikan yang mencakup
bidang keagamaan, pendidikan dan kemasyarakatan.[57]
Organisasi ini juga lahir sebagai
reaksiterhadap akivitas misi kristen dalam mendirikan sekolah-sekolah kristendi Indosesia.
Muhammadiyah dalam gerakan pendidikan dan dawah segera mempunyai cabang-cabang
berbagai daerah di Indonnesia. Sehingga ia menjadi organisasi nasional yang
bercorak Islam. Baru beberapa tahun saja menurut Blumberger yaitu tahun 1924,
Muhammadiyah sudah mempunyai 29 cabang, 8 HIS, 1 HIK, dan 32 SD.[58]
Gerakan Muhammadiyah menjadi gerakan
yang penting, ketika melakukan gerakan tandingan dengan misi Kristen yang
mendirikan sekolah-sekolah. Gerakan Muhammadiyah ini menyerang dua kekuatan
besar sekaligus yaitu kolonialisme dan kristenisasi yang dilancarkan oleh
orang-orang Barat.
DAFTAR PUSTAKA
Badru Zaman, Sejarah Kebudayaan Islam, Surakarta:
Amand Press, 2005
Deliar Noer. Gerakan
Modern Islam di Indonesia, 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES, 1996
Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran Prof.
DR. Harun Nasution, Bandung, Mizan, 1995
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran Dan
Gerakan, Jakarta; Bulan Bintang, 1992
Jhon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme
sampai Postmodernitas, Terjm; A Gunawan Admiranto, Yogyakarta, Kanisius,
2003
Karen Armstong, Masa Depan Tuhan, Sanggahan Terhadap
Fundamentalisme Dan Ateisme, trjm; Yuliani trjm; Yuliani Liputo,Bandung,
Mizan, 2011
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,Semarang : PT
Karya Toha Semarang 1994
Suhartono, Sejarah
Pergerakan Nasional (dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945)
Yogyakarta
Suryanegara, Menemukan
Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung, Mizan, 1996
Workshop pemikiran
Islam, Mencari Akar Epistemologi Islam, yagyakarta,
2005
[1] Workshop
pemikiran Islam, Mencari Akar
Epistemologi Islam, yagyakarta, 2005, hlm. 3
[2] Ibid. 4
[3] Ibid. 4
[4] Karen
Armstong, Karen Armstong, Masa Depan
Tuhan, Sanggahan Terhadap Fundamentalisme Dan Ateisme, trjm; Yuliani trjm;
Yuliani Liputo,Bandung, Mizan, 2011, hlm. 280
[5] Jhon Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, Dari Strukturalisme
sampai Postmodernitas, Terjm; A Gunawan Admiranto, Yogyakarta, Kanisius,
2003, hlm. 307
[6] Jhon Lechte,
Ibid. hlm. 307
[7] Karen
Armstong, Ibid hlm. 279
[8] Karen
Armstong, Ibid. hlm. 281
[9]Karen Armstong,
Ibid. hlm. 285
[10] Harun
Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan
Pemikiran Prof. DR. Harun Nasution, Bandung, Mizan, 1995, hlm. 181
[11] Harun
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam,
Sejarah Pemikiran Dan Gerakan, Jakarta; Bulan Bintang, 1992, hlm. 12
[12] Harun
Nasution, ibid. Hlm. 51-181
[13] Harun
Nasution, Islam Rasional, Of. Cit.
Hlm. 182
[14] Suryanegara, Menemukan
Sejarah Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung, Mizan, 1996, hlm. 34
[15] Suryanegara,
Ibid. Hlm. 37
[16] Pringgodigdo. Sejarah
Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, hlm. 23
[19] Suryanegara,
Op. cit, hlm. 143
[20] Zuhairini, Op.
Cit. Hlm. 90
[21] Suryanegara,
Op. Cit. Hlm. 168
[22] Pringgodigdo,
Ibid hlm. 24
[23] Suryanegara,
Op. Cit, hlm. 169
[24] Frederick,
W.H. dan Soeri Soeroto. Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah
Revolusi. Jakarta: LP3ES, 1991, hlm. 67
[25]Frederick, W.H.
dan Soeri Soeroto, Of. Cit, hlm. 68
[26] Pringgodigdo,
Ibid 30
[27] Pringgodigdo, Op.
Cit. Hlm. 31
[28] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang : PT
Karya Toha Semarang,1994, hlm 80
[29]Suryanegara,
Op. Cit. Hlm. 132
[30]Murodi, hlm 97
[31] Suhartono, Sejarah
Pergerakan Nasional (dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945)
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Op. Cit. Hlm. 120
[32] Murodi, Op.
Cit. hlm 112
[33]
Suhartono, Ibid. Hlm 120
[34] Suhartono, Op.
Cit. Hlm 125
[35] Murodi, Op.
Cit. hlm. 82
[37]Suhartono, Op.
cit, hlm. 125
[38] Suhartono, Op.
cit, hlm. 132-139
[39] Deliar Noer. Gerakan
Modern Islam di Indonesia, 1900 – 1942. Jakarta: LP3ES, 1996, hlm 80
[40] Badrus Zaman, Sejarah Kebudayaan Islam, Surakarta:
Amand Press, 2005, hlm 142
[41]Badrus Zaman,
Ibid, hlm. 144
[42] Deliar Noer, Op.
cit, hlm. 82
[43] Suhartono, Op.
cit, hlm. 45
[44]Deliar Noer,
Ibid. Hlm. 97
[45] Deliar Noer,
Ibid. Hlm. 99
[46] Abdullah,Tradisi Dan Kebngkita Islam di Asia Tenggara,
Jakarta: Lp3 Press, 1992, hlm.45
[47] Abdullah,
Ibid, hlm. 46
[48] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam,Semarang : PT
Karya Toha Semarang 1994, hlm 79.
[50] Noer, Ibid,
hlm. 115
[51] Noer, Ibid,
hlm. 117
[53] Harun
Nasution, Islam Rasional, Op. Cit.
Hlm. 153
[54] Harun
Nasution, Islam Rasional, Ibid. Hlm
153
[55] Harun
Nasution, Islam Rasional, Op. Cit.
Hlm. 155
[56]Murodi, Op.
Cit. Hlm 79
[58] Harun
Nasution, Islam Rasional, Op. Cit. Hlm.
233
Tidak ada komentar:
Posting Komentar