Sabtu, 17 Desember 2011

Karl Marx


TEORI ILMU SOSIAL
KARL MARX
Oleh: Hermansyah
A.    Pendahuluan
Konflik sosial, sering menjadi diskusi hangat dikalangan cendekiawan, mereka menginginkan suatu pengetahuan untuk menguak gejala tersebut, guna memecahkan permasalahan. Maka, mereka melahirkan gagasan-gagasan tentang sosial. Dorongan untuk memcahkan, menguji dan membuktikan sesuatu adalah bagian kegiatan sadar manusia.
Para ilmuan sosiolog seperti Karl Marx juga demikian, meneliti masyarakat yang hidup pada zamannya dan menawarkan ide-ide terhadap permasalahan yang terjadi. Ternyata hal ini banyak direspon oleh mereka yaitu gagasan ilmuan sosiologi yang dipakai untuk melakukan perubahan. Kemunculan mazhab-mazhab seratus tahun pasca meninggalnya Karl Marx, menandakan bahwa pemikiran Marx menarik untuk dikaji sebagai ilmu pengetahuan dan juga sebagai ideologi yang banyak melakukan banyak perubahan.
Ide gagasan Marx yaitu membela masyarakat lemah dan membebaskannya dari kemiskinan, lebih menarik untuk kita diskusikan. Kemiskinan terjadi Menurut Karl Marx, diikarenakan adanya kalangan elit yang serakah menguasai sumber daya alam, dimana sumberdaya alam itu adalah materi yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Marx menganggap bahwa orang yang lemah ini mempunyai potensi untuk merebut kembali kekayaan alam, dengan cara revolusi.
Revolusi ini adalah ide yang diterapkan oleh Marx untuk merubah tatanan masyarakat yang sosialis, yaitu masyarakat yang sejahtra. Marx menawarkan janji penyelamatan sosial, dimana para penganutnya senantiasa diberi harapan untuk mencapai kedamaian dan pemecahan aneka macam masalah.
B.     Biografi
Kota Trier atau biasa disebut dengan Traves sebuah daerah yang termasuk daerah kawasan Rheiland Jerman (Prusia), tercatat sebagai kota yang bersejarah di dalam literatur filsafat. Karena di daerah inilah pada 5 mei 1818 Karl Heinrich Marx dilahirkan. Kedua orang tuanya adalah keturunan pendeta-pendeta Yahudi. Ayahnya, Heinrich Marx termasuk golongan menengah dan menjadi pengcara ternama di Traves. Sedang ibunya adalah putri seorang pendeta belanda, juga berbangsa Yahudi. Berdasarkan nasab semacam ini, menunjukan kejeniusan Karl Marx dengan darah Yahudi yang mengalir di tubuhnya.[1]
            Pada tahun 1824, yakni ketika Marx berusia 6 tahun, seluruh keluarganya mengalami perpindahan agama dari Yahudi ke agama Kristen Protestan. Peristiwa ini membekas dalam perjalanan hidup Mark selanjutnya.[2]
            Sewaktu masih kanak-kanak, Marx biasa dipanggil dengan gelar “si Maroko” sejenis bangsa yang mendiami Afrika Barat Laut, hal tersebut disebabkan kulitnya yang berwarna hitam, mata cekung tapi bersinar dengan tajam. Perawakan tubuhnya gemuk meski termasuk pedek dibanding anak-anak Jerman yang sebaya dengannya ketika berusia 15 tahun.[3]
            Satu hal yang kelak terbawa sampai dewasa adalah sifatnya yang tidak mau diatur, jorok dan acak-acakan. Hal ini seakan pradoksal dengan ketekunan, ketelitian dan sifatnya yang ingin selalu tahu dalam segala hal, sehingga embosankan orang-orang disekitarnya termasuk guru-guru di sekolah.
            Pada usia 17 tahun, Marx menamatkan sekolah menengah  di Traves, tepatnya tahun 1835. Kemudian ia melanjutkan keperguruan tinggi bukan tanpa penolakan, namun akhirnya menuruti kemauan bapaknya untuk memasuki fakultas Hukum Universitas Bonn selama satu tahun. Di sini Marx tidak kerasan, kemudian ia pindah ke Universitas Berlin dengan mengkhususkan diri mempelajari filsafat dan sejarah seperti yang dicita-citakannya semula. Di Universitas Berlin inilah baru kelihatan bakatnya yang luar biasa dalam bidang filsafat.
            Marx pernah belajar dengan Hegel di Berlin, tempat dia bertemu beberapa teolog palinG kontroversial pada masa itu. Gagal mendapatkan jabatan akademis di Jerman, dia bekerja sebagai wartawan di Paris samapai dia dikeluarka gara-gara aktivitas politiknya dan menetap di London, tempat dia mulai menggarap Das Kapital, analisisnya yang monumental tentang kapitalisme.[4]
            Karl Marx, semula ia berkeinginan menjadi dosen dalam karir akademi. Tetapi rencana itu gagal gagal karena pahamnya radikal dan tidak mudah berkompromi dengan status quo yang berlaku pada saat itu. Terbukti dengan dipecatnya Bruno Bauer sebagai rektor di Universitas Bonn karena anggota Hegelian kiri ini pada tahun 1841 menulis buku tentang kritik terhadap injil.[5] Karena Marx bagian dari anggota Hegelian kiri maka, ia pun bisa menjadi dosen.
            Gagal merintis sebagai dosen, Marx terjun di dunia penulisan sebagai wartawan. Hal ini kerena golongan radikal pada waktu itu menerbitkan majalah oposisi. Marx menjadi penyumbang di majalah ini dan menulis banyak artikel tentang kaum tani Jerman. Kemudian karena keritik Marx terlalu keras terhadap pemerintah maka, setelah satu tahun majalah ini terbit akhirnya dipaksa untuk tutup.
Karya tulis Mark merumuskan dasar-dasar teoretis komunis, seperti banyak bentuk sosialisme. Pada waktu kematian Marx, tidak satu pun negara yang mengambil idealnya kedalam praktik. Satu abad kemudian, pemerintah komunis berdiri dibanyak tempat termasuk Rusia dan Cina. Di banyak negara lainnya, gerakannya yang berdasarkan ajarannya, telah muncul dan berusaha meraih kesuksesan.
            Kegiatan-kegiatan partai marxsis termasik propaganda, pembunuhan, teror, pemberontakan untuk meraih kekuasaan, dan juga perang-perang, penindasan yang kejam, pembinasaan setelah meraih kekuasaan Membuat kekacauan di seluruh dunia selama beberapa dekade dan menyebabkan kematian 100 juta orang.[6]
C.    Karya-karyanya
Dalam bidang filsafat:
1.      The Difference Between The Natural Philosophy of Epicurus
2.      Criticism of The Hegelian Philosophy of Law
3.      Economic and Philosophical Manuscripts of 1844
4.      On The Jewish Question
5.      Contribution to Critique of Hege’s Philosophy
6.      The Holy Family or Critique of Critical Critique
7.      Ludwig Feuerbach and The end of Clasical German Philosophy
8.      The German Ideology
9.      The Poverty of Philosophy
Di bidang Sejarah dan Politik
1.      Manifesto of The Communist Party
2.      The Class Struggles in France
3.      The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte
4.      Secret Diplomatic History of The Eighteenth Century
5.      The First Indian War of Independence
6.      The Civil War In United State
Dibidang Ekomomi
1.      Wage, Labour and Kapital
2.      Pre-capitalist Economik Formation
3.      Contribution to The critique of Critical Economy
4.      Theories of Surplus value
5.      Wage, Price and Profit
6.      Das Kapital
7.      The Process of Capitalis Production
8.      The Process of Circulation Capital
TEORI PERKEMBANGAN MASYARAKAT MENURUT MARX
A.    Manusia
            Karl Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya mewarnai dengan sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Karl Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia mengganti dialektika ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach, sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material.
Manusia adalah hal yang penting dalam pembahasan Karl Marx. Manusia adalah bagian dari alam sekaligus berhubungan dengan alam. Bagi manusia alam ini masih merupakan suatu proses yang belum selesai dan harus diolah agar bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan hidup, seperti yang terjadi pada masyarakat zaman pra sejarah. Dari sini Marx merujuk naluri ekonomi sebagai kodrat dari manusia.[7]
Dijelaskan dalam teori perkembangannya Karl Mark, manusia, dalam upaya mengubah  dan memperbaiki kondisi sosialnya, senantiasa dibatasi oleh faktor-faktor materi dan lingkungannya. Misalnya; kondisi iklim, ekologi, teknik, situasi geografis dan tradisi-tradisi budaya.[8] Seperti yang kita ketahui, pemburu dan pengumpul makanan pada masyarakat primitif dan kaum petani pada periode awal, hidup dalam lingkungan yang relatif seimbang dan kondusif. Namun, dalam pertumbuhannya, manusia berubah dan dia mengubah lingkungannya. Dia mengalami kemajuan intelektual dan teknologi, namun kemajuan ini menciptakan situasi yang kondusif  bagi berkembangnya sindrom karakter penghambatan kehidupan. 
Marx memposisikan manusia sebagai makhluk yang aktif, manusia bisa melakukan perubahan dalam dirinya dan alam dimana ia hidup. Ia selalu menemukan hal yang baru dalam perjalanan hidupnya. Dia juga mengatakan bahwa Manusia ialah makhluk alam yang konkrit, manusia bukanlah roh yang hidup di dunia materi ini, bagaimana pun juga roh tidak akan bisa menyentuh properti yang ada di alam materi.
 Oleh karena itu manusia tidak  akan mampu menghadirkan dirinya di luar alam materi. Manusia lah makhluk yang merupakan bagian integral dari alam dan materi, dengan kata lain, manusia tergantung pada alam sekaligus mempunyai sikap aktif terhadap alam.[9] Dari alam lah manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya ke dalam praktis kerja. Dengan bekerja, berarti manusia telah menghumanisir alam. Adanya kontak interaksi aktif antara manusia dan alam membuahkan pengertian baru bahwa alam dapat dihumanisir dan manusia dapat dinaturalisir.[10]
Pada hakikatnya yang membuat manusia menjadi Homo Humanus adalah kerja. Dengan bekerja manusia mancapai kenyataan sepenuh-penuhnya dan dalam aktifitas bekerja pula manusia “menyatakan diri tidak seperti dalam keadaan kesadaran secara intelektual, melainkan secara berkarya, secara nyata sehingga ia memandang dirinya sendiri dalam dunia yang diciptakan sendiri”. Selanjutnya Marx menciptakan manusia ke dalam posisi emansipatoris, hal demikian berarti ia menghilangkan segala sesuatu yang menghalang-halangi manusia dan secara positif menghumanisasikan manusia. Untuk mencapai kodratnya sebagai makhluk tertinggi maka kondisi objektif  dari keadaan materi manusia harus tetap menjadi faktor dominan berhadapan dengan kesadaran manusia.[11]
Marx melihat manusia dan alam, bahwa seluruh kenyataan berkembang secara kualitatif dalam loncatan-loncatan yang menuju kepada perspektif menuju realitas baru. Loncatan terpenting dari semua relitas itu adalah ketika alam menghasilkan manusia Secara kualitatif  yaitu yang memiliki kemampuan berbahasa, berfikir dan bekerja yang tidak dapat dilakukan oleh binatang. Selanjutnya tingkat perkembangan organisme manusia membuahkan kerja sama dan menghasilkan karya-karya yang selalu baru, sejalan hal itu maka perkembangan yang dimaksud membawa manusia mensosialisasikan pengalamannya yang satu kepada yang lain. Perkembangan bahasa dengan diiringi pikiran yang meningkat mengandaikan perlunya disiplin dan pembagian kerja, dan dari pembagian kerja inilah kemudian tingkat perkembangan sosial secara dialektis menuju kepada masyarakat yang bahagia.[12]
Marx melihat tahap perkembangan sejarah yang dihampiri lewat analisis ekonomi, ditemukan adanya dua faktor kunci yang mendasari segala proses didalamnya. Pertama, kekuatan produksi dan yang kedua hubungan produksi. Kekuatan produksi meliputi orang yang bekerja, alat produksi yang dipergunakan, bahan baku serta sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses produksi, ini yang dinamakan hubuungan manusia dengan alam.[13]
B.     Masyarakat
Bisa disebut masyarakat jika ada sekolompok individu yang melakukan interaksi dan di dalamnya ada hukum-hukum atau norma-norma yang mengatur. Kumpulan orang yang tidak melakukan interaksi atau komunikasi hal itu tidak disebut masyarakat hanya kerumunan biasa yang tidak terbentuk hukumatau norma di dalamnya. Misalnya, kerumunan orang yang sedang menunggu bus kota ketika mereka akan bepergian, atau sekelompok orang yang berada dalam angkutan umum atau bus.
Menurut  Marx, masyarakat dibagi dalam lima tahapan; Pertama, masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya sederhana. Alat produksi bukan milik pribadi (perorangan), tetapi menjadi milik komunal. Perlu dicatat bahwa dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi diatas tingkat produksi, karena setiap orang mampu memnuhi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini tidak berlangsing lama sebab masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat memperbesar produksi. Periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan tembaga dan besi. Perbaikan produksi pada saat yang sama menimbulkan perubahan-perubahan sosial, pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi tidak dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meskipun mekanisme pasar yang diciptakan masih relatif sederhana. Akhirnya keperluan menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat, kemudian diperlukan kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti tercipta hubungan produksi dalam masyarakat komunal.[14]
            Kedua, masyarat perbudakan, tercipta berkat hubungan produksi antara orang-orang yang memiliki alat-alat produksi dengan orang yang hanya memiliki tenaga kerja. Bermula dari cara kerja model ini menyebabkan berlipat gandanya keuntunngan pemilik produksi. Budak yang bekerja diberi upah yang minim untuk mempertahankan tingkat kerjanya dan supaya tetap hidup. Bila dalam pembagian kerja dan spesialisasi menerobos bidang-bidang kehidupan seperti pekerjaan tangan dan pertanian, maka spesialisasi itu sekaligus mendorong meningkatkan keterampilan dan perbaikan alat-alat produksi.[15]
            Marx menilai bahwa pada tingkat perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula budak makin lama makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul ketidakpuasan atas kedudukannya didalam hubungan produksi. Ketidak puasan ini menjadi awal perselisihan kedua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.
            Ketiga, tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah runtuhnya masyarakat perbudakan. Masyarakat ini muncul dengan pertentangan di dalamnya. Pemilikian alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh tani yang berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri. Hubungan produksi macam ini mendorong adanya peraikan produksi dan cara produksi disektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat-puncaknya menjelma dalam sistem kapitalis-yaitu, kelas feodal tuan tanah menguasai hubungan sosial dan kelas petani bertugas melayani tuan tanah.[16]
            Kepentingan kedua kelas ini berbeda, kaum feodal menginginkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka memperlebar sektor (bidang usaha) penghasilannya lewat pendirian parik-pabrik. Akibatnya mucul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan hasil-hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis yang menghendaki terhapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh cara untuk terbentuknya pasar bebas – yang menyangkut didalamnya baik sektor buruh – sistem kerja dan penggajian – maupun ketentuan tarip tiappertukaran barang seperti yang diberlakukan dalam masyarakat feodal. Proses dialektika sejarah ini pada akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang tidak mampu membendung lahirnya masyarakat kapitalis.[17]
            Keempat, masyarakat kapitalis, seperti telah disebutkan menghendaki kebebasan dalam mekanisme perekonomian. Hubungan produksi pada sistem ini didasarkan pada pemilikan individu masing-masing orang pada alat produksi. Kelas kapitalis memepkerjakan kaum buruh yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki pabrik dan alat produksi lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya fenomena baru yaitu, hubungan produksi yang memungkinkan terus menerus meningkatkan alat produksi, caranya adalah memperbharui pabrik-pabrik, modernisasi mesin-mesin dengan tenaga uap dan listerik. Akibat langsung dari sistem ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari pasaran hasil produksi menjadi tugas utama kaum kapitalis, sedang pada saat yang sama upah dan kesejahtaan yang tidak kujung datang menjadi dambaan kaum pekerja.[18]
            Pada analisa selanjutnya, dua kelas dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan kelas bojuis yang mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan kepentingan ini makin lama makin memuncak yang kemudian disebut dengan pertentangan kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir dengan terbentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas (classles society ). ciri masyarakat ini adalah pemilikan alat-alat produksi yang sifatnya sosial.[19]
            Kelima, masyarakat sosialis yang dipahami sebagai formulasi terakhir dari lima tahap perkembangan sejarah Marx adalah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang disandarkan atas hak milik sosial. Hubungan produksi merupakan jalinan kerjasama dan sling membantu dari kaum buruh yang berhasil membebaskan diri dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap masyarakat sebelumnya adalah, masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan bagi manusia mencapai harkatnya tanpa peninidasan. Dengan kata lain, sebuah sistem yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.[20]
            Marx melihat bahwa masyarakat sudah terbentuk jauh sebelum jaman pra sejarah. Didalamnya ada stuktur atau kelas masyarakat yang melakukan interaksi sehingga terbentuk suatu hukum atau norma yang mengikat masyarakat. Dan manusia yang  ada di dalamnya adalah bentukan dari masyarakat tersbut.
Hasil pengamatannya terhadap masyarakat, ia membagi masyarakat ke dalam dua kelas; kelas borjuis (kelas pengusaha/menengah) sebagai majikan dan kelas proletar sebagai buruh. Menurutnya kedua-duanya mengalami keterasingan. Kelas borjuis terasing oleh karena posisinya yang harus menghamba kepada modal.
Marx berupaya untuk menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat, menjadi usaha yang tidak mudah. Seperti diketahui, sistem kapitalis sebagai penyebab utama kaum proletar sudah terlanjur kuat. Dengan demikian beberapa cara dan taktik untuk merubuhkannya haruslah dimulai dari dalam sistem itu sendiri, disamping cara revolusioner dalam mekanisme perjuangan kelas.

C.    Agama
Dia lahir dilingkungan keluarga yang  beragama yaitu; Yahudi dan Kristen. Ketika dia berusia kanak-kanak perpindahan kepercayaan keluarganya dari agama Yahudi ke kristen membekas dalam perjalanan hidupnya. Kegagalan Karl Mark menerbitkan communist manifesto yang bertujuan menyebarkan agitasi dan gerakan revolusioner ke pada kaum buruh di seluruh Eropa. Membuatnya dia harus mengkritik agama, karena agama menurutnya agama hanyalah membuat manusia bergerak pasif dan menghalang-halangi kemajuan manusia.
Marx menganggap sudah sewajarnya Tuhan itu tidak ada,[21] kritik terhadap agama itu membuatnya harus mengukuhkan ajaran ateisnya. Bahwa manusia lah yang menciptakan Tuhan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Seperti yang terjadi pada jaman nabi Ibrahim, manusia yang membuat Tuhan (patung) dan manusia sendiri yang menyembahnya. Hal itu untuk meyakinkan pada dirinya sendiri  bahwa tujuan dia adalah meringankan penderitaan manuisa.
Marx menganalisis agama di masyarakat Eropa sebagai bagian dari gejala sosial. Dari analisinya agama dimasukan dalam kelompok wilayah “ bangunan atas” dari struktur kehidupan masyarakat. Dalam persepsi macam ini agama telah terlembagakan menjadi seperangkat kekuatan sosial. Dia melihat para pendeta dan pembesar gereja telah bersekutu dengan penguasa. Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “menina bobokan” dengan janji penyelamatan diatas penderitaan dan kelaparan massa. Lembaga-lembaga agama dan peminpin agama telah memainkan peran diluar misi agama sebagai pembela hak-hak kaum tertindas. Agama menjadi alat pelegalisasi kekuatan pemerintah yang menguntungkan segelintir elit. Dari sini Marx mengatakan agama adalah candu masyarakat.
Kemunculan kapitalisme mengindikasikan agama hanya sekedar ilusi-ilusi yang menghibur;
Tekanan agama pada saat yang sama meerupakan ekspresi penderitaan nyata dan sekaligus protes terhadap penderitaan nyata. Agama adalah keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia yang tek berperasaan, sekaligus roh dari sebuah hati situasi yang tak berjiwa. Agama adalah candu masyarakat[22].
Kehadiran agama sepanjang sejarahnya hanya memenifestasi ketidakberdayaan menghadapi permasalahan dunia. Menurut Marx, manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan tapi manusialah yang menciptakan Tuhan. Dengan ceramahan agama manusia telah dininabobokan, maka, agama telah membelokan kodrat manusia yang sejati.[23]
Menurut Marx, agama sebagai bangunan atas yang harus mengabdi kepada ekonomi sebagai basis, maka agama paling tidak ketika ia hidup saat penguasa gereja tengah berkolusi dengan kalangan politisi dan pengusaha ikut membantu terpeliharanya situasi eksploitatif tersebut. Agama bukan hanya sebagai ekspresi ekonomi, tetapi juga secara khas memberi dukungan moral atas kepincangan sosial.
Ada dua fungsi yang dimiliki agama dalam konteks ini; Pertama bagi elit agamawan (gereja), ia menjadi alat justifikasi transendental bagi berlangsungnya status Quo atau hak-hak istimewa mereka. Sebab itu, sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif ini, jelas Marx, tidak mendapat protes apa pun.
 Kedua, penekanannya pada dunia transenden (non material) dan harapan akan hidup setelah mati membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan fisik dan kesulitan material dalam hidup. Tambahan pula cita-cita agama sebenarnya telah mengalihkan prioritas-prioritas alamiah/tuntutan-tuntutan normal dengan mengatakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani positif kalau ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu untuk memperoleh pahala di alambaka.[24]
Kekayaan material, status duniawi, dan kekuasaan dilihat dalam kesadaran agama sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya bagi kesejahteraan rohani individu serta pahalanya bagi kehidupannya kelak. Maka kemudian kemiskinan diubah menjadi kebajikan dan kekayaan menjadi kemiskinan rohani. Selain itu, kata Marx lebih lanjut, dalam persepektif agama, penderitaan hidup dianggap sebagai takdir yang harus diterima. Jadi, sikap pasrah, dan pasif pun merupakan sikap bijak yang dianjurkan agama. Karenanya, agama, sindirnya secara sarkastik, pada dasarnya merupakan ekspresi penderitaan sosial.[25]
Agama adalah keluh kesah warga masyarakat yang tertindas. Agama adalah suatu sentimen dunia yang tak berperikemanusiaan. Ia adalah “candu masyarakat” yang hanya memberi penenang sementara, semu dan tidak mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan penderitaan. Agama telah merampas kekayaan yang berharga dari manusia lalu menyerahkannya kepada Tuhan.
Agama merupakan refleksi keterasingan manusia semata. Kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial, agama merupakan doktrin yang mengajarkan sikap pengecut dalam mengahadapi realitas hidup, kerendahan diri, kehinaan, ketundukan, kepedihan, dan rasa putus asa. Dari sini, Marx kemudian menjauhi agama dan memusuhinya.
Hal yang sama ia tujukan pada institusi pendidikan dan hiburan. Institusi pendidikan, tulis Marx, hanyalah sebagai suatu pelayanan terhadap keperluan-keperluan ekonomi, dengan memberikan indoktrinasi kepada individu-individu tentang norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung status quo dan dengan melatih mereka menduduki posisi-posisi pekerjaan dalam sistem ekonomi kapitalisme tersebut. Berbagai bentuk industri hiburan ia lihat juga sebagai suatu usaha untuk mengalihkan atau menenangkan orang.

D.    Konflik sosial
Relasi sosial ditandai dengan kompetisi yang tidak terkendali dapat berkembang menjadi penentangan dan jika penentangan ini menegang tajam akan memunculkan konflik. Dalam pengertian sosiologis, konflik dapat difahami sebagai suatu “proses sosial” di mana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Wujud konflik yang paling jelas adalah perang bersenjata, dimana dua atau lebih bangsa atau suku bangsa saling tempur dengan maksud menghancurkan atau membuat pihak lawan tidak berdaya. Pihak-pihak yang terlibat konflik, dikuasai oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang dipersengketakan.
Fokus perhatian masing-masing pihak terarah pada dua hal, pertama adanya lawan yang menghalangi, dan kedua adanya nilai lain yang hendak dicapai. Sejarah memberikan kesaksian kepada kita, bahwa peperangan yang terjadi di masa lalu ditemukan adanya nilai sebagai motif perjuangannya; misalnya nilai jihad untuk membela kebenaran atau nilai demokrasi untuk neraih kebebasan dan persamaan hak, perbaikan nasib kaum buruh dan lain-lain.
Masyarakat adalah dinamik yang terus berkembang semakin kompleks, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu penyimpangan peraturan, karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain yang nilainya berbeda, bahkan saling bertentangan. Pola pikir ini menjelaskan, bahwa masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang berbeda saling bertemu dan berkompetisi.
Untuk menjelaskan pengertian tersebut dapat diambil contoh kasus pemilik rumah dengan penyewa rumah. Pemilik rumah menghendaki sewa rumah dinaikkan, sementara itu penyewa rumah mengharapkan sewa rumah yang rendah. Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan oleh karena nilai dan kepentingan berbeda.
Menurut Marx konflik memiliki fungsi yang positif. Marx dalam tulisannya “communist manifesto” menyatakan bahwa kaum komunis hendak merobohkan susunan mayarakat dengan kekerasan.[26] Menurutnya konflik merupakan satu-satunya syarat mutlak untuk mencapai kemajuan masyarakat. Dan kaum komunisberjanji untuk menghapuskan kemiskinan di muka bumi.[27]Pendirian ini didukung oleh filsafat Karl Marx, yaitu filsafat materialisme dialektik dan materialisme historis.
Marx menjelaskan kesimpulan bahwa mereka mengalami alienasi (keterasingan) dari diri dan lingkungannya. Dalam analisanya, pertama-tama ia membagi masyarakat ke dalam dua kelas; kelas borjuis (kelas pengusaha/menengah) sebagai majikan dan kelas proletar sebagai buruh. Menurutnya kedua-duanya mengalami keterasingan. Kelas borjuis terasing oleh karena posisinya yang harus menghamba kepada modal.
Kenikmatan baginya harus merupakan bagian dari produksi yang harus diperhitungkan secara ekonomis. Kecuali itu, ia juga dihantui kekhawatiran akan bangkrut karena kerasnya persaingan di antara kelas borjuis (pemilik modal) dan juga hukum ekonomi kapitalis yang mengandaikan para pemilik modal yang kuatlah yang akan mampu bertahan terus. Dirinya, dengan demikian, tidak lagi menjadi pusat hidupnya tetapi objek dari kekuatan luar yang memaksanya. Namun demikian keterasingan yang dirasakan kelas proletar (kaum
buruh) jauh lebih berat dari kelas borjuis, kalau bukan sesuatu yang tidak bisa dibandingkan.[28]
Jika kelas borjuis, yang berjumlah segelintir saja, lewat industri yang dikuasainya lebih banyak menikmati hidup, maka kelas proletar yang mayoritas lebih banyak menderita karena dominasi mereka. Dalam pandangan Marx, kelas proletar yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan berat hanya menikmati kekayaan paling sedikit dari apa yang dirasakan kelas borjuis, mengalami keterasingan: Pertama dari dirinya sendiri karena ia telah menjadi objek orang lain. Dirinya telah menjadi komoditas yang dibeli kelas borjuis di pasaran proletariat.[29]
Bisa bertahan hidup hanya ada satu pilihan, yaitu bekerja pada pabrik-pabrik kelas borjuis dengan jam kerja yang panjang tetapi upah yang rendah, padahal keadaan dalam pabrik membahayakan diri dan kesehatan mereka. Ia terasing dari minatnya, dari kebebasannya dalam memilih, dari kebahagiannya, dan dari perasaan harga dirinya. Hidupnya tertekan oleh dominasi kelas borjuis.
Terasing dari rumpun sebagai manusia yang bebas berkreasi, suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan. Kegiatan produktif buruh-buruh upahnya ditentukan oleh kebutuhan untuk dapat mempertahankan hidupnya, tidak lebih dari itu. Pekerjaan yang tadinya sebagai medan pelaksanaan kreatifitas manusia, bagi kaum buruh hanya untuk memenuhi keinginan majikannya.[30]
Teori konplik yang dibuat Marx ternyata berhasil, terbukti ajaran     Komunismenya Marx  mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahannya secar berilian seperti di Rusia. Rusia mampu menggerakan revolusi proletarian yang kemudian menyebar keseluruh dunia. Rusia bukanlah negara Asiatik masa lalu, tapi sebuah negara Soviet masa depan yang progresif.
Sebenarnya revolusi menjadikan Rusia mampu mampu melampui Barat. Sekali pun demikian, pada saat bersamaan, komunisme menjadikan para peminpin Soviet mampu membedakan diri mereka dari Barat. Ia juga dengan penuh kekuatan, menciptakan ikatan-ikatan dengan Barat. Mark dan Engel adalah orang Jerman; eksponen-eksponen terpenting dari pandangan mereka pada akhir abad XIX dan aawal abad XX adalah orang-orang Eropa; di Barat, pada tahun 1910, berbagai serikat buruh, paartai-partai sosial demokrat dan partai-partai buruh tetap konsisten denagn ideologi mereka, dan hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan politik masyarakat Eropa.[31]
Setelah revolusi Bolshevik, golongan sayap-ayap kiri terpecah kedalam partai komunis dan sosialis. Di Eropa, keduanya sering tampil sebagai kekuatan-kekuatan yang tidak dapat dianggap enteng. Hampir di seluruh bagian Barat, ideologi Marksis banyak dianut; komunisme dan sosialisme dilihat sebagai gelombang masa depan, dan melalui satu dan lain cara, banyak dianut oleh kalangan elit politik dan intelektual.[32]

DAFTAR PUSTAKA

Afif Muhammad, Dari Teologi Ke Ideologi, (Bandung, Pena merah, 2004).
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkei Keindonesiaan Dan Kemanusiaan, (Bandung, Mizan, 2009).
Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009).
Erich fromm, Akar Kekerasan, Analisis sosio, psokologis atas watak manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Jakarta 2004.
Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung, Mizan, 2011).
Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Jakarta, QALAM, 2009).


[1] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 34
[2]Op. Cit, hlm. 123
[3] Ibid hlm. 123
[4] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung, Mizan, 2011), hlm. 394
[5] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 38
[6] Micheal H. Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh Sepanjang Masa (Karisma Publishing Goup, 2005), hlm. 135
[7] Afif Muhammad, Dari Teologi Ke Ideologi, (Bandung, Pena merah, 2004), hlm. 84
[8] Erich fromm, Akar Kekerasan, Analisis sosio, psokologis atas watak manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 371
[9] Op. Cit hlm. 122
[10] Op. Cit hlm. 123
[11] Op. Cit hlm. 123
[12] Op.cit hlm. 124
[13] Op.cit hlm. 139

[14]Ibid hlm. 134

[15] Op. Cit hlm. 135

[16] 0p.cit hlm. 135

[17] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 136

[18] Op. Cit hlm. 137

[19] Ibid hlm. 138

[20] Ibid hlm. 138

[21] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung, Mizan, 2011), hlm. 394

[22] Karen Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung, Mizan, 2011), hlm. 395

[23] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 166
[24] Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133, 124
[25] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 159
[26] Andi Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta, LkiS, 2009), hlm. 158
[27] Ahmad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkei Keindonesiaan Dan Kemanusiaan, (Bandung, Mizan, 2009), hlm. 107
[28] Op.cit hlm. 131
[29] Ibid hlm. 131
[30] Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133
[31] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Jakarta, QALAM, 2009), hlm. 244
[32] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar