TEORI ILMU SOSIAL
KARL MARX
Oleh:
Hermansyah
A.
Pendahuluan
Konflik
sosial, sering menjadi diskusi hangat dikalangan cendekiawan, mereka
menginginkan suatu pengetahuan untuk menguak gejala tersebut, guna memecahkan
permasalahan. Maka, mereka melahirkan gagasan-gagasan tentang sosial. Dorongan
untuk memcahkan, menguji dan membuktikan sesuatu adalah bagian kegiatan sadar
manusia.
Para
ilmuan sosiolog seperti Karl Marx juga demikian, meneliti masyarakat yang hidup
pada zamannya dan menawarkan ide-ide terhadap permasalahan yang terjadi. Ternyata
hal ini banyak direspon oleh mereka yaitu gagasan ilmuan sosiologi yang dipakai
untuk melakukan perubahan. Kemunculan mazhab-mazhab seratus tahun pasca
meninggalnya Karl Marx, menandakan bahwa pemikiran Marx menarik untuk dikaji
sebagai ilmu pengetahuan dan juga sebagai ideologi yang banyak melakukan banyak
perubahan.
Ide
gagasan Marx yaitu membela masyarakat lemah dan membebaskannya dari kemiskinan,
lebih menarik untuk kita diskusikan. Kemiskinan terjadi Menurut Karl Marx,
diikarenakan adanya kalangan elit yang serakah menguasai sumber daya alam,
dimana sumberdaya alam itu adalah materi yang digunakan manusia untuk memenuhi
kebutuhannya. Marx menganggap bahwa orang yang lemah ini mempunyai potensi
untuk merebut kembali kekayaan alam, dengan cara revolusi.
Revolusi
ini adalah ide yang diterapkan oleh Marx untuk merubah tatanan masyarakat yang
sosialis, yaitu masyarakat yang sejahtra. Marx menawarkan janji penyelamatan
sosial, dimana para penganutnya senantiasa diberi harapan untuk mencapai
kedamaian dan pemecahan aneka macam masalah.
B. Biografi
Kota
Trier atau biasa disebut dengan Traves sebuah daerah yang termasuk daerah
kawasan Rheiland Jerman (Prusia), tercatat sebagai kota yang bersejarah di
dalam literatur filsafat. Karena di daerah inilah pada 5 mei 1818 Karl Heinrich
Marx dilahirkan. Kedua orang tuanya adalah keturunan pendeta-pendeta Yahudi.
Ayahnya, Heinrich Marx termasuk golongan menengah dan menjadi pengcara ternama
di Traves. Sedang ibunya adalah putri seorang pendeta belanda, juga berbangsa
Yahudi. Berdasarkan nasab semacam ini, menunjukan kejeniusan Karl Marx dengan
darah Yahudi yang mengalir di tubuhnya.[1]
Pada tahun 1824, yakni ketika Marx
berusia 6 tahun, seluruh keluarganya mengalami perpindahan agama dari Yahudi ke
agama Kristen Protestan. Peristiwa ini membekas dalam perjalanan hidup Mark
selanjutnya.[2]
Sewaktu masih kanak-kanak, Marx
biasa dipanggil dengan gelar “si Maroko” sejenis bangsa yang mendiami Afrika
Barat Laut, hal tersebut disebabkan kulitnya yang berwarna hitam, mata cekung
tapi bersinar dengan tajam. Perawakan tubuhnya gemuk meski termasuk pedek
dibanding anak-anak Jerman yang sebaya dengannya ketika berusia 15 tahun.[3]
Satu hal yang kelak terbawa sampai
dewasa adalah sifatnya yang tidak mau diatur, jorok dan acak-acakan. Hal ini
seakan pradoksal dengan ketekunan, ketelitian dan sifatnya yang ingin selalu
tahu dalam segala hal, sehingga embosankan orang-orang disekitarnya termasuk
guru-guru di sekolah.
Pada usia 17 tahun, Marx menamatkan
sekolah menengah di Traves, tepatnya
tahun 1835. Kemudian ia melanjutkan keperguruan tinggi bukan tanpa penolakan,
namun akhirnya menuruti kemauan bapaknya untuk memasuki fakultas Hukum
Universitas Bonn selama satu tahun. Di sini Marx tidak kerasan, kemudian ia
pindah ke Universitas Berlin dengan mengkhususkan diri mempelajari filsafat dan
sejarah seperti yang dicita-citakannya semula. Di Universitas Berlin inilah
baru kelihatan bakatnya yang luar biasa dalam bidang filsafat.
Marx pernah belajar dengan Hegel di
Berlin, tempat dia bertemu beberapa teolog palinG kontroversial pada masa itu.
Gagal mendapatkan jabatan akademis di Jerman, dia bekerja sebagai wartawan di
Paris samapai dia dikeluarka gara-gara aktivitas politiknya dan menetap di
London, tempat dia mulai menggarap Das
Kapital, analisisnya yang monumental tentang kapitalisme.[4]
Karl Marx, semula ia berkeinginan
menjadi dosen dalam karir akademi. Tetapi rencana itu gagal gagal karena
pahamnya radikal dan tidak mudah berkompromi dengan status quo yang berlaku
pada saat itu. Terbukti dengan dipecatnya Bruno Bauer sebagai rektor di Universitas
Bonn karena anggota Hegelian kiri ini pada tahun 1841 menulis buku tentang
kritik terhadap injil.[5]
Karena Marx bagian dari anggota Hegelian kiri maka, ia pun bisa menjadi dosen.
Gagal merintis sebagai dosen, Marx
terjun di dunia penulisan sebagai wartawan. Hal ini kerena golongan radikal
pada waktu itu menerbitkan majalah oposisi. Marx menjadi penyumbang di majalah
ini dan menulis banyak artikel tentang kaum tani Jerman. Kemudian karena
keritik Marx terlalu keras terhadap pemerintah maka, setelah satu tahun majalah
ini terbit akhirnya dipaksa untuk tutup.
Karya
tulis Mark merumuskan dasar-dasar teoretis komunis, seperti banyak bentuk
sosialisme. Pada waktu kematian Marx, tidak satu pun negara yang mengambil
idealnya kedalam praktik. Satu abad kemudian, pemerintah komunis berdiri
dibanyak tempat termasuk Rusia dan Cina. Di banyak negara lainnya, gerakannya
yang berdasarkan ajarannya, telah muncul dan berusaha meraih kesuksesan.
Kegiatan-kegiatan partai marxsis
termasik propaganda, pembunuhan, teror, pemberontakan untuk meraih kekuasaan,
dan juga perang-perang, penindasan yang kejam, pembinasaan setelah meraih
kekuasaan Membuat kekacauan di seluruh dunia selama beberapa dekade dan
menyebabkan kematian 100 juta orang.[6]
C. Karya-karyanya
Dalam
bidang filsafat:
1. The Difference
Between The Natural Philosophy of Epicurus
2. Criticism of The
Hegelian Philosophy of Law
3. Economic and
Philosophical Manuscripts of 1844
4. On The Jewish
Question
5. Contribution to
Critique of Hege’s Philosophy
6. The Holy Family
or Critique of Critical Critique
7. Ludwig Feuerbach
and The end of Clasical German Philosophy
8. The German
Ideology
9. The Poverty of
Philosophy
Di
bidang Sejarah dan Politik
1. Manifesto of The
Communist Party
2. The Class
Struggles in France
3. The Eighteenth
Brumaire of Louis Bonaparte
4. Secret
Diplomatic History of The Eighteenth Century
5. The First Indian
War of Independence
6. The Civil War In
United State
Dibidang
Ekomomi
1. Wage, Labour and
Kapital
2. Pre-capitalist
Economik Formation
3. Contribution to
The critique of Critical Economy
4. Theories of
Surplus value
5. Wage, Price and
Profit
6. Das Kapital
7. The Process of
Capitalis Production
8. The Process of
Circulation Capital
TEORI PERKEMBANGAN MASYARAKAT
MENURUT MARX
A. Manusia
Karl Marx adalah satu tokoh yang pemikirannya
mewarnai dengan sangat jelas dalam perkembangan ilmu sosial. Pemikiran Karl
Marx berangkat dari filsafat dialektika Hegel. Hanya saja ia mengganti dialektika
ideal menjadi dialektika material, yang diambil dari filsafat Fuerbach,
sehingga sejarah merupakan proses perubahan terus menerus secara material.
Manusia
adalah hal yang penting dalam pembahasan Karl Marx. Manusia adalah bagian dari
alam sekaligus berhubungan dengan alam. Bagi manusia alam ini masih merupakan
suatu proses yang belum selesai dan harus diolah agar bisa dimanfaatkan untuk
kebutuhan hidup, seperti yang terjadi pada masyarakat zaman pra sejarah. Dari
sini Marx merujuk naluri ekonomi sebagai kodrat dari manusia.[7]
Dijelaskan
dalam teori perkembangannya Karl Mark, manusia, dalam upaya mengubah dan memperbaiki kondisi sosialnya, senantiasa
dibatasi oleh faktor-faktor materi dan lingkungannya. Misalnya; kondisi iklim,
ekologi, teknik, situasi geografis dan tradisi-tradisi budaya.[8]
Seperti yang kita ketahui, pemburu dan pengumpul makanan pada masyarakat
primitif dan kaum petani pada periode awal, hidup dalam lingkungan yang relatif
seimbang dan kondusif. Namun, dalam pertumbuhannya, manusia berubah dan dia
mengubah lingkungannya. Dia mengalami kemajuan intelektual dan teknologi, namun
kemajuan ini menciptakan situasi yang kondusif
bagi berkembangnya sindrom karakter penghambatan kehidupan.
Marx
memposisikan manusia sebagai makhluk yang aktif, manusia bisa melakukan
perubahan dalam dirinya dan alam dimana ia hidup. Ia selalu menemukan hal yang
baru dalam perjalanan hidupnya. Dia juga mengatakan bahwa Manusia ialah makhluk
alam yang konkrit, manusia bukanlah roh yang hidup di dunia materi ini, bagaimana
pun juga roh tidak akan bisa menyentuh properti yang ada di alam materi.
Oleh karena itu manusia tidak akan mampu menghadirkan dirinya di luar alam
materi. Manusia lah makhluk yang merupakan bagian integral dari alam dan
materi, dengan kata lain, manusia tergantung pada alam sekaligus mempunyai
sikap aktif terhadap alam.[9]
Dari alam lah manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya ke dalam praktis
kerja. Dengan bekerja, berarti manusia telah menghumanisir alam. Adanya kontak
interaksi aktif antara manusia dan alam membuahkan pengertian baru bahwa alam
dapat dihumanisir dan manusia dapat dinaturalisir.[10]
Pada
hakikatnya yang membuat manusia menjadi Homo
Humanus adalah kerja. Dengan bekerja manusia mancapai kenyataan
sepenuh-penuhnya dan dalam aktifitas bekerja pula manusia “menyatakan diri
tidak seperti dalam keadaan kesadaran secara intelektual, melainkan secara
berkarya, secara nyata sehingga ia memandang dirinya sendiri dalam dunia yang
diciptakan sendiri”. Selanjutnya Marx menciptakan manusia ke dalam posisi
emansipatoris, hal demikian berarti ia menghilangkan segala sesuatu yang
menghalang-halangi manusia dan secara positif menghumanisasikan manusia. Untuk
mencapai kodratnya sebagai makhluk tertinggi maka kondisi objektif dari keadaan materi manusia harus tetap
menjadi faktor dominan berhadapan dengan kesadaran manusia.[11]
Marx
melihat manusia dan alam, bahwa seluruh kenyataan berkembang secara kualitatif
dalam loncatan-loncatan yang menuju kepada perspektif menuju realitas baru.
Loncatan terpenting dari semua relitas itu adalah ketika alam menghasilkan
manusia Secara kualitatif yaitu yang
memiliki kemampuan berbahasa, berfikir dan bekerja yang tidak dapat dilakukan
oleh binatang. Selanjutnya tingkat perkembangan organisme manusia membuahkan
kerja sama dan menghasilkan karya-karya yang selalu baru, sejalan hal itu maka
perkembangan yang dimaksud membawa manusia mensosialisasikan pengalamannya yang
satu kepada yang lain. Perkembangan bahasa dengan diiringi pikiran yang
meningkat mengandaikan perlunya disiplin dan pembagian kerja, dan dari
pembagian kerja inilah kemudian tingkat perkembangan sosial secara dialektis
menuju kepada masyarakat yang bahagia.[12]
Marx
melihat tahap perkembangan sejarah yang dihampiri lewat analisis ekonomi,
ditemukan adanya dua faktor kunci yang mendasari segala proses didalamnya.
Pertama, kekuatan produksi dan yang kedua hubungan produksi. Kekuatan produksi
meliputi orang yang bekerja, alat produksi yang dipergunakan, bahan baku serta
sumber daya alam yang dipergunakan dalam proses produksi, ini yang dinamakan
hubuungan manusia dengan alam.[13]
B. Masyarakat
Bisa
disebut masyarakat jika ada sekolompok individu yang melakukan interaksi dan di
dalamnya ada hukum-hukum atau norma-norma yang mengatur. Kumpulan orang yang tidak
melakukan interaksi atau komunikasi hal itu tidak disebut masyarakat hanya
kerumunan biasa yang tidak terbentuk hukumatau norma di dalamnya. Misalnya,
kerumunan orang yang sedang menunggu bus kota ketika mereka akan bepergian,
atau sekelompok orang yang berada dalam angkutan umum atau bus.
Menurut
Marx, masyarakat dibagi dalam lima
tahapan; Pertama, masyarakat komunal primitif yaitu tahap masyarakat
yang memakai alat-alat bekerja yang sifatnya sederhana. Alat produksi bukan
milik pribadi (perorangan), tetapi menjadi milik komunal. Perlu dicatat bahwa
dalam masyarakat primitif ini belum dikenal surplus produksi diatas tingkat
produksi, karena setiap orang mampu memnuhi kebutuhannya sendiri. Keadaan ini
tidak berlangsing lama sebab masyarakat mulai menciptakan alat-alat yang dapat
memperbesar produksi. Periode zaman batu lalu meloncat kepada penggunaan
tembaga dan besi. Perbaikan produksi pada saat yang sama menimbulkan
perubahan-perubahan sosial, pada titik inilah pembagian kerja dalam berproduksi
tidak dapat dihindari. Pertukaran barang-barang mulai berkembang luas, meskipun
mekanisme pasar yang diciptakan masih relatif sederhana. Akhirnya keperluan
menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan orang lain meningkat, kemudian
diperlukan kaum pekerja dalam rangka produksi. Hal ini berarti tercipta
hubungan produksi dalam masyarakat komunal.[14]
Kedua,
masyarat perbudakan, tercipta berkat hubungan produksi antara orang-orang yang
memiliki alat-alat produksi dengan orang yang hanya memiliki tenaga kerja.
Bermula dari cara kerja model ini menyebabkan berlipat gandanya keuntunngan
pemilik produksi. Budak yang bekerja diberi upah yang minim untuk
mempertahankan tingkat kerjanya dan supaya tetap hidup. Bila dalam pembagian
kerja dan spesialisasi menerobos bidang-bidang kehidupan seperti pekerjaan
tangan dan pertanian, maka spesialisasi itu sekaligus mendorong meningkatkan
keterampilan dan perbaikan alat-alat produksi.[15]
Marx menilai bahwa pada tingkat
perkembangan masyarakat ini, nafkah kerja budak sudah di bawah standar murah
dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki
alat-alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula budak makin lama
makin sadar akan kedudukannya (akan manfaat tenaganya). Mulai timbul
ketidakpuasan atas kedudukannya didalam hubungan produksi. Ketidak puasan ini
menjadi awal perselisihan kedua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat
produksi.
Ketiga,
tingkat perkembangan masyarakat feodal bermula setelah runtuhnya masyarakat
perbudakan. Masyarakat ini muncul dengan pertentangan di dalamnya. Pemilikian
alat produksi terpusat pada kaum bangsawan, khususnya pemilik tanah. Para buruh
tani yang berasal dari kelas budak yang dimerdekakan. Mereka mengerjakan tanah
untuk kaum feodal, kemudian setelah itu mengerjakan tanah miliknya sendiri.
Hubungan produksi macam ini mendorong adanya peraikan produksi dan cara
produksi disektor pertanian, maksudnya agar petani menghasilkan pendapatan yang
layak. Dengan demikian, sistem feodal sebenarnya mengubah cara-cara kehidupan
sosial. Dari kerangka ini lahir dua golongan kelas di dalam masyarakat-puncaknya
menjelma dalam sistem kapitalis-yaitu, kelas feodal tuan tanah menguasai
hubungan sosial dan kelas petani bertugas melayani tuan tanah.[16]
Kepentingan kedua kelas ini berbeda,
kaum feodal menginginkan keuntungan yang lebih besar karena itu mereka
memperlebar sektor (bidang usaha) penghasilannya lewat pendirian parik-pabrik.
Akibatnya mucul pedagang-pedagang yang mencari pasar dan melemparkan
hasil-hasil produksi yang selalu bertambah. Fenomena baru yang tidak dapat
dibendung kehadirannya yaitu terbentuknya alat produksi dan sistem kapitalis
yang menghendaki terhapusnya masyarakat feodalisme. Kelas kaya baru ini (kelas
borjuis) yang memiliki alat-alat produksi menempuh cara untuk terbentuknya
pasar bebas – yang menyangkut didalamnya baik sektor buruh – sistem kerja dan
penggajian – maupun ketentuan tarip tiappertukaran barang seperti yang
diberlakukan dalam masyarakat feodal. Proses dialektika sejarah ini pada
akhirnya membuktikan bahwa sistem masyarakat feodal memang tidak mampu membendung
lahirnya masyarakat kapitalis.[17]
Keempat,
masyarakat kapitalis, seperti telah disebutkan menghendaki kebebasan dalam
mekanisme perekonomian. Hubungan produksi pada sistem ini didasarkan pada
pemilikan individu masing-masing orang pada alat produksi. Kelas kapitalis
memepkerjakan kaum buruh yang terpaksa menjual tenaganya karena tidak memiliki
pabrik dan alat produksi lainnya, maka dalam sistem kapitalis terlihat adanya
fenomena baru yaitu, hubungan produksi yang memungkinkan terus menerus
meningkatkan alat produksi, caranya adalah memperbharui pabrik-pabrik,
modernisasi mesin-mesin dengan tenaga uap dan listerik. Akibat langsung dari
sistem ini adalah kerja menjadi terspesialisasi, aktivitas persaingan mencari
pasaran hasil produksi menjadi tugas utama kaum kapitalis, sedang pada saat
yang sama upah dan kesejahtaan yang tidak kujung datang menjadi dambaan kaum
pekerja.[18]
Pada analisa selanjutnya, dua kelas
dalam masyarakat yang kepentingannya saling bertentangan, kelas proletar dan
kelas bojuis yang mewakili kaum kapitalis pemilik alat produksi. Perbedaan
kepentingan ini makin lama makin memuncak yang kemudian disebut dengan
pertentangan kelas. Perjuangan kelas dan pertentangan kelas berakhir dengan
terbentuknya masyarakat tanpa perbedaan kelas (classles society ). ciri masyarakat ini adalah pemilikan alat-alat
produksi yang sifatnya sosial.[19]
Kelima, masyarakat
sosialis yang dipahami sebagai formulasi terakhir dari lima tahap perkembangan
sejarah Marx adalah masyarakat dengan sistem pemilikan produksi yang
disandarkan atas hak milik sosial. Hubungan produksi merupakan jalinan
kerjasama dan sling membantu dari kaum buruh yang berhasil membebaskan diri
dari eksploitasi. Perbedaan mendasar dengan tahap masyarakat sebelumnya adalah,
masyarakat sosialis alat-alat produksi merupakan hasil olahan dari kebudayaan
manusia yang lebih tinggi. Sistem sosialis dirancang untuk memberi kebebasan
bagi manusia mencapai harkatnya tanpa peninidasan. Dengan kata lain, sebuah
sistem yang menginginkan hapusnya kelas-kelas dalam masyarakat.[20]
Marx melihat bahwa masyarakat sudah
terbentuk jauh sebelum jaman pra sejarah. Didalamnya ada stuktur atau kelas
masyarakat yang melakukan interaksi sehingga terbentuk suatu hukum atau norma
yang mengikat masyarakat. Dan manusia yang
ada di dalamnya adalah bentukan dari masyarakat tersbut.
Hasil pengamatannya terhadap masyarakat, ia membagi masyarakat
ke dalam dua kelas; kelas borjuis (kelas pengusaha/menengah) sebagai majikan
dan kelas proletar sebagai buruh. Menurutnya kedua-duanya mengalami
keterasingan. Kelas borjuis terasing oleh karena posisinya yang harus menghamba
kepada modal.
Marx
berupaya untuk menghapuskan kelas-kelas dalam masyarakat, menjadi usaha yang
tidak mudah. Seperti diketahui, sistem kapitalis sebagai penyebab utama kaum
proletar sudah terlanjur kuat. Dengan demikian beberapa cara dan taktik untuk
merubuhkannya haruslah dimulai dari dalam sistem itu sendiri, disamping cara
revolusioner dalam mekanisme perjuangan kelas.
C. Agama
Dia
lahir dilingkungan keluarga yang beragama
yaitu; Yahudi dan Kristen. Ketika dia berusia kanak-kanak perpindahan
kepercayaan keluarganya dari agama Yahudi ke kristen membekas dalam perjalanan
hidupnya. Kegagalan Karl Mark menerbitkan communist
manifesto yang bertujuan menyebarkan agitasi dan gerakan revolusioner ke
pada kaum buruh di seluruh Eropa. Membuatnya dia harus mengkritik agama, karena
agama menurutnya agama hanyalah membuat manusia bergerak pasif dan
menghalang-halangi kemajuan manusia.
Marx
menganggap sudah sewajarnya Tuhan itu tidak ada,[21] kritik
terhadap agama itu membuatnya harus mengukuhkan ajaran ateisnya. Bahwa manusia
lah yang menciptakan Tuhan bukan Tuhan yang menciptakan manusia. Seperti yang
terjadi pada jaman nabi Ibrahim, manusia yang membuat Tuhan (patung) dan
manusia sendiri yang menyembahnya. Hal itu untuk meyakinkan pada dirinya
sendiri bahwa tujuan dia adalah meringankan
penderitaan manuisa.
Marx
menganalisis agama di masyarakat Eropa sebagai bagian dari gejala sosial. Dari
analisinya agama dimasukan dalam kelompok wilayah “ bangunan atas” dari
struktur kehidupan masyarakat. Dalam persepsi macam ini agama telah
terlembagakan menjadi seperangkat kekuatan sosial. Dia melihat para pendeta dan
pembesar gereja telah bersekutu dengan penguasa. Fungsi agama telah diubah
citranya menjadi alat “menina bobokan” dengan janji penyelamatan diatas
penderitaan dan kelaparan massa. Lembaga-lembaga agama dan peminpin agama telah
memainkan peran diluar misi agama sebagai pembela hak-hak kaum tertindas. Agama
menjadi alat pelegalisasi kekuatan pemerintah yang menguntungkan segelintir
elit. Dari sini Marx mengatakan agama adalah candu masyarakat.
Kemunculan
kapitalisme mengindikasikan agama hanya sekedar ilusi-ilusi yang menghibur;
Tekanan agama pada saat
yang sama meerupakan ekspresi penderitaan nyata dan sekaligus protes terhadap
penderitaan nyata. Agama adalah keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia yang
tek berperasaan, sekaligus roh dari sebuah hati situasi yang tak berjiwa. Agama
adalah candu masyarakat[22].
Kehadiran
agama sepanjang sejarahnya hanya memenifestasi ketidakberdayaan menghadapi
permasalahan dunia. Menurut Marx, manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan tapi
manusialah yang menciptakan Tuhan. Dengan ceramahan agama manusia telah
dininabobokan, maka, agama telah membelokan kodrat manusia yang sejati.[23]
Menurut Marx, agama sebagai bangunan atas yang harus
mengabdi kepada ekonomi sebagai basis, maka agama paling tidak ketika ia hidup
saat penguasa gereja tengah berkolusi dengan kalangan politisi dan pengusaha
ikut membantu terpeliharanya situasi eksploitatif tersebut. Agama bukan hanya
sebagai ekspresi ekonomi, tetapi juga secara khas memberi dukungan moral atas
kepincangan sosial.
Ada dua fungsi yang dimiliki agama dalam konteks
ini; Pertama bagi elit agamawan (gereja), ia menjadi alat
justifikasi transendental bagi berlangsungnya status Quo atau hak-hak
istimewa mereka. Sebab itu, sistem ekonomi kapitalistik yang eksploitatif ini,
jelas Marx, tidak mendapat protes apa pun.
Kedua,
penekanannya pada dunia transenden (non material) dan harapan akan hidup
setelah mati membantu mengalihkan perhatian orang dari penderitaan fisik dan
kesulitan material dalam hidup. Tambahan pula cita-cita agama sebenarnya telah
mengalihkan prioritas-prioritas alamiah/tuntutan-tuntutan normal dengan
mengatakan bahwa penderitaan dan kesulitan mempunyai nilai rohani positif kalau
ditanggung dengan sabar, bahkan mungkin memperbesar kesempatan bagi individu
untuk memperoleh pahala di alambaka.[24]
Kekayaan material, status duniawi, dan kekuasaan
dilihat dalam kesadaran agama sebagai ilusi, fana, dan sangat berbahaya bagi kesejahteraan
rohani individu serta pahalanya bagi kehidupannya kelak. Maka kemudian
kemiskinan diubah menjadi kebajikan dan kekayaan menjadi kemiskinan rohani.
Selain itu, kata Marx lebih lanjut, dalam persepektif agama, penderitaan hidup
dianggap sebagai takdir yang harus diterima. Jadi, sikap pasrah, dan pasif pun
merupakan sikap bijak yang dianjurkan agama. Karenanya, agama, sindirnya secara
sarkastik, pada dasarnya merupakan ekspresi penderitaan sosial.[25]
Agama adalah keluh kesah warga masyarakat yang
tertindas. Agama adalah suatu sentimen dunia yang tak berperikemanusiaan. Ia
adalah “candu masyarakat” yang hanya memberi penenang sementara, semu dan tidak
mampu membongkar dan menghilangkan kondisi-kondisi yang menimbulkan
penderitaan. Agama telah merampas kekayaan yang berharga dari manusia lalu menyerahkannya
kepada Tuhan.
Agama merupakan refleksi keterasingan manusia
semata. Kaitannya dengan persoalan-persoalan sosial, agama merupakan doktrin
yang mengajarkan sikap pengecut dalam mengahadapi realitas hidup, kerendahan
diri, kehinaan, ketundukan, kepedihan, dan rasa putus asa. Dari sini, Marx
kemudian menjauhi agama dan memusuhinya.
Hal yang sama ia tujukan pada institusi pendidikan
dan hiburan. Institusi pendidikan, tulis Marx, hanyalah sebagai suatu pelayanan
terhadap keperluan-keperluan ekonomi, dengan memberikan indoktrinasi kepada individu-individu
tentang norma-norma dan nilai-nilai yang mendukung status quo dan dengan
melatih mereka menduduki posisi-posisi pekerjaan dalam sistem ekonomi
kapitalisme tersebut. Berbagai bentuk industri hiburan ia lihat juga sebagai
suatu usaha untuk mengalihkan atau menenangkan orang.
D. Konflik sosial
Relasi sosial ditandai dengan kompetisi yang tidak
terkendali dapat berkembang menjadi penentangan dan jika penentangan ini
menegang tajam akan memunculkan konflik. Dalam pengertian sosiologis, konflik
dapat difahami sebagai suatu “proses sosial” di mana dua orang atau dua
kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau
membuatnya tidak berdaya. Wujud konflik yang paling jelas adalah perang
bersenjata, dimana dua atau lebih bangsa atau suku bangsa saling tempur dengan
maksud menghancurkan atau membuat pihak lawan tidak berdaya. Pihak-pihak yang
terlibat konflik, dikuasai oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang
dipersengketakan.
Fokus perhatian masing-masing pihak terarah pada dua
hal, pertama adanya lawan yang menghalangi, dan kedua adanya nilai lain yang
hendak dicapai. Sejarah memberikan kesaksian kepada kita, bahwa peperangan yang
terjadi di masa lalu ditemukan adanya nilai sebagai motif perjuangannya; misalnya
nilai jihad untuk membela kebenaran atau nilai demokrasi untuk neraih kebebasan
dan persamaan hak, perbaikan nasib kaum buruh dan lain-lain.
Masyarakat adalah dinamik yang terus berkembang
semakin kompleks, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya suatu
penyimpangan peraturan, karena si pelaku terbiasa hidup dalam kelompok lain
yang nilainya berbeda, bahkan saling bertentangan. Pola pikir ini menjelaskan,
bahwa masalah sosial terjadi apabila dua kelompok atau lebih dengan nilai yang
berbeda saling bertemu dan berkompetisi.
Untuk menjelaskan pengertian tersebut dapat diambil
contoh kasus pemilik rumah dengan penyewa rumah. Pemilik rumah menghendaki sewa
rumah dinaikkan, sementara itu penyewa rumah mengharapkan sewa rumah yang rendah.
Situasi semacam ini dapat mendatangkan konflik, dan konflik tersebut disebabkan
oleh karena nilai dan kepentingan berbeda.
Menurut
Marx konflik memiliki fungsi yang positif. Marx dalam tulisannya “communist manifesto” menyatakan bahwa kaum
komunis hendak merobohkan susunan mayarakat dengan kekerasan.[26]
Menurutnya konflik merupakan satu-satunya syarat mutlak untuk mencapai kemajuan
masyarakat. Dan kaum komunisberjanji untuk menghapuskan kemiskinan di muka
bumi.[27]Pendirian
ini didukung oleh filsafat Karl Marx, yaitu filsafat materialisme dialektik dan
materialisme historis.
Marx menjelaskan kesimpulan bahwa mereka mengalami alienasi (keterasingan) dari diri dan
lingkungannya. Dalam analisanya, pertama-tama ia membagi masyarakat ke dalam
dua kelas; kelas borjuis (kelas pengusaha/menengah) sebagai majikan dan kelas
proletar sebagai buruh. Menurutnya kedua-duanya mengalami keterasingan. Kelas
borjuis terasing oleh karena posisinya yang harus menghamba kepada modal.
Kenikmatan baginya harus merupakan bagian dari
produksi yang harus diperhitungkan secara ekonomis. Kecuali itu, ia juga
dihantui kekhawatiran akan bangkrut karena kerasnya persaingan di antara kelas
borjuis (pemilik modal) dan juga hukum ekonomi kapitalis yang mengandaikan para
pemilik modal yang kuatlah yang akan mampu bertahan terus. Dirinya, dengan
demikian, tidak lagi menjadi pusat hidupnya tetapi objek dari kekuatan luar
yang memaksanya. Namun demikian keterasingan yang dirasakan kelas proletar
(kaum
buruh)
jauh lebih berat dari kelas borjuis, kalau bukan sesuatu yang tidak bisa
dibandingkan.[28]
Jika kelas borjuis, yang berjumlah segelintir saja,
lewat industri yang dikuasainya lebih banyak menikmati hidup, maka kelas
proletar yang mayoritas lebih banyak menderita karena dominasi mereka. Dalam
pandangan Marx, kelas proletar yang melakukan pekerjaan-pekerjaan kasar dan
berat hanya menikmati kekayaan paling sedikit dari apa yang dirasakan kelas
borjuis, mengalami keterasingan: Pertama
dari dirinya sendiri karena ia telah menjadi objek orang lain. Dirinya
telah menjadi komoditas yang dibeli kelas borjuis di pasaran proletariat.[29]
Bisa bertahan hidup hanya ada satu pilihan, yaitu
bekerja pada pabrik-pabrik kelas borjuis dengan jam kerja yang panjang tetapi
upah yang rendah, padahal keadaan dalam pabrik membahayakan diri dan kesehatan
mereka. Ia terasing dari minatnya, dari kebebasannya dalam memilih, dari kebahagiannya,
dan dari perasaan harga dirinya. Hidupnya tertekan oleh dominasi kelas borjuis.
Terasing dari rumpun sebagai manusia yang bebas
berkreasi, suatu hal yang membedakan manusia dengan hewan. Kegiatan produktif
buruh-buruh upahnya ditentukan oleh kebutuhan untuk dapat mempertahankan
hidupnya, tidak lebih dari itu. Pekerjaan yang tadinya sebagai medan
pelaksanaan kreatifitas manusia, bagi kaum buruh hanya untuk memenuhi keinginan
majikannya.[30]
Teori
konplik yang dibuat Marx ternyata berhasil, terbukti ajaran Komunismenya Marx mampu menyelesaikan
permasalahan-permasalahannya secar berilian seperti di Rusia. Rusia mampu
menggerakan revolusi proletarian yang kemudian menyebar keseluruh dunia. Rusia
bukanlah negara Asiatik masa lalu, tapi sebuah negara Soviet masa depan yang
progresif.
Sebenarnya
revolusi menjadikan Rusia mampu mampu melampui Barat. Sekali pun demikian, pada
saat bersamaan, komunisme menjadikan para peminpin Soviet mampu membedakan diri
mereka dari Barat. Ia juga dengan penuh kekuatan, menciptakan ikatan-ikatan
dengan Barat. Mark dan Engel adalah orang Jerman; eksponen-eksponen terpenting
dari pandangan mereka pada akhir abad XIX dan aawal abad XX adalah orang-orang
Eropa; di Barat, pada tahun 1910, berbagai serikat buruh, paartai-partai sosial
demokrat dan partai-partai buruh tetap konsisten denagn ideologi mereka, dan
hal itu sangat besar pengaruhnya terhadap kehidupan politik masyarakat Eropa.[31]
Setelah
revolusi Bolshevik, golongan sayap-ayap kiri terpecah kedalam partai komunis
dan sosialis. Di Eropa, keduanya sering tampil sebagai kekuatan-kekuatan yang
tidak dapat dianggap enteng. Hampir di seluruh bagian Barat, ideologi Marksis
banyak dianut; komunisme dan sosialisme dilihat sebagai gelombang masa depan,
dan melalui satu dan lain cara, banyak dianut oleh kalangan elit politik dan
intelektual.[32]
DAFTAR PUSTAKA
Afif Muhammad, Dari Teologi Ke Ideologi, (Bandung, Pena
merah, 2004).
Ahmad
Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkei
Keindonesiaan Dan Kemanusiaan, (Bandung, Mizan, 2009).
Andi
Muawiyah Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009).
Erich
fromm, Akar Kekerasan, Analisis sosio,
psokologis atas watak manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008).
Jurnal
Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Jakarta 2004.
Karen
Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung,
Mizan, 2011).
Samuel
P. Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Jakarta,
QALAM, 2009).
[1] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 34
[2]Op. Cit, hlm.
123
[3] Ibid hlm. 123
[4] Karen
Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung,
Mizan, 2011), hlm. 394
[5] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 38
[6] Micheal H.
Hart, 100 Tokoh Paling Berpengaruh
Sepanjang Masa (Karisma Publishing Goup, 2005), hlm. 135
[7] Afif Muhammad,
Dari Teologi Ke Ideologi, (Bandung,
Pena merah, 2004), hlm. 84
[8] Erich fromm, Akar Kekerasan, Analisis sosio, psokologis
atas watak manusia, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 371
[9] Op. Cit hlm.
122
[10] Op. Cit hlm.
123
[11] Op. Cit hlm.
123
[12] Op.cit hlm. 124
[13] Op.cit hlm.
139
[14]Ibid hlm. 134
[15] Op. Cit hlm.
135
[16] 0p.cit hlm.
135
[17] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 136
[18] Op. Cit hlm.
137
[19] Ibid hlm. 138
[20] Ibid hlm. 138
[21] Karen
Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung,
Mizan, 2011), hlm. 394
[22] Karen
Armstrong, Masa Depan Tuhan, (Bandung,
Mizan, 2011), hlm. 395
[23] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 166
[24] Jurnal
Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133, 124
[25] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 159
[26] Andi Muawiyah
Ramli, Peta Pmikiran Karl Marx,(yogyakarta,
LkiS, 2009), hlm. 158
[27] Ahmad Syafii
Maarif, Islam Dalam Bingkei Keindonesiaan
Dan Kemanusiaan, (Bandung, Mizan, 2009), hlm. 107
[28] Op.cit hlm.
131
[29] Ibid hlm. 131
[30] Jurnal
Universitas Paramadina, Vol. 1 No. 2, Januari 2002: 116-133
[31] Samuel P.
Huntington, Benturan Antar Peradaban, (Jakarta,
QALAM, 2009), hlm. 244
[32] Ibid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar