HERMENUTIKA AL-QUR’AN
Pendahuluan
Masalah tentang hermneutik dikalangan
cendikiawan-cendikiawan sudah tidak asing lagi bahkan sering didiskusikan di
berbagai forum, dan menjadi sebuah
wacana di dalam beberapa majalah islam seperti Islamia, Sabili dan lain
sebagainya. Adapun tokoh yang membahas tentang hermeneutik tidak cukup sedikit
baik dari Barat, timur bahkan Indonesia.
Seperti, , Moehammad Arkoen[1], Amina Waddud[2], Fadzlur Rahman[3], Richard Palmer[4], Schleimer[5], Nasr Hamid Abu Zaid[6] dan M. Amin Abdullah.[7]
Tetapi mungkin sebagian dari umat islam tidak mengetahui
tentang masalah hermenutik yang sedang muncul dimasyarakat, bahkan mungkin
sebagian dari kita. Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pemikiran menerima atau menolak Hermeneutika, kita
perlu mengkaji, menelaah dan mempelajarinya supaya tidak ada kesalahan dalam
menyikapi hermeneutika tersebut.
Pengertian
Secara epistimologis Hermeneutik
berasal dari kata kerja dalam bahasa yunani Hermeneuein yang berarti
menafsirkan.[8]
Lahirnya istilah Hermeneutik tidak lepas dari tokoh mitologis yunani kuno yang
bernama Hermes yang ditugaskan menerjemahkan pesan-pesan dari dewa digunung
Olympus kedalam bahasa manusia. Berdasarkan tugas Hermes itu maka Hermeneutik
mengandung pengertian "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan
menjadi mengerti".[9]
Berangkat dari pemahaman tersebut maka tampak
kepada kita bahwa Hermeneutik adalah pembahasa tentang kaidah (teori)
atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan)
agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikannya kepada
audien sesuai tingkat dan daya serap mereka.[10] Menurut Rudi al Hana
Hermeneutika adalah disiplin ilmu filsafat yang berupaya menjelaskan,
mengungkap, memahami dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dan
pengejawantahan dari suatu teks wacana dan realitas sehingga sampai pada isi,
maksud dan makna sebenarnya.[11]
Dalam perkembangannya, hermeneutika tak lagi
dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan filsafat. Para teolog
Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks Bible
Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible tersebut. Para teolog dari
kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah Bible itu kalam Tuhan atau
kalam manusia? Ini karena banyaknya versi Bible dengan pengarang yang berbeda.[12]
Hermeneutika, Tafsir dan Takwil
Untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan
Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir serta Takwil terlebih dahulu kita perlu
mempelajari pengertian Ilmu Tafsir dan Takwil itu sendiri. Menurut Dr. Mahmud
Ayub Tafsir adalah penjelasan umum sebuah ayat dengan untuk menemukan makna
luarnya serta penerapannya. [13] sedangkan menurut Prof.
Dr. Nashruddin Baidan, Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang
ayat-ayat al-Qur'an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya. Sedang
Ilmu Tafsir menurutnya adalah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan
dengan penafsiran al-Qur'an,mulai dari sejarah turunnya al-Qur'an, sebab-sebab
turunnya, qira'at, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk
penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dan sebagainya.[14] Sedangkan pengertian dari
Takwil itu sendiri terdapat tiga pengertian antara lain:
1. Takwil berarti menjelaskan makna harfiah teks.
2. Takwil berarti mengiterpretasikan tentang
sesuatu.
3. Takwil berarti terbuktinya sesuatu yang kabur
menjadi jelas.[15]
Menurut Abdul Muqsith Ghozali membagi Tafsir
menjadi tiga model penafsiran :
1. Tafsir tekstual skriptual
2. Tafsir kontekstual historis
3. Tafsir tranfomatif [16]
Tafsir Tekstual Skriptual
Yang dimaksud yang memandang teks sebagai
kebenaran itu sendiri. Tafsir ini merupakan tafsir yang digunakan oleh para
'ulama dulu hingga sekarang.
Tafsir Kontekstual Historis
Menurut Arkoun dan Nasr Hamid al-Qur'an secara
kultural adalah terkonstruk secara kultural dan terstruktur secara historis artinya
disamping memproduk budaya, al-Quran juga produk budaya.
Contoh :
a. tentang isra' mi'rajnya nabi, menurut Nasr
Hamid masjid Aqso disitu tak lain adalah masjid nabawi di madinah.
b. Sujudnya malaikat pada nabi Adam, dia
mengatakan bahwa malaikat sebagai duta sitem dan pengontrol sunnah alam,
menyimbolkan sujudnya alam pada manusia.
c. Hukum cambuk bagi pezina, dia mengatakan bahwa
ini berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang tertangkap basah dan perbuatan
itu sudah menjadi kebiasaan dan watak mereka.
Tafsir Tranformatif
Yang dimaksud Tafsir Tranformatif ialah tafsir
yang memandang perubahan sebagai sarana untuk kebaikan kualitatif yang berujung
pada kebaikan akhlak.
Contoh :
Masdar Farid melakukan tafsir trnformatif
dalam hal zakat dan pajak. Zakat adalah konsep pajak dalam islam. Tidak ada
pemisahan antara zakat dan pajak. Pada zaman rosul umat islam umat islam hanya
mengenal satu bentuk pembayaran harta (wajib) yakni zakat. Sayangnya umat islam telah
memisahkan kedua konsep itu sehingga timbul dalam diri umat islam yang
mengeluarkan pajak seolah membayar untuk kepentingan dunia tidak mendapat
pahala ukhrowi. Untuk itu Masdar menyarankan agar setiap membaya pajak diniati
dalam hati untuk berzakat.
Hermeneutik mempunyai tujuan yang sangat luhur yaitu menjelaskan kepada
umat suatu ajaran sejelas-jelasnya dan sejujur-jujurnya dalam bahasa yang
dimengerti oleh umat itu sendiri. Dari itu seorang Hermeneut (pengikut
Hermeneutik) harus memahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan
disampaikan nya kepada umat.[17]
Cara
Kerja (Operasional) dalam Memahami Teks
Hermeneutika dalam perkembangan
bermacam-macam : sebuah pergesaran paradigma (Shifting Paradigm) dalam memahami
makna yang terkandung dalam teks. Maka kami akan menjelaskan bagaiman cara kerja (Operasional) dalam
memahami teks yang telah dikutip dari sebuah artikel tentang “ Telaah
Hermenutik”.
Hermeneutika
Romantatik[18]
Friedrich
Daniel Ernst Schleiermacher
L : Breslau, 21 November 1768
W : Berlin, 12 Februari 1834
Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah
1: interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi
gramatikal, pembaca menafsirkan teks dengan aturan dan struktur gramatikal
dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu diproduksi. Maka
penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari
kata-kata tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang
merupakan proyeksi ke dalam proses kreatif dan subyektivitas pengarang[19]. langkah 2: interpretasi
psikologis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang
ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya Hermeneutika
bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang[20]. (bagaimana
dengan al-Qur’an? Ya, karena ia memperlakukan teks suci sebagaimana teks
umumnya).
Hermeneutika
Historis
Wilhem
Dilthey
L : Wisbaden, 19 November 1833.
W : Seis Bei Bozen, 1 Oktober 1911.
Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah”
(memunculkan makna-makna dari peristiwa yang melahirkan teks[21]). Bisa dikatakan, Dilthey
adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya,
Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika abad ke-20[22]. koreksi utamanya
terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi Schleiermacher
bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam
pikiran pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak
membertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang[23]. Dilthey juga
berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam
teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan. Yang
dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi
dan objektivikasi mental yaitu produk budaya [24]. Dithey berpendapat bahwa
teks disini bukan teks dalam arti tertulis tapi teks dalam konteks realitas,
(Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya dibutuhak pendekatan yang
berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan sosial.
Hermeneutika
Fenomenologis Dasein
L : Mebkirch, 26 September 1889.
W : Freiburg, 26 Mei 1976.
Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi
Heidegger, hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam
kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak
lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi oleh
tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being
tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri
(dasein[26]) melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari
keberadaan manusia[27]. Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger
menekankan pemahaman tentang kehidupan", situasi pengarang, dan
audiensnya.
Hermeneutika Dialogis
Hans-Georg Gadamer[28]
L : Marburg,
11 Februari 1900
W :
Heidelberg, 13 Maret 2002
Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer
(1900-1998). Hermeneutika, menurutnya, adalah interpretasi teks sesuai dengan
konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang disebutnya sebagai effective
historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif[29]) yang
memuat kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau
ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap
dan memahami teks itu, dan masa akan datang yang harus menangkap nuansa baru
yang produktif dari makna teks.
Hermeneutika Kritis
Jurgen Habermas
L :
Dusseldorf, 18 Juni 1929.
Hermeneutika kritis. Jenis
hermeneutika ini lahir dari aliran kritis dalam filsafat (aliran Frankfurt)
yang, antara lain, ditandai dengan Jürgen Habermas (1929) dengan “kritik
ideologinya”. Berbeda dengan Gadamer, Habermas melihat bahwa interpretasi
seharusnya steril dari kepentingan ideologis, termasuk pra-paham interpreter,
yang sering dipengaruhi oleh kepentingan sosial (social interest) dan
ditopang oleh kekuatan komunikasi[30].
Hermenutika Habermas kemudian menjadi “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics
of suspicion),dalam artian hermeneutika Habermas tidak banyak berbicara
tentang bagaimana teks harus diinterpretaskan, kecuali lebih cenderung kepada
kritik terhadap ideologi (kepentingan) di balik penafsiran-penafsiran yang
sudah ada[31].
Hermeneutika
Otonom
Emilio
Betti
L : 1890
W : 1968
Emilio Betti (1890-1968) dengan “hermeneutika legal (hukum)”. Ia
juga termasuk aliran objektif. Menurutnya, makna asli sesungguhnya terletak
pada akal pengarang. Maksudnya, interpretasi teks dengan merujuk kepada si
pengarang, pengarang itu berkuasa atas teks yang dibuatnya. Merujuk kepada
pengarang berarti menemukan makna teks yang sesungguhnya. Akan tetapi
hermeneutika Betti menjadi utopis, ketika si pengarang sudah mati, maka
kematian pengarang berarti kematian teks dan tidak dapat ditemukannya makna di
dalam teks.
Hermeneutika fenomenologis strukturalis
Paul Ricoeur
Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan
antara metode “pemahaman” (verstehen) dan “penjelasan” (erkleren)[32] yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi,
bukan hanya melalui teks yang berbicara, makna teks juga
bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian membedakan antara
interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue).
Teks perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang
menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan
referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan
Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif
sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin.
Makna tidak diambil hanya menurut pandangan
hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup
pembacanya[33].Ide
Ricoeur ini dikritik, karena teks yang tentu berbeda dari percakapan yang
terlepas dari kondisi awal, maka mengidentifikasi kehidupan pengarang tidak
mungkin, audiensinya juga tidak dapat dideteksi. Begitu juga bagaimana memahami
pandangan hidup (world -view) pengarang jika teks yang ingin
diinterpretasikan adalah kitab suci. Padahal, memahami aspek pandangan hidup
pengarang dan pembaca menjadi penting dalam hermeneutika Ricoeur. Alhasil,
berbeda dengan tafsîr yang tumbuh sebagai disiplin keilmuan Islam yang sejak
awal diabdikan untuk memahami teks al-Qur’an sebagai kitab suci, hermeneutika
mengalami perkembangan yang luas terapannya, sehingga ketika diterapkan ke
dalam pemahaman teks kitab suci, apalagi al-Qur’an yang berbeda dengan
kitab-kitab suci lain, seperti dalam hal i’jâz lughawînya yang tidak
dimiliki oleh kitab suci lain, berbagai kendala banyak ditemukan.
Persamaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
Dalam hermeneutika selalu
diusulkan pemahaman teks yang bertolak dari keterkaitan antara unsur triadik
(tiga pihak): teks, pembaca atau penafsir, dan audiens (masyarakat). Jika
diilustrasikan, hubungan triadik tersebut adalah begini:
|
Teks (nash)
|
|
Pembaca
|
|
Audiens
|
Ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama
dalam teori Hermeneutik itu tidak jauh beda dari yang dipakai para 'ulama
tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an Ibnu Taimiyah misalnya menyatakan dalam
setiap proses penafsirannya harus memperhatikan tiga hal berikut:
1. Siapa yang menyabdakannya.
2. kepada ayat itu diturunkan.
3. ayat itu ditujukan kepada siapa.[34]
Ilmu Tafsir juga mempunyai tujuan yang sama
dengan Hermeneutik yakni ingin menjelaskan suatu teks sejujurnya dan seobjektif
mungkin[35]. Karena itulah Rosulullah
mengancam kepada para sahabat dan generasi yang akan datang kemudian jika
berani menafsirkan al-Qur'an dengan secara serampangan berdasarkan pemikiran
semata (hawa nafsu).
Perbedaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
Sebelum membahas perbedaan Hermeneutika dengan
ilmu tafsir, kita perlu memgetahui ilmu tafsir itu sendiri. Tafsir adalah keterangan
atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an sehingga lebih jelas maknanya.
Sedangkan Ilmu Tafsir ialah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan
dengan penafsiran al-Qur'an mulai dari sejarah turunnya al-Qur'an, sebab-sebab
turunnya al-Qur'an, qiraat, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir,
bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dsb.
Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq)
dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi
mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan). Hermeneias dimaknakan
oleh Aristotle dalam karyanya, Kategoriai, bermakna pembahasan tentang peran
ungkapan dalam memahami pemikiran, juga tentang satuan-satuan bahasa seperti kata
benda, kata kerja, kalimat, ungkapan (proposition) dan lain-lain yang berkaitan
dengan tata bahasa. Jadi semula, Hermeneutika hanyalah membahas mengenai makna bahasa semata. Kemudian Hermeneutika berubah dari makna
bahasa ke makna teologi Yunani, kemudian teologi Yahudi dan Kristen, kemudian
kini ke makna istilah filsafat.[36]
The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah
studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the
general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran
dan nilai-nilai dalam Bible. [37].
Kemudian Dr Ugi Suharto
menandaskan: Di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajaran
Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qoth’iy
al-tsubut al-wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’iy
al-dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lum min al-din bi
al-dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai al-Qur’an, dan ada yang difahami
sebagai Al-Qur’an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu
dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin
bahwasanya itu adalah ajaran Al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila
filsafat hermeneutika digunakan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat akan
menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi
mutaghoyyarot, yang qoth’iy menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang
ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin menjadi
dhonn bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak
membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.[38]
hermeneutika itu berbeda dengan tafsir ataupun
takwil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an,
baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan
berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang dhahir dari al-Qur’an dan
menganggapnya sebagai problematic. Di antara kesan hermeneutika teologis ini
adalah adanya keragu-raguan terhadap mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh
seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi’ah, sebagai “tekstus
recheptus” (teks yang telah disepakati).[39]
Hermeneutik itu ketika masuk ke Yahudi dan
Kristen untuk menafsirkan Bible menimbulkan kekacauan. Hasil dari kekacauan yang ditimbulkan
hermeneutik adalah kemenangan tradisi Barat yang sekuler dan mau lepas dari agama. Kemenangan tradisi Barat itu membawa hermeneutic menjadi falsafi, dan
muncul berbagai corak hermeneutik falsafi.
Buku Fiqih Lintas Agama oleh Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid dengan
dana dari The Asia Foundation, 2003. Isinya mengatasnamakan hukum Islam, namun
menentang ayat-ayat terutama ayat yang menegaskan hanya Islamlah agama di sisi
Allah, larangan menikah dengan musyrikin/musyrikat dan kafirin, serta larangan
waris mewarisi antara muslim dan kafir. Semuanya itu ditolak. Bahkan lebih gila
lagi, buku Draf Kompilasi Hukum Islam yang disusun Tim Gender Departemen Agama
pimpinan Dr Musdah Mulia (wanita) itu menentang hukum-hukum Islam, di antaranya
lelaki pun dikenai iddah 130 hari, poligami dilarang, tapi nikah mut’ah boleh,
waris lelaki dan perempuan sama, dan mahar juga dibayar oleh wanita, sedang hak
talak juga dipegang wanita pula.
Padahal Nabi Muhammad saw telah marah kepada
Umar bin Khatthab ra ketika membawa selembar kertas berisi Taurat, dan Nabi saw
menegaskan bahwa wahyu yang beliau bawa lebih suci, bahkan seandainya Musa as
masih hidup pun tidak ada kelonggaran lagi kecuali mengikuti Nabi Muhammad saw.
Itu saja tentang wahyu (Taurat), bukan sekadar metodenya untuk memahami teksnya
yang mereka sebut hermeneutik yang diambil dari nama dewa Yunani, Hermes, dalam
kepercayaan kemusyrikan.
Dalam kasus orang-orang liberal mengambil
hermeneutika untuk diadopsi sebagai metode tafsir teks ayat dalam Islam ini
benar-benar meniru orang-orang di luar Islam. Pertama hermeneutika itu sendiri
dari Yunani lalu dimasukkan dalam mitologi Yunani, kemudian diadopsi ke Kristen
dengan teologi Kristen, lalu diadopsi Barat dengan filsafat Barat menjadi
hermeneutika falsafi.
Di Kristen, dengan pakai metode hermeneutika
itu maka telah terjadi kekacauan yaitu pecahnya orang Kristen jadi dua: Kristen
dan Katolik. Kristen memakai hermeneutika literal (hakiki/ makna harfiyah
sebenarnya) berhadapan dengan Katolik yang cenderung pakai hermeneutic alegoris
alias majazi/ kiasan. Lalu dua-duanya, Kristen dan katolik itupun dilibas oleh
Barat yang pada dasarnya sekuler (laa diini) dan mau melepaskan diri dari
agama. Pelibasan Barat terhadap Kristen dan Katolik itupun pakai hermeneutic
yaitu hermeneutic falsafi model Barat yang sebenarnya anti agama itu.
Barat yang menjadikan hawa nafsu dan otaknya
sebagai tuhannya itu mereka berkendaraan teori antrophosentrisme, yaitu manusia
inilah yang jadi pusat pertimbangan. Ketika diaduk dengan humanisme, lalu
dimunculkan secara internasional dengan istilah apa yang mereka sebut HAM
(hak-hak asasi manusia). Dalam berkendaraan politik maka mereka memakai apa
yang mereka sebut demokrasi.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki,
dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?[40]
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia
mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan
orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan
mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.[41]
Daftar Pustaka
Al-Hana, Rudi, , Qualita
Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keialaman, lembaga penelitan IAIN Sunan
Ampel, Semarang, vol.3, April 2006.
Armas,Adnin, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani,
2005)
Ayub ,Mahmud, Qur'an dan Penafsirannya, Pustaka
Firdaus, Jakarta, 1992
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir,
Pustaka Pelajar, Jakarta, cet.1, th.2005.
BEMF Ushuluddin Sunan Ampel, Fazlur Rahman dan
Al-Qur’an tantangan modernitas (Artikel), Surabaya, 2005, hal.
E Palmer, Rihcard, Hermeneutics Interpretation Theory
in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western
University Pres, 1969.
Ensiklopedia
Dunia Islam (pemikiran dan peradaban), PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Islamia,
vol 1, 2004.
Jaiz, Hartono Ahmad, Ada
Pemurtadan di IAIN, Pustaka al-Kautsar, Jakarta (www.geocities.com).
King, Richard, Agama, Orientalisme dam
Poskolonialisme, Yogyakarta, Qalam 2001.
Mustafa,Telaah Hermenutik, Artikel dari internet.
Quaita
Ahsana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keislaman.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Hermenutik sebagai produk pandangan hidup (Artikel dari internet).
[1]Mengenai wahyu, Arkoun
membaginya dalam dua peringkat. Peringkat pertama adalah apa yang disebut
Al-Qur'an sebagai Umm al-Kitab (Induk
Kitab) (Al-Qur'an, 13:39; 43:4). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk
Bible, Gospel, dan Al-Qur'an. Umm al-Kitab
adalah Kitab Langit, wahyu yang sempurna, dari mana Bibel dan Al-Qur'an
berasal. Pada peringkat pertama ( Umm al-Kitab),
wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran tertinggi.
Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena
bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama
dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk
pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan
"edisi dunia" (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini,
wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi. Maka hermeneutik
sangatlah cocok dengan interpretasi al-Qur’an.(Adnin Armas, Metodologi Bible
dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005)
[2] Aminna Waddud terkenal dengan hermenytik feminisnya yang
menjunjung tinggi perempuan dan ingin menyamakan posisi perempuan dengan
laki-laki dalam segala bidang.
[3] Rahman dalam karya /magnum opus/nya, /Islam/, bahwa
Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian
biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Oleh karena itu ia menganggap
hermeneutik sangat baik dalam ineterpretasi untuk mencari kebenaran
sebenar-benarnya.(BEMF Ushuluddin Sunan Ampel, Fazlur Rahman dan Al-Qur’an
tantangan modernitas (Artikel), Surabaya, 2005, hal, 3).
[4] Richard Palmer mengemukakan enam cara untuk memahami
hermeneutik yaitu 1. Sebagai teori penafsiran bibilikal, 2. Sebagai metodologi
umum untuk untuk analisis semua teks secara filosofis. 3. Sebagai sains
memahami linguistik. 4. Sebagai fondasi metodologis beisteswisseushaster, yakni
sains-sains kemanusiaan dan sosial. 5. Sebagai fenomenologi eksistensi dan
analisis eksistensial dan 6. Sebagai sistem penafsiran yang digunakan
olehmanusia unutk memperoleh makna simbol dan mitos.(Richard King, Agama,
Orientalisme dam Poskolonialisme, Yogyakarta, Qalam 2001, hal 157).
[5] Schleiermacher (1768-1834), seorang pendeta.
Dalam kajian hermeneutika, ia mengatakan teks kitab suci tetap dianggap sebagai teks
manusiawi, sebagaimana teks linguistik Oleh karena itu, hermeutika sangat
mempersoalkan tentang pengarang (authorship) ketika berbicara tentang
teks. Sebagai konsekuensinya, "hermeneutika
tidak membedakan antara teks umum dengan teks suci (kitab suci, sacred text)",.(Telaah Hermenutik, Artikel dari internet).
[6] Nasr Hamid mengunakan metode analisis teks
bahasasastra (nahj tahlil al-nusus
al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji Al-Qur'an. Dalam
pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam. Nasr Hamid
menyatakan: "Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya
metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan
berarti memahami Islam. " (wa
lidhalika yakunu minhaj al-tahlil al-lughawi huwa al-minhaj al-wahid al-insani al-mumkin lifahm
alrisalah, wa lifahm al-islam min thamma). Metodologi kritik sastra (literary
criticism) yang diterapkan Nasr Hamid merupakan bagian dari
teori-teori hermeneutika. (Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani,
2005).
[7] M. Amin Abdullah berpendapat, hermeneutika adalah sebagai negosiating process (proses negosiasi,
tawar-menawar antara makna yang termakub dalam teks secara normatif dengan
situasi masyarakat secara riil), atau sering dikenal dengan fusion of horizon. Jadi, sejauh mana kepentingan umat bisa terpenuhi dengan tafsiran baru
menurut skema metodologis ini adalah sejauh mana pula si interpreter “membaca
kondisi masyarakat” dan “membaca teks kitab suci”. (Telaah Hermenutik, Artikel dari internet, hal 2)
[8] Rudi
al-Hana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keialaman, lembaga
penelitan IAIN Sunan Ampel, Semarang, vol.3, April 2006, h.82.
[12] Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN,
Pustaka al-Kautsar, Jakarta (www.geocities.com).
[14] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru
Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, h..67
[15] Ensiklopedia Dunia Islam (pemikiran dan
peradaban), PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
[16] Quaita Ahsana, Qualita Ahsana jurnal
penelitian ilmu-ilmu keislaman, h.92.
[17] Ibid, h.74.
[18] Karena
kecenderungan pemikirannya yang selalu melihat kemasa lampau. Lihat Mohammad
Muslih Filsafat Ilmu yogyakarta, Belukar, hal. 169
[19] Maulidi
Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan
Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.
[20] Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia,
Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram
1425/Maret 2004. hal. 25.
[21] Ini mirip dengan keinginan Fazlur Rahman bahwa ayat al-Qur’an
dipahami melalui kondisi-kondisi turunnya ayat (syu`ûn an-nuzûl) dan
tidak jauh berbeda dengan keharusan memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui asbâb
an-nuzûl, bahkan lebih akurat daripada memahami kondisi umum sejarah
sekitar lahirnya teks).
[22]
Maulidi. Ibid. hlm. 13.
[23] Hamid
Fahmy. Lo.cit. hlm. 25
[24]
Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 170
[25]
Diantara karya monumentalnya adalah : Being and Time. Was Tranlated by
John Macquarrie and Edward Robinson. New York. Harper and Row, 1962.
[26] Dasein
di definisikan Heidegger sebagai "sebuah entitas yang tidak
benar-benar terdapat di antara berbagai entitas yang lain. Ia lebih
diperbedakan secara ontikal oleh fakta bahwa, dalam Meng"ada"kannya
tersebut, meng"ada" itu adalah sebuah persoalan baginya… pemahaman
tentang mengada itu sendiri adalah sebuah karakteristik yang menentukan bagi
meng"ada"nya Dasein. Dasein secara ontikal sangatlah jelas
bahwa ia bersifat ontologis. Lihat : Martin Heidegger Being and Time hlm. 12.
[27]
Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 173.
[28] Untuk Memahami Lebih Jelas Pemikirannya Lihat: Gadamer,
Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975.
diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar
Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
[29] Hans-Georg
Gadamer,. Truth and Method hlm. 410
[30] Untuk
lebih Jelasnya Lihat. Malki Ahmad Nasir. Hermeneutika Kritis : Studi Kritis
atas Pemikiran Habermas. Dalam Islamia. Loc. Cit. hlm. 30.
[31]
Maulidin. Loc. Cit. hlm 28.
[32]Yang
dimaksud dengan metode “pemahaman” (Verstehen) adalah memahami fakta
atau teks sesuai dengan apa adanya tanpa dicampuri oleh persepsi penafsir.
Seorang penafsir hanya berbicara sesuai dengan bagaimana teks berbicara.
Sedangan, “penjelasan” (erkleren) diwarnai oleh persepsi penafsir, bukan
hanya bagaimana fakta atau teks itu berbicara apa adanya. Verstehen adalah metode fenomenologis,
sedangkan erkleren adalah metode strukturalis. Oleh karena itu,
hermeneutika Ricoeur disebut hermeneutika fenomenologis strukturalis.
[33] Paul
Ricour The Model of Text: Meaningful
Action Considered as Text Social Research 38, 1971, 529-62. dalam Hamid
Fahmy. Lock.Cit. hlm.27.
[36] Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutik sebagai produk pandangan hidup (Artikel dari internet),
hal, 1).
[37] Dikutip oleh Mustafa dalam telaah hermeneuti dari Rihcard E Palmer, Hermeneutics
Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston:
North-western University Press, 1969, hlm.4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar