Senin, 12 Desember 2011

Hermeneutika Al-Qur;an


HERMENUTIKA AL-QUR’AN

Pendahuluan

Masalah tentang hermneutik dikalangan cendikiawan-cendikiawan sudah tidak asing lagi bahkan sering didiskusikan di berbagai forum,  dan menjadi sebuah wacana di dalam beberapa majalah islam seperti Islamia, Sabili dan lain sebagainya. Adapun tokoh yang membahas tentang hermeneutik tidak cukup sedikit baik dari Barat, timur bahkan Indonesia.  Seperti, , Moehammad Arkoen[1], Amina Waddud[2], Fadzlur Rahman[3], Richard Palmer[4], Schleimer[5], Nasr Hamid Abu Zaid[6] dan M. Amin Abdullah.[7]

Tetapi mungkin sebagian dari umat islam tidak mengetahui tentang masalah hermenutik yang sedang muncul dimasyarakat, bahkan mungkin sebagian dari kita. Oleh karena itu, agar tidak terjebak dalam pemikiran menerima atau menolak Hermeneutika, kita perlu mengkaji, menelaah dan mempelajarinya supaya tidak ada kesalahan dalam menyikapi hermeneutika tersebut.

Pengertian
Secara epistimologis Hermeneutik berasal dari kata kerja dalam bahasa yunani Hermeneuein yang berarti menafsirkan.[8] Lahirnya istilah Hermeneutik tidak lepas dari tokoh mitologis yunani kuno yang bernama Hermes yang ditugaskan menerjemahkan pesan-pesan dari dewa digunung Olympus kedalam bahasa manusia. Berdasarkan tugas Hermes itu maka Hermeneutik mengandung pengertian "proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti".[9]
Berangkat dari pemahaman tersebut maka tampak kepada kita bahwa Hermeneutik adalah pembahasa tentang kaidah (teori) atau metode yang digunakan untuk memaknai atau menafsirkan suatu teks (pesan) agar didapatkan pemahaman yang benar, kemudian berusaha menyampaikannya kepada audien sesuai tingkat dan daya serap mereka.[10] Menurut Rudi al Hana Hermeneutika adalah disiplin ilmu filsafat yang berupaya menjelaskan, mengungkap, memahami dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dan pengejawantahan dari suatu teks wacana dan realitas sehingga sampai pada isi, maksud dan makna sebenarnya.[11] 
Dalam perkembangannya, hermeneutika tak lagi dipahami sekadar makna bahasa, tetapi makna bahasa dan filsafat. Para teolog Yahudi dan Kristen menggunakan hermeneutika untuk memahami teks-teks Bible Tujuannya, untuk mencari nilai kebenaran Bible tersebut. Para teolog dari kalangan Yahudi dan Kristen mempertanyakan, apakah Bible itu kalam Tuhan atau kalam manusia? Ini karena banyaknya versi Bible dengan pengarang yang berbeda.[12]

Hermeneutika, Tafsir dan Takwil
Untuk mengetahui persamaan maupun perbedaan Hermeneutika dengan Ilmu Tafsir serta Takwil terlebih dahulu kita perlu mempelajari pengertian Ilmu Tafsir dan Takwil itu sendiri. Menurut Dr. Mahmud Ayub Tafsir adalah penjelasan umum sebuah ayat dengan untuk menemukan makna luarnya serta penerapannya. [13] sedangkan menurut Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an atau kitab suci lain sehingga lebih jelas maksudnya. Sedang Ilmu Tafsir menurutnya adalah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur'an,mulai dari sejarah turunnya al-Qur'an, sebab-sebab turunnya, qira'at, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dan sebagainya.[14] Sedangkan pengertian dari Takwil itu sendiri terdapat tiga pengertian antara lain:
1.      Takwil berarti menjelaskan makna harfiah teks.
2.      Takwil berarti mengiterpretasikan tentang sesuatu.
3.      Takwil berarti terbuktinya sesuatu yang kabur menjadi jelas.[15]

Menurut Abdul Muqsith Ghozali membagi Tafsir menjadi tiga model penafsiran :
1.   Tafsir tekstual skriptual
2.   Tafsir kontekstual historis
3.   Tafsir tranfomatif [16]

Tafsir Tekstual Skriptual
Yang dimaksud yang memandang teks sebagai kebenaran itu sendiri. Tafsir ini merupakan tafsir yang digunakan oleh para 'ulama dulu hingga sekarang.

Tafsir Kontekstual Historis
Menurut Arkoun dan Nasr Hamid al-Qur'an secara kultural adalah terkonstruk secara kultural dan terstruktur secara historis artinya disamping memproduk budaya, al-Quran juga produk budaya.
                 Contoh :
a.    tentang isra' mi'rajnya nabi, menurut Nasr Hamid masjid Aqso disitu tak lain adalah masjid nabawi di madinah.
b.   Sujudnya malaikat pada nabi Adam, dia mengatakan bahwa malaikat sebagai duta sitem dan pengontrol sunnah alam, menyimbolkan sujudnya alam pada manusia.
c.    Hukum cambuk bagi pezina, dia mengatakan bahwa ini berlaku bagi laki-laki atau perempuan yang tertangkap basah dan perbuatan itu sudah menjadi kebiasaan dan watak mereka.

Tafsir Tranformatif
Yang dimaksud Tafsir Tranformatif ialah tafsir yang memandang perubahan sebagai sarana untuk kebaikan kualitatif yang berujung pada kebaikan akhlak.
Contoh :
Masdar Farid melakukan tafsir trnformatif dalam hal zakat dan pajak. Zakat adalah konsep pajak dalam islam. Tidak ada pemisahan antara zakat dan pajak. Pada zaman rosul umat islam umat islam hanya mengenal satu bentuk pembayaran harta (wajib) yakni zakat. Sayangnya umat islam telah memisahkan kedua konsep itu sehingga timbul dalam diri umat islam yang mengeluarkan pajak seolah membayar untuk kepentingan dunia tidak mendapat pahala ukhrowi. Untuk itu Masdar menyarankan agar setiap membaya pajak diniati dalam hati untuk berzakat.     Hermeneutik mempunyai tujuan yang sangat luhur yaitu menjelaskan kepada umat suatu ajaran sejelas-jelasnya dan sejujur-jujurnya dalam bahasa yang dimengerti oleh umat itu sendiri. Dari itu seorang Hermeneut (pengikut Hermeneutik) harus memahami secara mendalam dan utuh tentang teks yang akan disampaikan nya kepada umat.[17]

Cara Kerja (Operasional) dalam Memahami Teks
            Hermeneutika dalam perkembangan bermacam-macam : sebuah pergesaran paradigma (Shifting Paradigm) dalam memahami makna yang terkandung dalam teks. Maka kami akan menjelaskan bagaiman cara kerja (Operasional) dalam memahami teks yang telah dikutip dari sebuah artikel tentang “ Telaah Hermenutik”.

Hermeneutika Romantatik[18]
Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher
L         : Breslau, 21 November 1768
W        : Berlin, 12 Februari 1834
Schleiermacher (1768-1834) dengan “hermeneutika psiklogis” (langkah 1: interpretasi gramatikal dengan media kaedah bahasa, dalam re-konstruksi gramatikal, pembaca menafsirkan teks dengan aturan dan struktur gramatikal dan linguistik yang berlaku dalam konteks ketika teks itu diproduksi. Maka penafsiran gramatikal – yang mendekati teks dalam kerangka makna dari kata-kata tertentu, harus dilengkapi dengan penafsiran psikologis – yang merupakan proyeksi ke dalam proses kreatif dan subyektivitas pengarang[19]. langkah 2: interpretasi psikologis dengan merekonstruksi secara imajinatif suasana batin pengarang ketika menulis teks ini, intuitive understanding : artinya Hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi psikologi pengarang[20]. (bagaimana dengan al-Qur’an? Ya, karena ia memperlakukan teks suci sebagaimana teks umumnya).

Hermeneutika Historis
Wilhem Dilthey
L         : Wisbaden, 19 November 1833.
W        : Seis Bei Bozen, 1 Oktober 1911.

Wilhelm Dilthey (1833-1911) dengan “hermeneutika sejarah” (memunculkan makna-makna dari peristiwa yang melahirkan teks[21]). Bisa dikatakan, Dilthey adalah penghubung antara para hermeneut abad ke-19 (dengan dedengkot utamanya, Schleiermacher) dan membawa tradisi "baru" hermeneutika abad ke-20[22]. koreksi utamanya terhadap Schleiermacher adalah penolakan Dilthey terhadap asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey menganggap asumsi ini anti-Historis sebab ia tidak membertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang[23]. Dilthey juga berpandangan bahwa yang direproduksi bukanlah keadaan psikis tokoh-tokoh dalam teks dan dari teks melainkan bagaimana proses karya itu diciptakan. Yang dilakukan bukan empati terhadap pencipta teks, melainkan membuat rekonstruksi dan objektivikasi mental yaitu produk budaya [24]. Dithey berpendapat bahwa teks disini bukan teks dalam arti tertulis tapi teks dalam konteks realitas, (Alam dan Sosial). Dan dalam memahami keduanya dibutuhak pendekatan yang berbeda. Pendekatan Euklaren untuk Alam dan Verstehen untuk tatanan sosial.

Hermeneutika Fenomenologis Dasein
Martin Heidegger[25]
L         : Mebkirch, 26 September 1889.
W        : Freiburg, 26 Mei 1976.

Hermeneutika fenomenologis Martin Heidegger (1889-1976). Bagi Heidegger, hermeneutika berarti penafsiran terhadap esensi (being), yang dalam kenyataannya selalu tampil dalam eksistensi. Sehingga suatu kebenaran tidak lagi ditandai oleh kesesuaian antara konsep dan realita objektif, tetapi oleh tersingkapnya esensi tersebut. Dan satu-satunya wahana bagi penampakan being tersebut adalah eksistensi manusia. Maka hermeneutikan tidak lain dari pada penafsiran diri manusia itu sendiri (dasein[26]) melalui bahasa. Memahami dan menafsirkan adalah bentuk paling mendasar dari keberadaan manusia[27]. Lebih jelasnya, "jika Dilthey menekankan konteks kesejarahan, Heidegger menekankan pemahaman tentang kehidupan", situasi pengarang, dan audiensnya.

Hermeneutika Dialogis
Hans-Georg Gadamer[28]
L         : Marburg, 11 Februari 1900
W        : Heidelberg, 13 Maret 2002

Hermeneutika fenomenologis Hans-George Gadamer (1900-1998). Hermeneutika, menurutnya, adalah interpretasi teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter berada. Inilah yang disebutnya sebagai effective historical consciousness (kesadaran-sejarah yang efektif[29]) yang memuat kesadaran tiga kerangka waktu: masa lalu ketika teks dipublikasikan atau ketika ayat-ayat al-Qur’an diturunkan, masa sekarang ketika kita sekarang berhadap dan memahami teks itu, dan masa akan datang yang harus menangkap nuansa baru yang produktif dari makna teks.

Hermeneutika Kritis
Jurgen Habermas
L         : Dusseldorf, 18 Juni 1929.

Hermeneutika kritis. Jenis hermeneutika ini lahir dari aliran kritis dalam filsafat (aliran Frankfurt) yang, antara lain, ditandai dengan Jürgen Habermas (1929) dengan “kritik ideologinya”. Berbeda dengan Gadamer, Habermas melihat bahwa interpretasi seharusnya steril dari kepentingan ideologis, termasuk pra-paham interpreter, yang sering dipengaruhi oleh kepentingan sosial (social interest) dan ditopang oleh kekuatan komunikasi[30]. Hermenutika Habermas kemudian menjadi “hermeneutika kecurigaan” (hermeneutics of suspicion),dalam artian hermeneutika Habermas tidak banyak berbicara tentang bagaimana teks harus diinterpretaskan, kecuali lebih cenderung kepada kritik terhadap ideologi (kepentingan) di balik penafsiran-penafsiran yang sudah ada[31].

Hermeneutika Otonom
Emilio Betti
L         : 1890
W        : 1968

Emilio Betti (1890-1968) dengan “hermeneutika legal (hukum)”. Ia juga termasuk aliran objektif. Menurutnya, makna asli sesungguhnya terletak pada akal pengarang.  Maksudnya, interpretasi teks dengan merujuk kepada si pengarang, pengarang itu berkuasa atas teks yang dibuatnya. Merujuk kepada pengarang berarti menemukan makna teks yang sesungguhnya. Akan tetapi hermeneutika Betti menjadi utopis, ketika si pengarang sudah mati, maka kematian pengarang berarti kematian teks dan tidak dapat ditemukannya makna di dalam teks.

Hermeneutika fenomenologis strukturalis
Paul Ricoeur

Hermeneutika Ricoeur berupaya mengintegrasikan antara metode “pemahaman” (verstehen) dan “penjelasan” (erkleren)[32] yang dipertentangkan oleh Dilthey. Jadi, bukan hanya melalui teks yang berbicara, makna teks juga bisa dipahami oleh pemahaman struktural di luar teks. Ia kemudian membedakan antara interpretasi teks tertulis (discourse, diskursus) dan percakapan (dialogue). Teks perbeda dari percakapan karena ia terlepas dari kondisi asal yang menghsilkannya, niat penulisnya sudah kabur, audiennya lebih umum dan referensinya tidak dapat lagi dideteksi. Konsep yang utama dalam pandangan Ricour adalah bahwa begitu makna obyektif di ekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut pandangan  hidup pengarangnya, tapi juga menurut pengertian pandangan hidup pembacanya[33].Ide Ricoeur ini dikritik, karena teks yang tentu berbeda dari percakapan yang terlepas dari kondisi awal, maka mengidentifikasi kehidupan pengarang tidak mungkin, audiensinya juga tidak dapat dideteksi. Begitu juga bagaimana memahami pandangan hidup (world -view) pengarang jika teks yang ingin diinterpretasikan adalah kitab suci. Padahal, memahami aspek pandangan hidup pengarang dan pembaca menjadi penting dalam hermeneutika Ricoeur. Alhasil, berbeda dengan tafsîr yang tumbuh sebagai disiplin keilmuan Islam yang sejak awal diabdikan untuk memahami teks al-Qur’an sebagai kitab suci, hermeneutika mengalami perkembangan yang luas terapannya, sehingga ketika diterapkan ke dalam pemahaman teks kitab suci, apalagi al-Qur’an yang berbeda dengan kitab-kitab suci lain, seperti dalam hal i’jâz lughawînya yang tidak dimiliki oleh kitab suci lain, berbagai kendala banyak ditemukan.


Persamaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
Dalam hermeneutika selalu diusulkan pemahaman teks yang bertolak dari keterkaitan antara unsur triadik (tiga pihak): teks, pembaca atau penafsir, dan audiens (masyarakat). Jika diilustrasikan, hubungan triadik tersebut adalah begini:


                     Teks (nash)                   









          Pembaca








Audiens

Ketiga unsur pokok yang menjadi pilar utama dalam teori Hermeneutik itu tidak jauh beda dari yang dipakai para 'ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur'an Ibnu Taimiyah misalnya menyatakan dalam setiap proses penafsirannya harus memperhatikan tiga hal berikut:
1.   Siapa yang menyabdakannya.
2.   kepada ayat itu diturunkan.
3.   ayat itu ditujukan kepada siapa.[34]

Ilmu Tafsir juga mempunyai tujuan yang sama dengan Hermeneutik yakni ingin menjelaskan suatu teks sejujurnya dan seobjektif mungkin[35]. Karena itulah Rosulullah mengancam kepada para sahabat dan generasi yang akan datang kemudian jika berani menafsirkan al-Qur'an dengan secara serampangan berdasarkan pemikiran semata (hawa nafsu).

Perbedaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir
Sebelum membahas perbedaan Hermeneutika dengan ilmu tafsir, kita perlu memgetahui ilmu tafsir itu sendiri. Tafsir adalah keterangan atau penjelasan tentang ayat-ayat al-Qur'an sehingga lebih jelas maknanya. Sedangkan Ilmu Tafsir ialah ilmu yang membahas semua aspek yang berhubungan dengan penafsiran al-Qur'an mulai dari sejarah turunnya al-Qur'an, sebab-sebab turunnya al-Qur'an, qiraat, kaidah-kaidah tafsir, syarat-syarat mufassir, bentuk penafsiran, metodologi tafsir, corak penafsiran, dsb.   
Lafal Hermeneutika adalah derivasi (musytaq) dari Bahasa Yunani dari akar kata hermeneuin, artinya menafsirkan. Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-ibaroh (ungkapan). Hermeneias dimaknakan oleh Aristotle dalam karyanya, Kategoriai, bermakna pembahasan tentang peran ungkapan dalam memahami pemikiran, juga tentang satuan-satuan bahasa seperti kata benda, kata kerja, kalimat, ungkapan (proposition) dan lain-lain yang berkaitan dengan tata bahasa. Jadi semula, Hermeneutika hanyalah membahas mengenai makna bahasa semata. Kemudian Hermeneutika berubah dari makna bahasa ke makna teologi Yunani, kemudian teologi Yahudi dan Kristen, kemudian kini ke makna istilah filsafat.[36]
The New Encyclopedia Britanica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. [37].
Kemudian Dr Ugi Suharto menandaskan: Di dalam Al-Qur’an ada ayat-ayat yang muhkamat, ada ushul ajaran Islam, ada hal-hal yang bersifat tsawabit, semua ayat-ayatnya adalah qoth’iy al-tsubut al-wurud. Dan bagian-bagiannya ada yang menunjukkan qoth’iy al-dilalah ada perkara-perkara yang termasuk dalam al-ma’lum min al-din bi al-dhoruroh. Ada sesuatu yang ijma’ mengenai al-Qur’an, dan ada yang difahami sebagai Al-Qur’an yang disampaikan dengan jalan mutawatir, yang semuanya itu dapat difahami dan dimengerti oleh kaum Muslimin dengan derajat yakin bahwasanya itu adalah ajaran Al-Qur’an yang dikehendaki oleh Allah. Apabila filsafat hermeneutika digunakan kepada Al-Qur’an, maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaghoyyarot, yang qoth’iy menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad, dan yang yaqin menjadi dhonn bahkan syakk. Alasannya sederhana saja, yaitu filsafat hermeneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal-hal yang axiomatic di atas.[38]
hermeneutika itu berbeda dengan tafsir ataupun takwil dalam tradisi Islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian al-Qur’an, baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis, hermeneutika akan berakhir dengan mempersoalkan ayat-ayat yang dhahir dari al-Qur’an dan menganggapnya sebagai problematic. Di antara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu-raguan terhadap mushaf Utsmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, baik oleh Muslim Sunni ataupun Syi’ah, sebagai “tekstus recheptus” (teks yang telah disepakati).[39]
Hermeneutik itu ketika masuk ke Yahudi dan Kristen untuk menafsirkan Bible menimbulkan kekacauan. Hasil dari kekacauan yang ditimbulkan hermeneutik adalah kemenangan tradisi Barat yang sekuler dan mau lepas dari agama. Kemenangan tradisi Barat itu membawa hermeneutic menjadi falsafi, dan muncul berbagai corak hermeneutik falsafi.
Buku Fiqih Lintas Agama oleh Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid dengan dana dari The Asia Foundation, 2003. Isinya mengatasnamakan hukum Islam, namun menentang ayat-ayat terutama ayat yang menegaskan hanya Islamlah agama di sisi Allah, larangan menikah dengan musyrikin/musyrikat dan kafirin, serta larangan waris mewarisi antara muslim dan kafir. Semuanya itu ditolak. Bahkan lebih gila lagi, buku Draf Kompilasi Hukum Islam yang disusun Tim Gender Departemen Agama pimpinan Dr Musdah Mulia (wanita) itu menentang hukum-hukum Islam, di antaranya lelaki pun dikenai iddah 130 hari, poligami dilarang, tapi nikah mut’ah boleh, waris lelaki dan perempuan sama, dan mahar juga dibayar oleh wanita, sedang hak talak juga dipegang wanita pula.
Padahal Nabi Muhammad saw telah marah kepada Umar bin Khatthab ra ketika membawa selembar kertas berisi Taurat, dan Nabi saw menegaskan bahwa wahyu yang beliau bawa lebih suci, bahkan seandainya Musa as masih hidup pun tidak ada kelonggaran lagi kecuali mengikuti Nabi Muhammad saw. Itu saja tentang wahyu (Taurat), bukan sekadar metodenya untuk memahami teksnya yang mereka sebut hermeneutik yang diambil dari nama dewa Yunani, Hermes, dalam kepercayaan kemusyrikan.
Dalam kasus orang-orang liberal mengambil hermeneutika untuk diadopsi sebagai metode tafsir teks ayat dalam Islam ini benar-benar meniru orang-orang di luar Islam. Pertama hermeneutika itu sendiri dari Yunani lalu dimasukkan dalam mitologi Yunani, kemudian diadopsi ke Kristen dengan teologi Kristen, lalu diadopsi Barat dengan filsafat Barat menjadi hermeneutika falsafi.
Di Kristen, dengan pakai metode hermeneutika itu maka telah terjadi kekacauan yaitu pecahnya orang Kristen jadi dua: Kristen dan Katolik. Kristen memakai hermeneutika literal (hakiki/ makna harfiyah sebenarnya) berhadapan dengan Katolik yang cenderung pakai hermeneutic alegoris alias majazi/ kiasan. Lalu dua-duanya, Kristen dan katolik itupun dilibas oleh Barat yang pada dasarnya sekuler (laa diini) dan mau melepaskan diri dari agama. Pelibasan Barat terhadap Kristen dan Katolik itupun pakai hermeneutic yaitu hermeneutic falsafi model Barat yang sebenarnya anti agama itu.
Barat yang menjadikan hawa nafsu dan otaknya sebagai tuhannya itu mereka berkendaraan teori antrophosentrisme, yaitu manusia inilah yang jadi pusat pertimbangan. Ketika diaduk dengan humanisme, lalu dimunculkan secara internasional dengan istilah apa yang mereka sebut HAM (hak-hak asasi manusia). Dalam berkendaraan politik maka mereka memakai apa yang mereka sebut demokrasi.
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?[40]
Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.[41]

Daftar Pustaka                                                                     


Al-Hana, Rudi, , Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keialaman, lembaga penelitan IAIN Sunan Ampel, Semarang, vol.3, April 2006. 
Armas,Adnin, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005)
Ayub ,Mahmud, Qur'an dan Penafsirannya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Jakarta, cet.1, th.2005.   
BEMF Ushuluddin Sunan Ampel, Fazlur Rahman dan Al-Qur’an tantangan modernitas (Artikel), Surabaya, 2005, hal.
E Palmer, Rihcard, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Pres, 1969.
Ensiklopedia Dunia Islam (pemikiran dan peradaban), PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
Islamia, vol 1, 2004.
Jaiz, Hartono Ahmad, Ada Pemurtadan di IAIN, Pustaka al-Kautsar, Jakarta (www.geocities.com).
King, Richard, Agama, Orientalisme dam Poskolonialisme, Yogyakarta, Qalam 2001.
Mustafa,Telaah Hermenutik, Artikel dari internet.
Quaita Ahsana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keislaman.
Zarkasyi, Hamid Fahmi, Hermenutik sebagai produk  pandangan hidup (Artikel dari internet).


[1]Mengenai wahyu, Arkoun membaginya dalam dua pering­kat. Peringkat pertama adalah apa yang disebut Al-Qur'an se­bagai Umm al-Kitab (Induk Kitab) (Al-Qur'an, 13:39; 43:4). Peringkat kedua adalah berbagai kitab termasuk Bible, Gos­pel, dan Al-Qur'an. Umm al-Kitab adalah Kitab Langit, wah­yu yang sempurna, dari mana Bibel dan Al-Qur'an berasal. Pada peringkat pertama ( Umm al-Kitab), wahyu bersifat abadi, tidak terikat waktu, serta mengandung kebenaran ter­tinggi. Namun, menurut Arkoun, kebenaran absolut ini di luar jangkauan manusia, karena bentuk wahyu yang seperti itu diamankan dalam Lawh Mahfuz (Preserved Tablet) dan tetap berada bersama dengan Tuhan sendiri. Wahyu hanya dapat diketahui oleh manusia melalui bentuk pada peringkat kedua. Peringkat kedua ini, dalam istilah Arkoun dinamakan "edisi dunia" (editions terrestres). Menurutnya, pada peringkat ini, wahyu telah mengalami modifikasi, revisi, dan substitusi. Maka hermeneutik sangatlah cocok dengan interpretasi al-Qur’an.(Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005)
[2] Aminna Waddud terkenal dengan hermenytik feminisnya yang menjunjung tinggi perempuan dan ingin menyamakan posisi perempuan dengan laki-laki dalam segala bidang.
[3] Rahman dalam karya /magnum opus/nya, /Islam/, bahwa Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah kalam Allah dan dalam pengertian biasa, juga seluruhnya adalah perkataan Muhammad. Oleh karena itu ia menganggap hermeneutik sangat baik dalam ineterpretasi untuk mencari kebenaran sebenar-benarnya.(BEMF Ushuluddin Sunan Ampel, Fazlur Rahman dan Al-Qur’an tantangan modernitas (Artikel), Surabaya, 2005, hal, 3).
[4] Richard Palmer mengemukakan enam cara untuk memahami hermeneutik yaitu 1. Sebagai teori penafsiran bibilikal, 2. Sebagai metodologi umum untuk untuk analisis semua teks secara filosofis. 3. Sebagai sains memahami linguistik. 4. Sebagai fondasi metodologis beisteswisseushaster, yakni sains-sains kemanusiaan dan sosial. 5. Sebagai fenomenologi eksistensi dan analisis eksistensial dan 6. Sebagai sistem penafsiran yang digunakan olehmanusia unutk memperoleh makna simbol dan mitos.(Richard King, Agama, Orientalisme dam Poskolonialisme, Yogyakarta, Qalam 2001, hal 157).
[5] Schleiermacher (1768-1834), seorang pendeta. Dalam kajian hermeneutika, ia mengatakan teks kitab suci tetap dianggap sebagai teks manusiawi, sebagaimana teks linguistik Oleh karena itu, hermeutika sangat mempersoalkan tentang pengarang (authorship) ketika berbicara tentang teks. Sebagai konsekuensinya, "hermeneutika tidak membedakan antara teks umum dengan teks suci (kitab suci, sacred text)",.(Telaah Hermenutik, Artikel dari internet).
[6] Nasr Hamid mengunakan metode analisis teks bahasa­sastra (nahj tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji Al-Qur'an. Dalam pandangannya, metode tersebut merupakan satu-satunya metode untuk mengkaji Islam. Nasr Hamid menyatakan: "Oleh sebab itu, metode analisis bahasa merupakan satu-satunya metode manusiawi yang mungkin untuk mengkaji pesan (risalah), dan berarti memahami Islam. " (wa lidhalika yakunu minhaj al-tahlil al-lughawi huwa al-minhaj al-wahid al-insani al-mumkin lifahm al­risalah, wa lifahm al-islam min thamma). Metodologi kritik sastra (literary criticism) yang diterap­kan Nasr Hamid merupakan bagian dari teori-teori herme­neutika. (Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Qur’an, Gema Insani, 2005).
[7] M. Amin Abdullah berpendapat, hermeneutika adalah sebagai negosiating process (proses negosiasi, tawar-menawar antara makna yang termakub dalam teks secara normatif dengan situasi masyarakat secara riil), atau sering dikenal dengan fusion of horizon. Jadi, sejauh mana kepentingan umat bisa terpenuhi dengan tafsiran baru menurut skema metodologis ini adalah sejauh mana pula si interpreter “membaca kondisi masyarakat” dan “membaca teks kitab suci”. (Telaah Hermenutik, Artikel dari internet, hal 2)

[8] Rudi al-Hana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keialaman, lembaga penelitan IAIN Sunan Ampel, Semarang, vol.3, April 2006, h.82.   
  [9] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Jakarta, cet.1, th.2005, h.72.
[10]  Ibid, h.72.
[11] Rudi al Hana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keislaman, h. 10.
[12] Hartono Ahmad Jaiz, Ada Pemurtadan di IAIN, Pustaka al-Kautsar, Jakarta (www.geocities.com).
[13]  Dr. Mahmud Ayub, Qur'an dan Penafsirannya, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1992, h.32.
[14] Prof. Dr. Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar,  h..67

[15] Ensiklopedia Dunia Islam (pemikiran dan peradaban), PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.
[16] Quaita Ahsana, Qualita Ahsana jurnal penelitian ilmu-ilmu keislaman, h.92.
[17] Ibid, h.74.

[18] Karena kecenderungan pemikirannya yang selalu melihat kemasa lampau. Lihat Mohammad Muslih Filsafat Ilmu yogyakarta, Belukar, hal. 169
[19] Maulidi Sketsa Hermeneutika Gerbang (jurnal studi agama dan demokrasi) Menafsirkan Hermeneutika No: 14 Vol: V 2003. hal. 11.  
[20] Hamid Fahmy Zarkasyi Menguak Nilai Di Balik Hermeneutika Islamia, Hermeneutika versus Tafsir Al-Qur'an, Edisi Perdana, Thn I,No 1 Muharram 1425/Maret 2004. hal. 25.
[21] Ini mirip dengan keinginan Fazlur Rahman bahwa ayat al-Qur’an dipahami melalui kondisi-kondisi turunnya ayat (syu`ûn an-nuzûl) dan tidak jauh berbeda dengan keharusan memahami ayat-ayat al-Qur’an melalui asbâb an-nuzûl, bahkan lebih akurat daripada memahami kondisi umum sejarah sekitar lahirnya teks).
[22] Maulidi. Ibid. hlm. 13.
[23] Hamid Fahmy. Lo.cit. hlm. 25
[24] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 170
[25] Diantara karya monumentalnya adalah : Being and Time. Was Tranlated by John Macquarrie and Edward Robinson. New York. Harper and Row, 1962.
[26] Dasein di definisikan Heidegger sebagai "sebuah entitas yang tidak benar-benar terdapat di antara berbagai entitas yang lain. Ia lebih diperbedakan secara ontikal oleh fakta bahwa, dalam Meng"ada"kannya tersebut, meng"ada" itu adalah sebuah persoalan baginya… pemahaman tentang mengada itu sendiri adalah sebuah karakteristik yang menentukan bagi meng"ada"nya Dasein. Dasein secara ontikal sangatlah jelas bahwa ia bersifat ontologis. Lihat : Martin Heidegger  Being and Time  hlm. 12.
[27] Mohammad Muslih. Op. Cit. hlm. 173.
[28] Untuk Memahami Lebih Jelas Pemikirannya Lihat: Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method The Seabury Press, New York, 1975. diterjemahkan oleh Ahmad Sahidah Kebenaran dan Metode : Pengantar Filsafat Hermeneutika Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
[29]  Hans-Georg  Gadamer,. Truth and Method  hlm. 410
[30] Untuk lebih Jelasnya Lihat. Malki Ahmad Nasir. Hermeneutika Kritis : Studi Kritis atas Pemikiran Habermas. Dalam Islamia. Loc. Cit. hlm. 30.
[31] Maulidin. Loc. Cit. hlm 28.
[32]Yang dimaksud dengan metode “pemahaman” (Verstehen) adalah memahami fakta atau teks sesuai dengan apa adanya tanpa dicampuri oleh persepsi penafsir. Seorang penafsir hanya berbicara sesuai dengan bagaimana teks berbicara. Sedangan, “penjelasan” (erkleren) diwarnai oleh persepsi penafsir, bukan hanya bagaimana fakta atau teks itu berbicara apa adanya.  Verstehen adalah metode fenomenologis, sedangkan erkleren adalah metode strukturalis. Oleh karena itu, hermeneutika Ricoeur disebut hermeneutika fenomenologis strukturalis.  
[33] Paul Ricour The Model of  Text: Meaningful Action Considered as Text Social Research 38, 1971, 529-62. dalam Hamid Fahmy. Lock.Cit. hlm.27.
[34] Ibid
  
[35] Ibid
[36] Hamid Fahmi Zarkasyi, Hermenutik sebagai produk  pandangan hidup (Artikel dari internet), hal, 1).
[37] Dikutip oleh Mustafa dalam telaah hermeneuti dari Rihcard E Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilty, Hiedegger and Gadamer, Evanston: North-western University Press, 1969, hlm.4.
[38]  Islamia, vol 1, 2004, halaman 52.
[39] Adnin Armas, Metodologi Bible Dalam Studi Al-qur’an, Gema Insani, 2005,  Bab II.
[40]  (QS ,5, 50).
[41]  (QS ,2, 257).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar