SEBAB KEMUNDURAN DAN KERUNTUHAN
DAULAH ABBASIYAH
Oleh: Yus Yusuf Zaeni Taziri
A. PENDAHULUAN
Dalam teori evolusi[1]
bahwa segala sesuatu memiliki siklus yang selalu berputar ada hidup dan ada
mati seperti dunia yang selalu berputar terkadang diatas dan terkadang dibawah.
Begitu juga dalam sejarah negeri-negeri dan kerajaan-kerajaan selalu berputar
ada masanya pembentukan dan pembangunan, masa keemasan dan pada akhirnya masa
keruntuhan dan kehancuran. Seperti kerajaan Babilonia[2],
Gupta[3],
Firaun[4],
Daulah Umayyah[5],
bahkan kerajaan yang pernah berjaya di Indonesia yaitu Majapahit[6].
Dari gambaran
diatas banyaknya kerajaan yang berdiri lalu jatuh dan hancur. Hal ini serupa
dengan yang dialami oleh Daulah Abbasiyah yang memiliki sejarah panjang selama
lima abad dimulai dari masa pembentukan, masa keemasan dan sampai masa
kehancuran.[7]
Daulah
Abbasiyah merupakan Daulah Islamiyah yang paling besar dan mengalami masa keemasan
dari perluasan daulahnya[8],
tata kota dan bangunan yang indah[9],
pemerintahan[10],
ekonomi[11],
kesehatan[12], dan
pendidikan atau keilmuan[13].
Penjelasan
tersebut akan mengejutkan otak kita dan mengerutkan alis kita yang lantaran Daulah
Abbasiyah merupakan daulah yang hebat, luas, dan berjaya tetapi mengalami masa
keruntuhan, kehancuran dan bahkan lenyapnya Daulah Abbasiyah dari muka bumi.
Maka dari itu,
kami akan membahas bagaimana terjadinya keruntuhan Daulah Abbasiyah, faktor apa
saja yang menjadikan Daulah Abbasiyah masuk kedalam kehancuran dan keruntuhan
baik dari faktor intern atau ekstern.
B. PEMBAHASAN
Dalam
pembahasan kehancuran daulah Abbasiyah kami membaginya kedalam dua segi, yaitu
faktor-faktor penyebab kemunduran dan sebab-sebab kehancurannya.
a. Kemunduran
Daulah Abbasiyah
a) Faktor Intern
1. Kemewahan hidup
di kalangan penguasa
Perkembangan
peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai Daulah Abbasiyah
pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk hidup mewah, bahkan
cenderung mencolok. Setiap khalifah cenderung
ingin lebih mewah daripada pendahulunya. Kondisi ini memberi peluang
kepada tentara profesional Turki untuk mengambil alih kendali pemerintahan.[14]
2. Melebihkan
Bangsa Asing dari Bangsa Arab
Keluarga
Abbasiyah memberikan pangkat dan jabatan negara yang penting-penting dan
tinggi-tinggi, baik sipil ataupun militer kepada bangsa Persia. Mereka itu
sebagian besar diangkat menjadi wazir, panglima tentara, wali provinsi,
hakim-hakim dan lain sebagainya. Oleh karena itu, umat Arab benci dan amarah
kepada khalifah-khalifah serta menjauhkan diri dari padanya. Kebengisan
keluarga Abbasiyah menindas dan menganiaya
keluarga Bani Umayah dan perbuatan mereka memusuhi kaum Alawiyin, kian
menambah amarah dan sakit hati mereka.[15]
3. Angkara murka
terhadap Bani Umayah dan Alawiyin
Keluarga
Abbasiyah melakukan siasatnya dengan menindas dan menganiaya Bani Umayah dan
memusuhi kaum Alawiyin yang mengakibtkan kerugian bagi dirinya sendiri. Mereka
lupa bahwa berdirinya daulah mereka adalah hasil kerja sama dengan keluarga
Alawiyin yang tiada sedikit jasanya kepada mereka dalam menjauhkan kekuasaan
Bani Umayah. Akibat dari permusuhan kedua keluarga besar itu, yaitu Abbasiyah
dan Alawiyin timbullah huru-hara dan pemberontakan hampir diseluruh
negeri-negeri Islam.[16]
4. Perebutan
kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah
Banyak
sejarawan yang menyatakan bahwa perebutan kekuasaan antara keluarga Bani
Abbasiyah ialah ketika terjadinya perang saudara antara al-Amin dan al-Makmun.[17]Tetapi
kalau kita cermati lebih dalam bahwa perebutan kekuasaan antara keluarga Bani
Abbasiyah adalah ketika masa khalifah Musa al-Hadi yaitu ketika Musa al-Hadi
ingin membatalkan putra mahkota yang diberikan khlaifah al-Mahdi kepada Harun
ar-Rasyid dan membai’ahkan putranya sendiri yang bernama Jafar.[18]Walaupun
hal ini tidak kesampaian dilaksanakan oleh Musa al-Hadi karena dia telah diburu
ajalnya.[19]
5. Pengaruh
bid’ah-bid’ah agama dan filsafat
Beberapa orang
khalifah Abbasiyah seperti Al-Makmun, Al-Muktasim dan Al-Wasiq amat terpengaruh
oleh bid’ah-bid’ah agama dan pembahasan-pembahasan filsafat. Hal ini
menimbulkan bermacam-macam madzhab dan merenggangkan persatuan umat Islam sehingga
mereka terpecah belah kepada beberapa partai golongan dan ini menjauhkan hati
kaum agamawan.[20]
6. Konflik
keagamaan
Timbulnya
konflik keagamaan ini dimulai ketika terjadinya konflik antara Khalifah Ali ibn
Thalib dan Muawiyah yang berakhir lahirnya tiga kelompok umat yaitu pengikut
Muawiyah, Syi’ah dan Khawarij, ketiga kelompok ini senantiasa berebut pengaruh.
Yang senantiasa berpengaruh baik pada masa Daulah Umayah atau Abbasiyah.[21]Ketika
kekhalifahan Abbasiyah muncul juga kaum zindik yang lahir pada masa Khalifah
al-Mahdi, kaum ini menghalalkan yang haram dan mencederakan adab kesopanan dan
budi kemanusiaan. Oleh karena itu al-Mahdi berusaha menindas golongan ini,
sehingga untuk itu dia mendirikan suatu jawatan istimewa dikepalai oleh seorang
yang pangkatnya bernama “Shahibu az-Zanadiqah”. Tugasnya adalah membasmi
kaum itu serta mengikis faham dan pengajarannya.[22]hal
ini dilanjutkan oleh anaknya yaitu Khalifah Musa al-Hadi.[23]
7. Luasnya wilayah
kekuasaan daulah Abbasiyyah
Luasnya wilayah
kekuasaan daulah Abbasiyyah sementara komunikasi pusat dengan daerah sulit
dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di kalangan para
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah[24].
Dalam hal ini
kita bisa melihat beberapa khalifah yang terlalu mempercayakan kepercayaannya
terhadap wazirnya. Seperti yang dilakukan oleh Khalifah al-Amin yang
menyerahkan sekalian urusan daulahnya kepada wazirnya Fadhal ibn Rabi. Dia
terkenal pandai memfitnahi dan memburukkan orang lain. Dia pula yang menghasut Harun
ar-Rasyid untuk menggulingkan keluarga Barmak dan dia juga yang memutusan tali
silaturrahim antara adik dan kakak, yaitu antara al-Amin dan al-Makmun yang
mengakibatkan meletusnya perang dua saudara dengan tewasnya al-Amin dan naiknya
al-Makmun kesinggasana Khalifah.[25]
b) Faktor Ekstern
1. Banyaknya
pemberontakan
Banyaknya daerah yang tidak
diikuasai oleh khalifah dengan memberikan atau memilih gubernur dari orang yang telah berjasa kepada khalifah
sebagai hadiah dan penghormatan untuknya.[26]Ditambah
dengan kebijakan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam.[27]Akibatnya
provonsi-provinsi yang diberikan khalifah kepada gubernur-gubernur banyak yang ingin melepaskan diri dari
genggaman khalifah Abbasiyah. Adapun cara provinsi-provinsi tersebut melepaskan
diri dari kekuasaan Baghdad adalah: Pertama, seorang pemimpin lokal
memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti
Daulah Umayah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Kedua, seseorang yang
ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat,
kemudian melepaskan diri, seperti Daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah
di Kurasan.[28]
2. Bencana Bangsa
Turki
Amat besar bahaya umat Turki atas
Daulah Abbasiyah. Beberapa khalifah menjadi korban mereka. Tiang tua dan segala
persediaan rusak binasa olehnya. Kekacauan timbul dimana-mana, sedang khalifah
sendiri menjadi permainan dalam tangan panglima-panglima Turki. Perselisihan
antara tentara dan rakyat sering terjadi. Permusuhan diantara panglima-panglima
Turki itu sendiri kian menambah buruk dan keruh suasana daulah Abbasiyah.[29]
Kelemahan pemerintah pusat di
Baghdad itu menjadi peluang bagi kepala-kepala pemerintahan wilayah untuk
melakukan siasatnya. Mereka berusaha memutuskan perhubungan dengan khalifah
lalu mendirikan kerajaan sendiri-sendiri dalam daerah mereka. Dengan demikian
terurailah buhul tali persatuan Daulah Abbasiyah dan berdirilah kerajaan
kecil-kecil dalam pekarangan daulah itu senndiri.[30]
3. Dominasi Bangsa
Persia
Pada awal pemerintahan Bani
Abbasiyah, keturunan Parsi bekerjasama dalam mengelola pemerintahan dan Daulah
Abbasiyah mengalami kemajuan yang cukup pesat dalam berbagai bidang. Pada
periode kedua, saat kekhalifahan Bani Abbasiyah sedang mengadakan pergantian
khalifah, yaitu dari khalifah Muttaqi kepada khlaifah Muth’ie. Banu Buyah
berhasil merebut kekuasaan.
Pada mulanya mereka berkhidmat
kepada pembesar-pembesar dari pada khalifah, sehingga banyak dari mereka yang
menjadi panglima tentara, diantaranya menjadi panglima besar. Setelah mereka
memiliki kedudukan yang kuat, para khalifah Abbasiyah berada di bawah telunjuk
mereka dan seluruh pemerintahan berada di tangan mereka. Khalifah Abbasiyah
hanya tinggal namanya saja, hanya disebut dalam doa-doa di atas mimbar,
bertanda tangan di dalam peraturan dan pengumuman resmi dan nama mereka ditulis
atas mata uang, dinar dan dirham.[31]
b. Sebab-Sebab
Kehancuran Daulah Abbasiyah
a) Faktor Intern
1. Lemahnya
semangat patriotisme negara
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh
Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatar belakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu
pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah
berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua sebab Daulah Abbasiyah
memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab, yaitu: pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani
Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang
Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ashabiyah (kesukuan). Dengan
demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ashabiyah tradisional.[32]
Meskipun demikian, orang-orang
Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah
yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap
rendah bangsa non-Arab ('ajam).
Selain itu, wilayah kekuasaan
Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang
berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut
elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping
fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan
gerakan syu'ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya
dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan
sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai
dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas,
mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi
pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar,
mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka; mereka mempunyai kekuasaan atas
rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Kecenderungan masing-masing bangsa untuk
mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga
keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik
tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani
Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki.
Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada Dinasti Seljukdan munculnya dinasti-dinasti yang
lahir dan ada yang melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah
Abbasiyah.[33] Dan
bahkan ada yang mengaku dirinya khilafah.[34]Dari
latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antarbangsa,
terutama antara Arab, Persia dan Turki. Disamping latar belakang
kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatar belakangi paham keagamaan, ada
yang berlatar belakang Syi'ah maupun Sunni.
2. Hilangnya sifat
amanah
Hilangnya sifat amanah dalam segala
perjanjian yang dibuat, sehingga kerusakan moral dan kerendahan budi
menghancurkan sifat-sifat baik yang mendukung negara selama ini.[35]
3. Tidak percaya
pada kekuatan sendiri
Tidak percaya pada kekuatan sendiri.
Dalam mengatasi berbagai pemberontakan, khalifah mengundang kekuatan asing.
Akibatnya, kekuatan asing tersebut memanfaatkan kelemahan khalifah.[36]
4. Fanatik madzhab
dan keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat
dengan persoalan kebangsaan. Karena cita-cita orang Persia tidak sepenuhnya tercapai, kekecewaan mendorong
sebagian mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal
dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para
khalifah. Al-Mansur berusaha keras memberantasnya, bahkan Al-Mahdi merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan
orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah. Akan tetapi, semua itu tidak
menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan
Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik
tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di
kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata
itu.
Pada saat gerakan ini mulai
tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah, sehingga banyak aliran Syi'ah yang
dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang
oleh penganut Syi'ah sendiri. Aliran Syi'ah memang dikenal sebagai aliran
politik dalam Islam yang berhadapan dengan paham Ahlussunnah. Antara keduanya sering terjadi
konflik yang kadang-kadang juga melibatkan penguasa. Al-Mutawakkil, misalnya, memerintahkan agar makam
Husein Ibn
Ali di Karballa dihancurkan. Namun anaknya, al-Muntashir (861-862 M.), kembali
memperkenankan orang Syi'ah "menziarahi" makam Husein tersebut.
Syi'ah pernah berkuasa di dalam khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih
dari seratus tahun. Dinasti
Idrisiyah di Marokko dan khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama
tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga
antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan salafy. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh
al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M), dengan menjadikan
Mu'tazilah sebagai mazhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861 M), aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara
dan golongan Sunni kembali naik daun. Tidak tolerannya pengikut Hanbali terhadap Mu'tazilah yang rasional
dipandang oleh tokoh-tokoh ahli filsafat telah menyempitkan horizon intelektual
padahal para salaf telah berusaha untuk mengembalikan
ajaran Islam secara murni sesuai dengan yang dibawa oleh Rasulullah.
Aliran Mu'tazilah bangkit kembali
pada masa Bani Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut paham Sunni, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan
secara sistematis. Dengan didukung penguasa aliran Asy'ariyah tumbuh subur dan berjaya.
Pikiran-pikiran al-Ghazali yang mendukung aliran ini menjadi ciri utama paham Ahlussunnah. Pemikiran-pemikiran tersebut
mempunyai efek yang tidak menguntungkan bagi pengembangan kreativitas
intelektual Islam.[37]
5. Kemerosotan
ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami
kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik.
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya.
Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Baitul-Mal penuh dengan harta.[38]
Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode
kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih
besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya
wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran
membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat
semakin mewah. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan
korupsi.[39]
Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit.
Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti
Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
b) Faktor Ekstern
1. Disintegrasi
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik
itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman
penguasa Bani Abbasiyah, dengan berbagai cara di antaranya pemberontakan yang
dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh.
Bahkan berusaha merebut pusat kekuasan di Baghdad. Hal ini dimanfaatkan oleh
pihak luar dan banyak mengorbankan umat, yang berarti juga menghancurkan Sumber
Daya Manusia (SDM). Yang paling membahayakan adalah pemerintahan tandingan
Fatimiah di Mesir walaupun pemerintahan lainnyapun cukup menjadi perhitungan
para khalifah di Baghdad. Pada akhirnya, pemerintah-pemerintah tandingan ini
dapat ditaklukan atas bantuan Bani Saljuk atau Buyah.[40]
2. Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun
1095 M, saat Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk, serta menghambat pengaruh dan
invasi dari tentara Muslim atas wilayah Kristen.[41]
Selain seruan Paus Urbanus ada juga dua faktor penyebab terjadinya perang salib
yaitu para pedagang besar yang berada di pantai Timur laut Tengah, terutama
yang berada di kota Venezia, Genoa dan Pisa berambisi untuk menguasai sejumlah
kota dagang di sepanjang pantai Timur dan selatan laut Tengah untuk memperluas
jaringan dagang mereka.[42]Sedangkan
sebab lainnya adalah orang-orang Kristen beranggapan jika mereka mati dalam
perang salib maka jaminannya adalah surga.[43]
Periodesasi perang salib terbagi
menjadi tiga, yaitu Pertama, periode penaklukan yang dimulai oleh pidato
Paus Urbanus II yang memotivasi untuk berperang salib. Pada periode ini terjadi
beberapa pertempuran yaitu gerakan yang dipimpin oleh Pierre I’ermitte melawan
pasukan Dinasti Bani Saljuk. Pasukan ini mudah dipatahkan oleh pasukan Bani
Saljuk. Kedua, Gerakan yang dipimpin oleh Godfrey of Bouillon. Gerakan
ini merupakan gerakan terorganisir rapi. Mereka berhasil menundukan kota
Palestina (Yerussalem) pada 7 Juli 1099 dan melakukan pembantaian besar-besaran
terhadap umat Islam. Begitu juga mereka menundukkan Anatalia Selatan, Tarsus,
Antiolia, Allepo, Edessa, Tripoli, Syam, Arce dan Bait al-Maqdis. Kedua, periode
reaksi umat Islam (1144-1192). Periode ini muncullah pasukan yang dikomandani
oleh Imanuddin Zangi untuk membendung pasukan salib bahkan pasukan ini dapat
merebut Aleppo dan Edessa. Lalu setelah wafatnya Imanuddin Zangi maka anaknya
menggantikannya yaitu Nuruddin Zangi, dia berhasil menaklukan Damaskus,
Antiolia dan Mesir. Di Mesir muncullah Shalahuddin al-Ayyubi (Saladin) yang
berhasil membebaskan Bait al-Maqdis. Dari keberhasilan umat Islam tersebut
membangkitkan kaum Salib untuk mengirim ekspedisi militer yang lebih kuat.
Ekspedisi ini dipimpin oleh raja-raja besar Eropa, seperti Frederick I, Richard
I dan Philip II. Disini terjadiilah pertempuran sengit antara pasukan Richard
dan pihak Saladin. Pada akhirnya keduanya melakukan gencatan senjata dan
membuat perjanjian. Ketiga, yaitu periode perang saudara kecil-kecilan
atau periode kehancuran di dalam pasukan Salib.[44]
Walaupun umat Islam berhasil
mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka
derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya.
Kerugian-kerugian ini mengakibatkan kekuatan politik umat Islam menjadi lemah.
Dalam kondisi demikian mereka bukan menjadi bersatu, tetapi malah terpecah
belah. Banyak daulah kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat
Abbasiyah di Baghdad.[45]
3. Serangan Bangsa
Mongol dan jatuhnya Baghdad
Pada tahun 565 H/1258 M, tentara Mongol yang berkekuatan sekitar 200.000 orang tiba di salah
satu pintu Baghdad. Khalifah Al-Musta'shim, penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad (1243 - 1258), betul-betul tidak berdaya dan tidak mampu membendung
"topan" tentara Hulagu Khan.
Pada saat yang kritis tersebut,
wazir khilafah Abbasiyah, Ibn Alqami ingin mengambil kesempatan dengan
menipu khalifah. la mengatakan kepada khalifah, "Saya telah menemui mereka
untuk perjanjian damai. Hulagu Khan ingin mengawinkan anak perempuannya dengan Abu Bakr Ibn
Mu'tashim, putera khalifah. Dengan demikian, Hulagu Khan akan menjamin posisimu. la
tidak menginginkan sesuatu kecuali kepatuhan, sebagaimana kakek-kakekmu
terhadap sulthan-sulthan Seljuk"[46].
Khalifah menerima usul itu, la
keluar bersama beberapa orang pengikut dengan membawa mutiara, permata dan
hadiah-hadiah berharga lainnya untuk diserahkan kepada Hulagu Khan. Hadiah-hadiah itu dibagi-bagikan
Hulagu kepada para panglimanya. Keberangkatan khalifah disusul oleh para
pembesar istana yang terdiri dari ahli fikih dan orang-orang terpandang.
Tetapi, sambutan Hulagu Khan sungguh di luar dugaan khalifah. Apa yang
dikatakan wazirnya temyata tidak benar. Mereka semua, termasuk wazir sendiri, dibunuh
dengan leher dipancung secara bergiliran.[47]
Dengan pembunuhan yang kejam ini
berakhirlah kekuasaan Abbasiyah di Baghdad. Kota Baghdad sendiri dihancurkan
rata dengan tanah, sebagaimana kota-kota lain yang dilalui tentara Mongol
tersebut. Walaupun sudah dihancurkan, Hulagu Khan memantapkan kekuasaannya di
Baghdad selama dua tahun, sebelum melanjutkan gerakan ke Syria dan Mesir.[48]
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun
1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja mengakhiri kekuasaan
khilafah Bani Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Bagdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut
pula lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin Hulaghu Khan
tersebut.[49]
C. KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas mengenai kehancuran
Daulah Abbasiyah bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan kehancuran baik
dari faktor intern atau ekstern. Dari faktor intern adalah kemewahan hidup
dikalangan penguasa, perebutan kekuasaan antara keluarga Bani Abbasiyah,
konflik keagamaan, luasnya wilayah kekuasaan, lemahnya semangat patriotisme
negara, hilangnya sifat amanah, tidak percaya akan kekuatan sendiri, fanatik
madzhab dan kemerosotan ekonomi.
Adapun dari faktor ekstern adalah
banyaknya pemberontokan, dominasi Bangsa Turki dan Bangsa Persia, disintegrasi,
perang salib dan penyerbuan Bangsa Mongol dan jatuhnya kota Baghdad.
D. PENUTUP
Artikel ini yang berjudul Kehancuran
Daulah Abbasiyah berusaha menggambarkan dan menelaah faktor-faktor intern
atau ekstern yang menyebabkan hancurnya Daulah Abbasiyah.
Tujuan dari artikel ini adalah agar
menjadi bahan renungan dan pertimbangan bagi para pejabat, penguasa dan
pemerintah dalam menjalankan kebijakan negara supaya tidak terperosok kedalam
lubang yang pernah dialami oleh Daulah Abbasiyah.
Kami sangat menyadari bahwa artikel
ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak perbaikan. Maka dari itu kita semua
agar lebih mendalami dan memahami sejarah Daulah Abbasiyah, khususnya
kehancurannya guna adanya perbaikan dan penyempurnaan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA
A Partanto, Pius dan Albarri, M.
Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994
Al-Ghazali, Muhammad, Al-Janibu
al-‘Athifiyyu Mina al-Islam Bahtsu fi al-Khalq wa as-Suluk wa at-Tasawwuf, Cet.
I. Al-Iskandariyah: Daru ad-Da’wah, 1990.
Al-Iskandari, Umar dan Safdaj,
al-Miraj,. At-Tarikhu al-Islamiyu Juz II. Ponnorogo: Darussalam Pers,
tt.
Bagian Kurikulum KMI Gontor, Tarikh
al-Adabi al-‘Arabiyyi Juz II, Ponorogo: Darussalam Pers, tt.
Hajar, Siti, Sejarah Dinasti Bani
Umayyah (Artikel), Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, 2011.
Mansur, Hasan. Khaeruddin, Abdul Wahab. ‘Anani,
Mushthafa, Ad-Dinu al-Islamiyyu Juz I, Ponorogo: Darussalam Pers,
tt.
Maryam, Siti. Dkk., Sejarah
Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas
Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003.
Mustafa, Sodiq., Suparman, dan
Kuswanto. Kompetensi Dasar Sejarah. Solo: Tiga Serangkai, 2004.
Mutholib, Abd, dkk., Sejarah
Kebdayaan Islam I. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam dan
Universitas Terbuka, 1995
Osman, A Latif, Ringkasan Sejarah Islam, Cet.
XXX. Jakarta: Widjaya, 2000.
Rozak, Abdul dan Anwar, Rosihan, Ilmu
Kalam Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Cet. II. Bandung: CV Pustaka Setia, 2003.
Sami an-Nasyar, Ali, Nasyatu al-Fikri
al-falsafi fii al-Islam Juz I, Cet. IV. al-Iskandariyah: Daru al-Ma’arif,
1966.
Suparman. Sejarah Nasional dan Umum.
Cet. III. Solo: 2002.
Supriadi, Dedi, Sejarah Peradaban Islam,Cet. X.
Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Susiawati, Peradaban Emas Dinasti
Abbasiyah (Artikel), Bandung: Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, 2011.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban
Islam Dirasah Islamiyah II, Cet. XXI. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
[1] Evolusi adalah perubahan atau
perkembangan secara lambat. Teori evolusi adalah suatu interpretasi tentangg
cara terjadinya perkembangan makhluk-makhluk hidup. Pius A Partanto dan M.
Dahlan Albarri. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola, 1994, hlm. 164.
[2] Sekitar tahun 2000 SM, Bangsa
Akkadia yang menguasai Messopotamia diserang oleh Bangsa Amorit. Mereka
termasuk bangsa pengembara dari rumpun bangsa Semit. Setelah berhasil
mengalahkan bangsa Akkadia kemudian mendirikan kerajaan Babilonia Lama. Ibu
kotanya adalah Babilon yang terletak di sungai Eufrat. Kerajaan Babilonia Lama
mencapai puncak keemasannya pada masa pemerintahan Raja Hamurabi (1955-1912).
Kerajaan Babilonia Lama yang bernilai tinggi tersebut akhirnya mengalami
kemunduran setelah pemerintahan Hamurabi berakhir. Situasi demikian
dimanfaatkan bangsa Kassit untuk menyerang Babilonia Lama dan berhasil
menguasainya. Namun, dalam perkembangannya Mesopotamia dikuasai oleh bangsa
Assiria. Suparman. Sejarah Nasional dan Umum. Solo: Tiga Serangkai,
2002, hlm. 44-45.
[3] Kerajaan Gupta berdiri dari
kejatuhan kerajaan Kanishka lewat perang saudara yang dimenangkan Chandragupta
I (320 M). Kebesaran kerajaan Gupta tercapai pada masa pemerintahan Raja
Samudragupta (330-375 M). Kejatuhannya dikarenakan serbuan Raja Mihiragula dari
suku Hun dengan kejam. Pasukan Gupta tidak berdaya menghadapi serbuan itu dan
hancurlah kerajaan beserta kekuasaanya. Suparman. Sejarah Nasional dan Umum.
Solo: Tiga Serangkai, 2002, hlm. 32-33.
[4] Firaun adalah gelar bagi Raja
di Mesir. Firaun yang hidup pada masa Nabi Musa merupakan Firaun yang sangat
dzalim dan mengaku dirinya sebagi Tuhan yang harus disembah oleh Bangsa Mesir.
Kehancuran firaun dan tentaranya terjadi ketika mengejar Nabi Musa As dan
pengikutnya melewati laut Merah, Nabi Musa memukulkan tongkatnya kelaut maka
terbelahlah laut sehingga terlihatlah jalan besar. Melalui jalan itulah Nabi
Musa dan pengikutnya selamat di tepi pantai sebrang. Seketika itu lautpun
bersatu kembali, sehingga Firaun dan seluruh tentaranya tertelan ombak laut
Merah. Abd Mutholib, dkk., Sejarah Kebudayaan Islam I. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pembinaan Agama Islam dan Universitas Terbuka, 1995, hlm.
87-89. Lihat pula Al-Qur’an: al-Baqarah: 50.
[5] Para sejarawan mebagi Daulah
Umayah menjadi dua, yaitu pertama, Daulah Umayah yang dirintis dan
didirikan oleh Mu’awiyah ibn Abi Sufyan yang berpusat di Damaskus. Fase ini
berlangsung sekitar satu abad dan mengubah sistem pemerintahan dari khilafah
menjadi mamlakah. Dan kedua, Daulah Umayah di Andalusia di
bawah pimpinan seorang gubernur pada zaman Walid ibn Abd al-Malik; kemudian
diubah menjadi kerajaan yang terpisah dari kekuasaan Daulah Abbasiyah setelah
berhasil menaklukan Daulah Umayah di Damaskus. Siti Maryam, dkk. Sejarah
Peradaban Islam dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas
Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003, hlm. 79, lihat pula Dedi Supriyadi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hlm. 103.
[6] Majapahit didirikan oleh Raden
Wijaya (1239-1309) dengan cara menaklukan Raja Jayakatwang di Kediri dengan
bantuan tentara Mongol dan Arya Wiraja dari Madura. Dalam penyerengan itu Raja
Jayakatwang tertangkap dan dibunuh oleh tentara Mongol. Tetapi Raden Wijaya dan
Arya Wiraja berbalik arah dengan menyerang tentara Mongol sehingga hancur dan
sisanya tunggang-langgang. Kerajaan Majapahit memiliki masa keemasan yaitu
ketika Raja Hayam Wuruk dan patihnya Gajah Mada yang menguasai seluruh
Nusantara bahkan sebagian Thailand (Campa), Indocina, Filipina Selatan dan
Malaysia. Majapahit runtuh dikarenakan penyerangan oleh Ranawijaya dari Keidri
(1478). Sodiq Mustafa, Suparman, dan Kuswanto. Kompetensi Dasar Sejarah.
Solo: Tiga Serangkai, 2004, hlm. 57-65. Lihat pula Suparman. Sejarah
Nasional dan Umum. Cet. III. Solo, 2002, hlm. 124-135.
[7] Umar al-Iskandari dan Al-Miraj
Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo: Darussalam Pers, tt, hlm.
1-11.
[8] Berikut ini merupakan wilayah
kekuasaan Daulah Abbasiyah: Afrika disebelah Barat Gurun Libya bersama dengan
Sisilia, Mesir, Suriah dan Palestina, Hijaz dan Yamamah, Yaman dan Arab
Selatan, Bahrain dan Oman, Bashrah dan Iraq, Sawad atau Mesopotamia, Kufah dan
Wash, Jazirah, Azerbaijan, Jibal dan beberapa wilayah lainnya. Dedi Supriyadi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 131.
[9] Pembangunan pada Daulah
Abbasiyah, yaitu pembangunan kota Hasyimiyatu al-Kufah yang sangat indah lalu
dijadikan ibu kota kerajaan. Begitu juga dibangunkannya kota Baghdad di trmpat
yang bagus letaknya, tidak terlalu jauh dari laut, dan terletak di atara sungai
Tigris dan Euphrat. Dibangunkan pula kota ar-Rushufah di pinggir Timur kota
Tigris yang kemudian dijadikan markas militer. A Latif Osman. Ringkasan
Sejarah Islam. Jakarta: Widjaya, 2000, hlm. 110.
[10] Pada sistem pemerintahan Daulah
Abbasiyah sudah diberlakukan dewan-dewan dan biro-biro, seperti al-Majlis al-‘Aziz
yaitu suatu kantor yang berfungsi untuk berkumpulnya khlaifah dan mentri-mentri
dalam membicarakan permasalahan-permasalahan. Diwan an-Nadzar fi al-Madzalim
yaitu biro yang menanggulangi kriminal. Ada juga kantor militer, kantor pos,
kantor pengawas, dewan penyelidik keluhan dan lain sebagainya. Umar
al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo:
Darussalam Pers, tt, hlm. 16.
[11]Kemajuan ekonomi Daulah
Abbasiyah tidak terlepas dari keluasan wilayahnya yang setiap wilayahnya harus
memberikan pajak atau upeti. Dan ini didirong pula oleh perdagan, pertanian,
dan pembangunan yang sangat baik berkembang. Umar al-Iskandari dan Al-Miraj
Safdaj. At-Tarikhu al-Islamiyyu. Ponorogo: Darussalam Pers, tt, hlm.
16-27.
[12]Dalam ilmu kedokteran pada zaman
Daulah Abbasiyah ada beberapa ahli kedokteran yang sampai sekarang masih
dikenal baik oleh orang Muslim atau non-Muslim yaitu ar-Razi dan Ibn Sina.
Adapun buku-buku tentang kedokteran yang dibuat pada masa ini adalah Kitab
asy-Syifa, Al-Qanun fi ath-Thib, Kamil ash-Shid’ah ath-Thibbiyah dan Al-Asy’ar
Maqalat fi al-‘Ain. Dedi Supriyadi. Ibid, hlm. 135-136.
[13] Hal ini terbukti adanya Bait
al-Hikmah yang didirikan oleh al-Makmun (830 M di Baghdad. Lembaga ini
merupakan sebagai biro penerjemahan dan pusat kajian akademis dan perpustakaan
umum, serta memiliki sebuah observatorium. Observatorium tersebut berfungsi
sebagai pusat pembelajaran astronomi dan sekaligus pusat pendidikan
kedokteran. Ada juga Nizhamiyah
yang merupakan sekolah akademis didirikan oleh Nizham al-Mulk pada tahun
1065-1067. Di Syiraz terdapat Khizanah al-Kutub yaitu sebuah
perpustakaan yang sangat besar dan di dalamnya sarjana yang bekerja dan
mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan tersebut. Di Rayy juga terdapat
sebuah tempat yang disebut Rumah Buku. Terdapat pula toko-toko buku yang
berjejer lebih dari seratus toko di Damaskus dan Kairo. Ibid, hlm.
136-137.
[14]Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm. 61.
Lihat pula Dedi Supriadi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008, hlm. 137.
[15] A Latif Osman. Ringkasan Sejarah Islam, Jakarta:
Widjaya, 2000, hlm. 128.
[16] Ibid,
129.
[18] Ibid, 116.
[19] Ibid.
[20] Ibid,
129.
[21] Dedi
Supriadi. Ibid, hlm. 138.
[22] A Latif
Osman, Ibid, hlm. 113.
[23] Ibid,
115.
[24] Wikipedia
Bahasa Indonesia, Ensklopedia Bebas. Bani Abbasiyah.
[25] A Latif
Osman. Ibid, 123.
[26] Umar
al-Iskandari dan Al-Miraj Safdaj. At-Tarikh al-Islamiyyi Juz II.
Ponorogo: Darussalam Pers, tt. hlm. 10.
[27] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm.61.
[28] Dedi
Supriyadi. Ibid. hlm. 138.
[29] A Latif
Osman, Ibid, hlm. 129.
[30] Ibid.
[31] Dedi
Supriyadi. Ibid. hlm. 139.
[33] Daulah-daulah atau dinasti-dinasti yang lahir ketika
kekhalifahan Abbasiyah sangatlah banyak mulai dari bangsa Persia, Turki, Khurdi
dan Arab. Daulah yang lahir dari bangsa Persia adalah Bani
Thahiriyyah di Khurasan, (205-259 H/820-872 M), Bani
Shafariyah di Fars, (254-290 H/868-901 M), Bani
Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M), Bani Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/878-930 M),Bani Buwaih, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M). Dari
bangsa Turki adalah Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/837-903 M), Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/932-1163 M), Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/962-1189 M) dan Bani Seljuk. Dari bangsa Khurdi adalah al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M), dan al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1250 M), didirikan
oleh Sulthan Shalahuddin
al-Ayyubi setelah keberhasilannya memenangkan Perang Salib periode ke III. Dari
bangsa Arab adalah Idrisiyyah di Maghrib, (172-375 H/788-985 M), Aghlabiyyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M), Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/825-898 M), 'Alawiyah di Thabaristan, (250-316 H/864-928 M), Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/929- 1002 M), Mazyadiyyah di Hillah, (403-545 H/1011-1150 M), Ukailiyyah di Maushil, (386-489 H/996-1 095 M), dan Mirdasiyyah di Aleppo, (414-472 H/1023-1079 M).
[34] Yaitu
Daulah Umayah di Spanyol dan Fatimiyah di Mesir.
[35] Dedi
Supriyadi. Ibid. hlm. 140.
[36] Ibid.
[37] Badri Yatim. Ibid. hlm. 82-83.
[38] Philip
K. Hitti, History of the Arabs, London: Macmillan, 1970, hlm. 485.
Ditukil dari Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 82.
[39] Ahmad
Amin. Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV Rusyda, 1987. Hlm. 42.
[40] Dedi
Supriyadi. Ibid. hlm. 141.
[41] Dedi Supriyadi. Sejarah
Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Hlm. 171.
[42] Ibid,
172.
[43] Ibid.
[44] Ibid,
174.
[45] Wikipedia
Bahasa Indonesia, Ensklopedia Bebas. Bani Abbasiyah.
[46] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2008, hlm.
114.
[47] A Latif
osman. Ringkasan Sejarah Islam. Cet. XXX. Jakarta: Widjaya, 2000, hlm. 136.
[48] Ibid.
[49] Ibid.
Makasiiihh..
BalasHapusSama sama :)
HapusSangat bermanfaaaattt...
BalasHapus