Senin, 12 Desember 2011

Muhkam dan Mutasyabih


MUHKAM DAN MUTASYABIH
Oleh: Yus Yusuf Zaeni Taziri

A.      PENDAHULUAN
Alquran merupakan sumber tertulis atau dapat dikatakan sumber dari segala sumber agama kita, yaitu agama Islam. Dalam konteks penerapannya Alquran menjadi pedoman bagi kita melangkah dalam bentuk apapun. Salah satunya dengan mengkaji Alquran yang memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa lafadz, ungkapan dan uslub.
Dalam Alquran terdapat 2 macam ayat, yaitu ayat yang sudah jelas maksudnya dan yang belum jelas maksudnya. Ketika kita membaca ayat Alquran tidak lengkap jika kita tidak mengerti akan maksud dari ayat ataupun surat tersebut. Adapun kelompok pertama ayat yang sudah jelas maksudnya yaitu muhkam dan kelompok kedua adalah ayat yang belum jelas maksudnya yaitu mutasyabih. Kedua macam ayat inilah yang akan dibahas dalam makalah ini.
B.       PEMBAHASAN
a.    Pengertian
Kata muhkam berasal dari bahasa Arab yaitu مُحْكَمٌ. Secara etimologi kata muhkam berasal dari kata kerja اَحْكَمَ yang kemudian menjadi bentuk mashdar, yang berarti radduhu wa mana’ahu (menolak dan melarangnya).[1] Sedangkan secara terminologi ayat-ayat muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui dengan gambling, baik melalui takwil (metafora) ataupun tidak.[2]Hal ini serupa dengan al-Zarqani yang menegaskan muhkam adalah ayat yang berkonotasi sesuatu yang jelas dan terang dalalah atau pengertiannya.[3]Pengertian tersebut berdasarkan firman Allah dalam ayat pertama surat Hud: اَلَرَ كِتَابٌ أُحْكِمَتْ ايَاتُهُ.... Inilah kitab yang ayat-ayatnya tersusun rapih dan kokoh...[4].
Kata mutasyabih sama dengan kata muhkam yang diambil dari bahasa Arab yaitu مُتَشَابِهٌ. Secara etimologi adalah diambil dari kata kerja تَشَابَهَ yang menjadi bentuk mashdar yang berarti ghairu muhkam atau bukan muhkam.[5]Sedangkan secara terminologi adalah ayat yang menunjukan kepada sesuatu yang samar-samar dan kabur dalalah atau pengertiannya sehingga yang ayat-ayat begini hanya dapat dipahami oleh pihak-pihak tertentu saja yang dapat mengetahui takwilnya; yakni Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya.[6] Biasanya ayat mutasayabihat membahas tentang masalah-maslah yang ghaib seperti Tuhan, malaikat, surga dan neraka, saat kedatangan hari Kiamat, keluarnya Dajjal, huruf-huruf Muqaththa’ah, dan lain-lain.[7]Pengertian tersbut disandarkan kepada surat al-‘Imran ayat tujuh yang berbunyi:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»tƒ#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷ƒy tbqãèÎ6®KuŠsù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#ƒÍrù's? 3 $tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ㍩.¤tƒ HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ

Dialah yang menurunkan Al Kitab (Alquran) kepada kamu. di antara (isinya) ada ayat-ayat yang muhkamaat. Itulah pokok-pokok (isi) Alquran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Mereka mengatakan kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (dari ayat-ayat mutasyabihat itu) melainkan orang-orang yang berakal.[8]

b.   Ruang Lingkup Mutasyabih
Mengingat ayat-ayat muhkamat suddah jelas dan dirasa tidak memerlukan pembahasan yang lebih rinci lagi maka akan dibahas lebih lanjut ialah ayat-ayat mutasyabihat. Jika diamati dalam Alquran secara keseluruhan tentang ayat-ayat mutasyabihat, maka akan dijumpai paling tidak tiga bentuk tasyabuh dalam Alquran yaitu menyangkut redaksi (lafal); menyangkut makna; dan menyangkut lafal dan makna sekaligus.
Bentuk pertama adalah lafal yang biasanya membuat suatu makna menjadi kabur, secara garis besarnya terlihat dalam dua kategori yaitu kosakata tunggal dan susunan kalimat sekaligus.[9]Kekaburan makna pada suatu kosakata biasanya terpakai gharib atau lafal itu mempunyai banyak konotasi (musytarik). Contoh pertama seperti lafal أَبًّا di dalam ayat 31 dalam surat Abasa: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا, sahabat utama Rasulullah seperti Abu Bakar dan ‘Umar tidak dapat menjelaskan maksud kata tersebut sehingga Abu Bakar berkata ketika didesak oleh penanya: “Mana langit yang akan menaungiku, dan mana bumi tempat aku berpijak, jika kukatakan sesuatu yang tidak ada dalam kitab Allah?”. Dalam redaksi yang berbeda ‘Umar juga mengatakan tidak tahu maksud kata itu seperti dikatakannya: “Lafal فَاكِهَةُ jelas bagi kita, tapi yang dimaksud dengan أَبًّا? ‘Umar tertegun. Lalu berkata dirinya: “Ini terlalu berberat-berat hal ‘Umar”?.[10]Kasus tersebut merupakan data yang representatif bagi kita bahwa keasingan suatu kata membuat pengertiannya menjadi kabur, bahkan dikalangan bangsa Arab aslipun, dan sahabat Nabi utama nabi lagi, tetap saja mereka tidak memahami maksud yang terkandung dalam kosakata tersebut.[11]
Kekaburan arti yang disebabkan banyaknya konotasi suatu lafal, misalnya lafal يَمِيْنٌ yang menunjuk pada makna “tangan kanan” atau “kekuatan”, ataupun “sumpah”. Dalam hal ini, misalnya kata يَمِيْنٌ dalam ayat 93 dari surat al-Shafat: "فَرَاغَ عَلَيْهِمْ ضَرْبًا بِالْيَمِيْنَ". Kata يَمِيْنٌ dalam ayat itu tidak jelas konotasinya apakah berati “tangan kanan” atau “kekuatan. Kedua pengertian itu terpakai dalam bahasa Arab. Apabila diartikan kata tersebut dengan tangan kanan, maka maksud ayat itu adalah: Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala tersebut dengan tangan kanan tanpa alat; dan apabila diartikan denga kekuatan, maka dapat dipahami bahwa Nabi Ibrahim memukul berhala-berhala itu dengan kekuatan penuh, baik dilakukannya dengan tangan kanannya langsung atau dengan memakai alat-alat pemukul lainnya seperti martil dan lainnya.[12]
Adapun kekaburan makna disebabkan oleh pola susunan kalimat, terbagi kedalam dua kategori juga. Pertama dikarenakan terlalu padatnya ungkapan ijaz. Misalnya ayat 3 dari surat al-Nisa:
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( .......
Menurut al-Zarqani ketidak jelasan ayat tersebut disebabkan sangat padatnya ungkapan tersebut. Oleh karenanya ayat tersebut perlu diberi penjelasan secukupnya, yang menurutnya adalah sebagai berikut:
وَاِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتَامَى لَوْ تَزَوَّجُوْهُنَّ, فَانْكِحُوْا مِنْ غَيْرِهِنَّ مَاطَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.....

Dan jika kalian cemas tidak akan mampu berlaku adil terhadap anak-anak yatim seandainya kalian mengawini (ibu) mereka, maka nikahilah wanita-wanita lain yang baik bagi kalian selain mereka.

Setelah diberi penjelasan, maka baru dapat dipahami maksud ayat itu dengan baik. Inilah salah satu kondisi yang mendorong umat, khususnya para ulama melakukan aktifitas penafsiran Alquran agar dapat dipahami kalam suci itu secara baik.
Kategori kedua yang membuat pengertian kalimat menjadi kabur ialah susunan kata kurang beruntun, misalnya, lafal قَيِّمًا dalam ayat 2 dari surat al-kahfi: الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا yang seharusnya الْحَمْدُ لِلهِ الَّذِى أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ قَيِّمًا وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا dengan penempatan serupa itu terasa ayat tersebut lebih mudah dipahami dan maknanya lebih cepat ditangkap oleh pembaca dan pendengar sebagaimana diakui oleh ulama.[13]
Adapun bentuk kedua yaitu makna. Terjadinya tasyyabuh terhadap pengertian yang dikandung biasanya terdapat pada ayat-ayat yang menginformasikan berita-berita gaib, seperti Tuhan, malaikat, surga, neraka, kiamat dan lainnya.[14]Ini terjadi karena mengenai kondisi ketuhanan Allah, sebagaimana ditegaskan dalam ayat 11 dari al-Ayu’ara: لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْئٌ.
Contohnya adalah يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ yang artinya tangan Allah diatas tangan-tangan mereka. Pengertian semua itu semu dan samar-samar bagi kita; tak ada yang tahu hakikat yang sebenarnya di balik ungkapan serupa itu. Ketidak jelasan makna tersebut timbul karena manusia juga memakai kata tersebut; tapi Tuhan sendiri mengatakan bahwa Dia berbeda sama sekali dari makhluk-Nya dalam semua aspeknya.
Bentuk terakhir adalah lafal dan makna sekaligus. Contohnya adalah pada ayat 189 dari surat al-Baqarah yang berbunyi: وَلَيْسَ الْبِرَّ بِأَنْ تَأْتُوْاالْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَا[15] yang artinya dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya. Menurut Nashruddin Baidan dengan mengutip dari al-Zarqani, bahwa ungkapan tersebut sulit dipahami karena terlalu padat (ijaz). Dari itu perlu diberi penjelasan, misalnya dengan menambahkan setelah lafal مِنْ ظُهُوْرِهَا "اِنْ كُنْتُمْ مُحْرِمِيْنَ بِحَجٍّ أَوْعُمْرَةٍ". Dengan demikian ayat itu mengandung pemahaman: “Dan bukanlah kebaikan itu bahwa kamu memasuki rumah-rumah dari belakangnya jika kamu dalam keadaan ihram pada waktu melaksanakan haji atau umrah.[16]Meskipun telah diberi penjalasan, namun masih tetap belum jelas maksud yang terkandung dalam ayat itu karena hal itu-tulis al-Zarqani-berkaitan erat dengan adat kebiasaaan bangsa Arab di masa jahiliyah; di mana penduduk Madar jika ihram membuat pintu (lubang) di belakang rumah, lalu mereka masuk dan keluar dari lubang itu; penduduk Wabar lain lagi, mereka keluar dari belakang tirai secara sembunyi-sembunyi. Lalu turunlah ayat tersebut.[17]
Dari gambaran itu tampak kepada kita bahwa kekaburan maksud ayat itu terasa dari dua segi lafal dan makna sekaligus. Dari sudut lafal dikarenakan ungkapannya terlalu padat, dan dari segi makna, berkaitan dengan latar belakang turun ayat tersebut.



c.    Sikap Ulama Terhadap Ayat-ayat Mutasyabih
Adapun sikap para ulama dalam menghadapi ayat-ayat mutasyabihat terbagi kedua kelomok yaitu menerima tanpa takwil dan menerima dengan takwil.
Kelompok pertama yang menerima tanpa takwil adalah kelompok salaf. Mereka tidak mau mempermasalahkannya, melainkan menyerahkan saja maksudnya kepada Allah tanpa reserve seperti tampak dalam jawaban Imam Malik ketika ditanya tentang اِسْتِوَاءٌ di dalam ayat الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى yang telah disebut di atas; katanya; “Bahwa Allah istiwa jelas (tapi) caranya tidak diketahui, dan pertanyaan tentang itu membawa kepada bid’ah (kesesatan).(lantas Imam Malik marah kepada seorang yang bertanya) “Saya rasa kamu seorang yang jahat, usir dia dari majlisku”.[18]
Sikap Imam Malik yang terasa sedikit kaku dan keras dalam menghadapi pemikiran-pemikiran yang tumbuh berkenaan dengan pemahaman dan penafsiran ayat-ayat mutasyabihat itu, pada hakikatnya melanjutkan apa yang dianut dan diamalkan oleh para sahabat dan tabiin sebelumnya. Dimana pada umumnya mereka mereka menerima dan mengimani saja apa yang diinformasikan Alquran atau hadits, tanpa mempertanyakan lagi, sekalipun informasi tersbut kadang-kadang tidak masuk akal dan tidak dapat dianalisis secara rasional melalui logika matematis.[19]
Adapun kelompok kedua adalah kelompok yang menerima dengan takwil yang biasanya disebut dengan kelompok khalaf. Alasan mengapa kelompok ini membolehkan takwil bersandar pada ayat beikut: وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ اِلَّا اللهُ وَالرَاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ امَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا..., ayat ini tercatat memiliki dua qiraat yaitu yang menetapkan wakaf pada lafal اِلَّا اللهُ dan kedua pada lafal الَّراسِخُوْنَ. Dan kelompok khalaf menggunakan qiraat kedua yang dengannya akan dibolehkan takwil.[20]
d.   Urgensi Mempelajari Ayat-ayat Mutasyabih
Urgensi mempelajari ayat-ayat mutasyabihat adalah untuk mengembangkan potensi akal-budi dan nalar pikiran. Dengan adanya ayat-ayat mutasyabihat  yang kurang terang pemahamannya, maka para ulama, pakar, ilmuwan dan sebagainya berusaha menegerahkan segenap kemampuan daya pikir dan zikir mereka untuk mengetahui makna-makna yang terselubung di balik ungkapan yang samar-samar itu.[21] Dan kondisi inilah kemudian yang membuat peradaban Islam berkembang sebagaimana tercatat dalam sejarah dunia, khususnya pada abad-abad pertengahan yang terkenal dengan zaman keemasan Islam.[22]





C.      KESIMPULAN
Dari penjelasan tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat menunjukkan bahwa Alquran merupakan kitab suci yang mempunyai keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kitab-kitab lainnya. Keistimewaan itu terletak pada dorongan untuk mengembangkan pemikiran rasional yang sistematis. Para ulama dari salaf samapai khalaf sebenarnya tidak melarang akan takwil, tetapi yang dilarang adalah takwil dengan maksud jahat dan menimbulkan fitnah.

D.      PENUTUP
Makalah ini berusaha memaparkan dan menjelaskan tentang ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat hanya secara global dan tidak terlalu mendalam sebagaimana di dalam buku-buku yang membahas tentang ini.
Oleh karena itu, maka makalah ini sangatlah jauh dari kesempurnaan dan perlu akan adanya perbaikan. Maka diharapkan kepada semua yang meneliti tafsir khususnya dalam muhkam dan mutasyabihat agar memperbaiki dan menyempurnakan makalah ini.





DAFTAR PUSTAKA
‘Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, t.tp., al-Dar al-Kuwaytiyyat, cet. VIII, 1968.
Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyrik, 1973.
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Negara RI, Semarang: Toha Putra, 1989.
al-Zarqani, Muhammad ‘Abd ‘Azh’im, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, II,tt.
Al-Zawi, Al-Thahir Ahmad, Tartib al-Qamus al-Muhith, Dar al-Fikr, cet. III, tt.
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Baidan, Nahruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Shihab, Quraish, Membumikan Alquran, Bandung: Mizan, 1992.



[1] Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyrik, 1973. hlm. 146.
[2] Al-Jahiz (w. 225 H), seorang ulama beraliran rasional dalam bidang teologi. Dkenal sebagai tokoh pertama dalam bidang penafsiran metaforis . ia tampl dengan gigih memperkenalkan makna-makna metaforis pada ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal ini harus diakui bahwa dia telah menghasilkan pemikiran-pemikiran yang sangat mengagumkan sehingga ampu menyelesaikan banyak problem pemahaman keagamaan atau ganjalan-ganjalan yang sebelumnya dihapai. Tokoh lain di bidang ini adalah murid Al-Jahiz, yakni ibn Qulaibah (w. 276 H) Bahkan, dinilai sebagai “juru bicara Ahlussunnah”. (lihat QUraish Shihab, Membumikan AL-Qur’an, Mizan, Bandung. 1992, hlm. 90-91
[3] Muhammad ‘Abd ‘Azh’im al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, Mesir: ‘Isa al-Bab al-Halabi, II,tt. Hlm. 274-476.
[4] Alquran: 11: 1.
[5] Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, hlm. 373.
[6] Al-Zarqani, Ibid.
[7] Nahruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Hlm. 159.
[8] Alquran: 3:7.
[9] Nahruddin Baidan, op. cit, hlm. 155.
[10] Selanjutnya lihat al-Suyuthi, op. cit., hlm. 115.
[11] Nahruddin Baidan, op. cit, hlm. 156.
[12] Al-Thahir Ahmad Al-Zawi, Tartib al-Qamus al-Muhith, Dar al-Fikr, cet. III, tt. Hlm. 579.
[13] ‘Abd al-Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, t.tp., al-Dar al-Kuwaytiyyat, cet. VIII, 1968, hlm. 278.
[14] Nahruddin Baidan, op. cit, hlm. 159.
[15] Alquran: 2: 189.
[16] Nahruddin Baidan, op. cit, hlm. 161. Lihat pula al-Zarqani, op.cit., hlm. 281.
[17] Ibid.
[18] Ibid, 162.
[19] Ibid.
[20] Nahruddin Baidan, op. cit, hlm. 164-165.
[21] Ibid, 167-168.
[22] Ibid, 168.

1 komentar: