Sabtu, 17 Desember 2011

Qiraat


QIRA’AT

PENDAHULUAN
Pengertian qira’at secara etimologis adalah masdar dari  قرأ-يقرأ yang berarti “membaca”, dan kata qiraat merupakan jamak dari qiraat. Jadi lafal qira’at secara ringkasnya berkonotasi “beberapa bacaan”.
Akan tetapi, beberapa ulama tafsir berbeda pengertian dalam ma’na qira’at secara teminologis. Seperti dalam kajian ilmu tafsir term ini berkonotasi: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-quran yang dipelopori oleh salah seorang imam(ahli) qiraat yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qiraat tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati”.[1]
Definisi diatas berbeda dengan definisi yang disampaikan oleh Ibn al-Jaziri sebagaimana dikutip al-Zarqoni dari kitab munjid al-Muqriin, ia menegaskan bahwa qira’at adalah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qiraat sebagai suatu aliran dan tidak pula menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dan sanad yang dilaluinya.[2] Dari kedua definisi yang berbeda ini, kita akan membahas kelanjutan dan sebab akibat dari pandangan Ibn al-Jaziri yang menafyikan qiraat adalah sebagai suatu aliran dan periwayatan dan jalurnya disepakati.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ilmu qira’at dalam kajian ini adalah pengetahuan mengenai qira’at sesuai dengan yang didefinisikan oleh ulam tafsir sebagaimana yang telah dijelaskan.
AL-QUR’AN DITURUNKAN ATAS TUJUH HURUF
 Ada yang berpendapat bahwa qiraat tujuh identik dengan dengan hadits nabi yang menyatakan bahwa al-Quran diturunkan atas tujuh huruf. Maka kita dapat menyimpulkan, sejauh mana kebenaran dari pendapat itu, dan apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tujuh huruf?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus megnetahui beberapa hadits nabi yang bersangkutan dengan kasus ini (al-Quaran diturunkan atas tujuh huruf), dan hadits ini hmpir sampai kederajat mutawatir, diantaranya,:
1.    قال رسول الله صلعم: "أقرأنى جبريل على حروف فراجعته فلم أزل أستزيده ويزيدنى حتى أنتهى الى سبعة أحرف" (رواه البخارى ومسلم)
2.    قال رسول الله صلعم: "ان هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقرؤوا ما تيسر مننه" (رواه البخارى ومسلم)
3.    قال رسول الله صلعم لى (أبى بن كعب): يا أبى أرسل الى أن أقرأ القران على حرف, فرددت اليه أن هون على أمتى, فرد الى الثانية, اقرأه على حرفين, فرددت اليه أن هون على أمتى, فرد الى الثالثة, اقرأه على سبعة أحرف". (رواه مسلم)
Dalam hadits-hadits yang dikemukakan diatas tampak dengan jelas bahwa dispensasi yang diberikan Rasul Allah saw dalam membaca al-Quran lebih dari satu huruf dimaksudkan untuk memberikan kemudahan kepada umat dalam membaca kitab suci, sehingga mereka tidak merasa dibebani oleh bacaan-bacaan yang sukar mereka lafalkan. Sebab pada zaman itu banyak dari kalangan arab yang ummi (buta huruf),[3]dan terdiri atas berbagai suku dan puak, masing-masing suku dan kelompok mempunyai bahasa dan dialek yang berbeda.
Dengan kemudahan dan kelonggaran yang diberikan nabi dalam membaca al-Quran, maka mereka makin tertarik kepada islam, sehingga mereka merasakan islam itu benar-benar diturunkan untuk mereka guna membimbing kehidupan mereka di muka bumi ini untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Selain itu ketujuh bacaan huruf yang disampaikan nabi sama nilainya dan sama orisinalnya, tak ada kelebihan atau keistimewaan bacaan yang satu dati yang lainnya karena semuanya sama datang dari Allah. Begitu pula tak ada pertentangan diantara bacaan-bacaan itu dari segi kandungan maknanya.
Meninjau dari uraian diatas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam kajian ilmu tafsir ialah tujuh macam bacaan yang diajarkan Rasul Allah tidak identik dengan qiraat tujuh yang populer dalam dunia islam. Adapun perbedaan antar keduanya adalah:
Qira’at Tujuh
Tujuh Huruf
Lahir pada abad II H, populer pada pertengahan abad IV[4].
Muncul pada zaman nabi
Tokohnya adalah Ibn Mujahid
Berasal dari nabi Muhammad saw
Berdasarkan ijtihad ulama
Orisinal berasal dari Allah

Jadi yang dimaksud dengan ‘Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” ialah memberi isyarat kepada umat bahwa mereka diberi kelonggaran untuk membaca al-Quran sesuai dengan bacaan yang mudah bagi mereka, dan ini sesuai dengan hadits Rasul Allah saw:
ان هذا القران أنزل على سبعة أحرف فاقرؤو ما تيسر منه
Artinya
Sesungguhnya Al-Quran diturunkan atas tujuh huruf, maka bacalah olehnu apa yang mudah darinya.[5]
      MACAM-MACAM QIRA’AT (YANG SAH DAN TIDAK SAH)
Yang dimaksud dengan qiraat yang sah disini adalah qira’at yang diterima dan diakui sahih oleh para ahli qiraat; artinya qiraat tersebut sesuai dengan yang diajarkan Rasul Allah saw. Sebaliknya, qira’at yang tidak sah ialah qira’at yang tidak diakui oleh ahli qiraat berasal dari Rasul Allah atau disebut juga “qiraat syaddzah”.
Pada mulanya tak ada qiraat yang tidak sah, tetapi setelah islam menyebar kedaerah-daerah yang teramat luas, maka dikirimlah para sahabat dan tabiin ke daerah-daerah tersebut unutk mengajarkan Al-Quran kepada umat. Maka muncullah beberapa qiraat diberbagai daerah.[6] Seadangkan yang dimaksd dengan qiraat sepuluh adalah tujuh qiraat yang telah disebut, ditambah 3 lagi yaitu qiraat Ya’qub al-Hadrami, Khallaf bin Hisyam dan Yazid bin al-Qoqa’. Adapun qiraat empat belas adalahsepuluh qiraat diatas ditambah dengan 4 qiraat lainnya yaitu al-Hasan Al-Basyri, Muhammad bin ‘Abd Rahman, Yahya bin al-Mubarak al-Yazidi dan Abu al-fajr Muhammad bin Ahmad Al-Syabudzi.[7]
Para ulama telah memberikan batasan atau kriteria qiraat yang sah (yang dapat diterima) dan yang tidak sah. Secara garis besarnya ada tiga kriteria pokok yang harus dimiliki oleh qiraat, apabila suatu qiraat tidak memenuhinya, maka qiraat tersebut ditolak. Ketiga persaratan itu ialah;
1.   Cocok dengan kaidah bahasa arab walaupun dalam satu aspek(wajh).
2.   Cocok dengan tulisan (rasm) salah satu mushaf Usmani sekalipun secara implisit.
3.   Jalan periwayatannya benar (sihhatul-isnad) meskipun terambil bukan dari kelompok tujuh dan sepuluh yang disebutkan diatas.[8]
Tetapi sebagian ulama yang berpendapat bahwa syarat itu tidaklah cukup, melainkan harus ditambah dengan persyaratan mutawatir karena syarat utama dalam menetapkan suatu teks sebagai salah satu ayat adalah mutawatir.[9] Kalau kita mengamati pendapat yang kedua itu maka kita akan menemukan kekeliruan di dalamnya yaitu, pertama, jika disyaratkan setiap huruf qiraat harus mutawatir, maka akan terbuanglah sebagian besar qiraat-qiraat yang tidak disepakati, padahal qiraat tersebut sudah tetap dari imam-imam qiraat yang tujuh, dan lain-lain. Selanjutnya tidaklah sama antara Al-Quran dengan qiraat, dan masing-masing mempinyai substansi yang berbeda. Maka pendapat salaf lebih baik dan selamat dari pendapat yang kedua (Ibn al-Jaziri).

KEDUDUKAN QIRA’AT AL-QUR’AN DITINJAU DARI KAIDAH BAHASA ARAB

Para ulama tafsir sepakat bahwa yang menjadi daar dalam membaca al-Quran ialah riwayat dari Rasul Allah bukan kaedah bahasa; artinya selama periwayatan suatu qiraat melalui perawi-perawi terpercaya, maka qiraat tersebut wajib diterima sekalipun tak cocok dengan kaedah bahasa arab.
Akan tetapi pendapat ini ditolak oleh beberapa ulama dan sebagian besarnya adalah ahli nahwu, seperti Sibawahi,[10]dan al-Khlil bin Ahmad.[11]Diantara qiraat yang tidak cocok dengan kaedah bahasa misalnya, qiraat hamzah dengan member harakat kasrah pada akhir kata اللأرحام dalam ayat pertama surat al-Nisa’[12]:
4#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ P%tnöF{$#ur
Contoh lain, misalnya ان هذان لساحران , para ahli nahwu menganggap qiraat serupa itu keliru karena tak sejalan dengan kaedah nahwu. Menurut mereka seharusnya ayat itu berbunyi: ان هذين لساحران yakni dengan mengganti “I” (alif) dengan ya karena jata tersebut dimasuki oleh ان yang bekerja me nasbkan kata yang dimasukinya.[13] Meskipun banyak contoh dari al-Quran yang dapat dikemukakan tidak berdasarkan kaedah bahasa arab melainkan pada riwayat dari nabi saw. Jadi tidak peduli, apkah cocok dengan kaidah atau tidak. Inilah yang ditegaskan oleh Abu Hayyan: “ kita tidak tunduk dibawah pendapat ulama nahwu Basrah, dan tidak pula dibawah pendapat ahli nahwu lain yang tak sependapat dengan mereka”.[14]
Dengan bukti yang dikemukakan itu jelaslah bahwa al-Quran mempunyai aturan khusus dalam penerapan kaidah-kaidah bahasa arab. Oleh karena itu tak mungkin dinilai keabsahan struktur kalimat al-Quran hanya berdasarkan kaidah bahasa arab semata, malah sebaliknya : Seyogyanya –tulis Anshari- menjadikan al-Quran sebagai sumber inspirasi yang tak kering dalam penetapan setiap kaidah bahasa.[15]

            PENGARUH QIRA’AT TERHADAP PENETAPAN HUKUM
Banyak contoh-contoh qiraat didalam al-Quran yang bisa kita ambil  kesimpulan bahwa qiraat itu berpengaruh terhadap penetapan hukum. Misalnya kata لامستم النساء (dengan memanjangkan bacaan لا ), Qiraat ini diriwayatkan oleh lima orang qori yang tujuh itu yaitu: Nafi’, Ibn Katsir, Abu Amr, ‘Ashim, dan ‘Amir. Sementara lainnya yakni  Hamzah dan al-Kisai membacanya لمستم (tanpa memanjangkan bacaan lam).[16]
Pendapat peertama mengatakan (yang memanjangkan lam)  bahwa yang dimaksud dengan لامستم dalam ayat itu ialah jimak; artinya, baru batal wudhu jika pria dan wanita melakukan jima. Berbeda dengan kelompok kedua yang cenderung dengan membaca  لمستمmengatakan dan menetapkan hukum, bahwa yang dimaksud dengan ayat diatas adalah asal bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan secara lngsung tanpa batas, batal wudhu masing-masing pihak. Ini menunjukkan bahwa qiraat itu berpengaruh pada penetapan hukum.

HIKMAH AL-QUR’AN DITURUNKAN ATAS TUJUH HURUF

Dari sejumlah hadits banyak yang menunjukkan hikmah dari diturunkan al-Quran atas tujuh huruf adalah untuk memberikan kemudahan bagi umat dalam membaca al-Quran, tetapi tidak ada salahnya kita mencoba merenungkan untuk menangkap sinyal-sinyal hikmah tersebut, sehingga tampak kepada kita bahwa perbedaan bacaan itu mengandung nilai yang tidak kecil antara lain sebagai berikut:[17]
1.      Memperkokoh kesatuan umat
2.      Bukti keagungan al-Qur’an
3.      Memberikan kelegaan pada umat
4.      Memberikan kemudahan

            KESIMPULAN
Diturunkannya qiraat pada nabi saw adalah untuk mempermudah dan memberikan kelegaan pada umat islam dalam membaca kitab sucinya agar mudah dipahami dan diambil hikmah yang terdapat didalamnya. Qiraat juga memberikan pengaruh terhadap penetapan hukum dan qiraat tidak tunduk atau terikat pada kaedah bahasa arab tetapi sebaliknya, seharusnya kaedah bahasalah yang harus mengikuti al-Qur’an.
          REFRENSI
1.      Muhammad A’bd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manahil al-‘Irfani, Mesir, al-Bab al-Habibi, I.t.t.
2.      Ibn al-Jaziri, al-Nasyr fi al-qiraat al-Asyr, Beirut, Darul-fikr,t.t.
3.      Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta 2005.
4.      Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Kairo, Darulkatib, al-arabi, V,1967.
5.      Al-Ansari, Ahmad Makki, Difa’ an al-Quran Didh an-nahwiyin wa al-Musytasyriqiin, Mesir, Darul-Ma’arif, 1973.



[1] Muhammad A’bd al-‘Azhim al-Zarqoni, Manahil al-‘Irfani, Mesir, al-Bab al-Habibi, I.t.t, hlm 412. Dikutip dari buku wawasan baru ilmu tafsir karangan Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, bagian kedua komponen eksternal jati diri al-quran & kepribadian mufassir, bab !, qiraat, pustaka pelajar, Yogyakarta 2005, hlm 92.
[2] Ibid, hlm 93.
[3] Ibid,143
[4] Ibn al-Jaziri, al-Nasyr fi al-qiraat al-Asyr, Beirut, Darul-fikr,t.t. I, hal 24.
[5] Al-Zarqoni,op, cit., hal 144.
[6] Qiraat ‘Abd Allah bin Katsir al Dari( wafat 120 H) di Makkah, Qiraat Nafi’ bin ‘abd Rahman bin Abi Na’im (wafat 169) di madinah, Qiraat ‘Abd Allah al-Yasyubi di Syam, Qiraat Hamzah di Kufah, Qiraat Ya’Qub, Qiaraat ‘Asyim  dll.
[7] Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta 2005, hal 104
[8] Shubhu al-Shalih, op. Cit., h. 250
[9] Ibn al-Jaziri, loc. Cit.
[10] Tokoh ulama nahwu paling berpengaruh di Basrah pada masanya.
[11] Guru dari Sibawahi
[12] Al-Ansari, Ahmad Makki, Difa’ an al-Quran Didh an-nahwiyin wa al-Musytasyriqiin, Mesir, Darul-Ma’arif, 1973. Hal 1
[13] Al-Anshari,op. Cit,  h. 61
[14] Abu Hayyan, op. Cit, h. 159
[15] Al-Anshari, op.cit. h. 9
[16] Al-Qurthubi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-Anshari, al-Jami’ li ahkam al-Quran, Kairo, Darulkatib, al-arabi, V,1967, h 233
[17] Prof. Dr. Nashruddin Baidhan, Wawasan baru ilmu tafsir, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2005. Hal 114-115

Tidak ada komentar:

Posting Komentar