Senin, 12 Desember 2011

TAFSIR Al-MIZAN


TAFSIR Al-MIZAN

PENDAHULUAN
Kajian terhadap al-Quran dari berbagi segi penafsirannya selalu menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, sejak diturunkannya al-Quran hingga sekarang ini munculnya berbagai penafsiran atasnya dan karya karya tafsir yang sarat dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya untuk menafsirkan al-Quran memang tidak pernah berhenti sebab umat islam pada umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Quran sebagai “mitra dialog” dalam menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah yang sesungguhnya menjadi pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran al-Quran. Sebagaimana kitab tafsir al-Mizan yang dikarang oleh Thaba’thabai,

PEMBAHASAN
Biografi Penulis
Sosok ulama yang satu ini adalah seorang mufasir dan filsuf besar. Diantara karya qurani beliau yang paling berharga adalah Tafsir Al-Mizan, yang menjadi salah satu rujukan tafsir kontemporer paling populer. Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab paling komplit dari sisi metode dan muatan. Berikut biografi mufasir besar ini yang ditulis langsung oleh beliau pada awal-awal tahun 1341 Hijriah Syamsiah.
Muhammad Husain Thaba’thabai, lahir di kota Tabriz pada tahun 1281 H. Sy, di tengah-tengah keluarga pecinta ilmu. Pada usia lima tahun saya ditinggal oleh ibunda tercinta dan tiga tahun setelahnya saya menjadi yatim piatu, karena ditinggal ayah. Mengingat keluarga kami termasuk keluarga yang mampu, kondisi kehidupan kami tetap berjalan dan dengan bantuan seorang wakil (pengasuh) beserta istrinya yang telah ditunjuk oleh ayah, kami meneruskan roda kehidupan yang mesti dilakoni.
Tak lama setelah kepergian ayah, saya dikirim ke sebuah madrasah dan akhirnya  saya  digembleng oleh sorang guru privat yang selalu datang ke rumah. Dan begitulah, tanpa terasa enam tahun saya mempelajari bahasa Persia dan pelajaran-pelajaran dasar. Pada waktu itu, pelajaran-pelajaan dasar belum memiliki program dan kurikulum khusus dan tetap. Yang saya ingat dari tahun 1290-1296 H. Sy. pelajaran yang paling banyak saya terima adalah Al-Quran, kitab Gulistan, Bustan Sa’di, Nishab, Akhlak Mushawar, Anwar Sahili, Tarikh Mu’jam dan Irsyadul Hisab.
Pada tahun 1297 H. Sy saya mulai memasuki pelajaran agama dan bahasa Arab. Hingga tahun 1304 H. Sy saya sibuk membaca teks-teks pelajaran. Dalam kurun waktu tujuh tahun inilah, saya menamatkan kitab-kitab berikut ini: Amtsilah, Sharf Mir, Tashrif, ‘Awamil dalam Ilmu Nahwu, Anmudaj, Shamadiyah, Suyuthi, Jami dan Mugni tentang penjelasan kitab Muthawal, dalam Fiqih; Syarh Lum’ah, Makasib, dalam Ushul, kitab Ma’alim, Qawanin, Rasail, Kifayah, dalam ilmu Logika; Hasyiah dan Syarh Syamsiyah, dalam filsafat Kitab Syarh Isyarat, dalam teologi kitab Kasyful Murad.
Pada tahun 1304 saya pergi ke Hauzah Najaf untuk meneruskan pelajaran. Di sana saya menghadiri pelajaran Marhum Ayatollah Syekh Muhammad Husain Isfahani. Sekitar 6 tahun pelajaran Ijtihad Ushul dan empat tahun pelajaran kharij Fiqih saya lewati. Begitu juga saya hadir pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Naini selama delapan tahun dan sekali menamatkan pelajaran kharij fiqih beliau, serta sedikit hadir dalam pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Sayid Abul Hasan Isfahani.
Universalia tentang ilmu Rijal saya terima dari Ayatollah Hujjat Kuh Kamari.  Dalam filsafat saya juga mendapat taufik untuk belajar dari seorang filsuf besar saat itu, Sayid Husain Badkubi. Di bawah arahan beliau, dalam waktu enam tahun saya dapat menyelesaikan pelajaran seperti, Mandhumah Sabzawari, Asfar, Masyair Mullah Shadra, Syifa, Tamhid Ibn Turkah dan AkhlakIbn Maskawaih.
 Al-Marhum Ustadz Badkubi saking perhatiannya terhadap perkembangan intelektualitas saya, senantiasa menganjurkan kepada saya untuk mempelajari matematika guna memperkuat sistem pemikiran argumentatif dan untuk menguatkan analisa filosofis.  Dalam rangka menjalankan petuah beliau akhirnya saya menghadiri pelajaran Sayid Abul Qasim Khansari, ahli matematika yang amat terkenal waktu itu dan saya mulai mempelajari perhitungan argumentatif.
Pada tahun 1314 H. Sy karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, terpaksa saya kembali ke kampung halaman, kota Tabriz. Sekitar 10 tahun saya di sana. Tanpa basa basi lagi, masa ini merupakan masa yang sangat merugikan jiwa dan mental saya, karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan, saya terpaksa terjun ke dunia pertanian dan meninggalkan tadris dan pemikiran ilmiah yang begitu saya gandrungi.  
Pada tahun 1325 H. Sy saya mengesampingkan masalah kehidupan dan kampung halaman dan menuju Hauzah ilmiah Qom. Di kota inilah saya kembali menggeluti pembahasan ilmiah dan hingga sekarang tahun 1341 H. Sy saya meneruskan aktivitas ini.  Hanya saja perlu dipahami setiap orang dalam kehidupannya pasti menghadapi manis - pahitnya kehidupan. Saya juga demikian, kehidupan saya diwarnai dengan keyatiman, keterasingan, berpisah dari teman, kekurangan isi saku dan problem-problem lain. Alhasil saya telah menghadapi pasang surutnya kehidupan, dan merasakan berbagai nuansa kehidupan. Akan tetapi saya selalu merasakan ada tangan gaib yang selalu menyelamatkan saya dari gang buntu dan membawa saya kepada cahaya hidayah.
Pada awal-awal pendidikan, saya sibuk dengan pelajaran tata bahasa Arab, Nahwudan Sharaf. Saya tidak memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pelajaran seperti ini. Oleh karena itu, dengan minat yang minim, saya selalu kesulitan dalam memahami pelajaran yang saya terima. Saya masih ingat empat tahun pelajaran (tata bahasa) itu saya tempuh.
Kemudian pada akhirnya tanpa terasa dan saya sadari, inayah Allah  datang dan merubah segalanya. Saya merasa tak kenal lelah dari awal belajar hingga akhir – yang kurang lebih memakan waktu 17 tahun-. Saya juga lupa akan indahnya dunia yang membuat belajar menjadi kurang nikmat dan bersemangat. Saya merasa cukup dengan hal yang sangat sederhana dalam makanan, pakaian dan atribut materi lainnya. Lebih dari itu, saya curahkan semuanya untuk mutala’ah. Sering kali saya belajar semalam suntuk hingga pajar menyingsing (khususnya pada musim panas) dan senantiasa membaca pelajaran yang akan saya pelajari esok harinya, dan jika ada isykalan dengan segala cara saya tuntaskan sendiri. Rasanya tidak pernah saya hadir ke kelas dengan membawa iskalan dan pertanyaan.
Beberapa karya yang saya tulis saat belajar di kota Najaf adalah, Risalah dar Burhan,Risalah dar Mughalathoh, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib, Risalah dar I’tibariyat.Sedang karya-karya saya sewaktu berada di kota Tabriz adalah sebagai berikut; Risalah dar Itsbate dzat, Risalah dar Asma’ wa Sifat, Risalah dar Af’al, Risalah dar Wasaith Khudo wa Insan, Risalah Insan qablaz Dunya, Risalah Insan Fi Dunya, Risalah dar Wilayat dan Risalah dar Nubuwa. Semua risalah-risalah ini berisikan dalil-dalil logis dan tekstual.  
Sedangkan hasil karya saya di kota suci Qom adalah Tafsir Mizan yang terbit dalam 20 jilid. Dalam kitab ini saya berusaha menafsirkan Al-Quran dengan metode yang belum pernah digunakan oleh mufasir sebelumnya yaitu metode menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, ayat dengan ayat-ayat yang lain. Karya lain saya di kota ini adalah Usul Falsafah (Rawesy realisme), dalam buku ini saya membahas dan membandingkan filsafat barat dan timur, kemudian Hasyiah Kifayatul Usul, Hasyiahterhadap kitab Mulla Shadra yang dicetak dalam 9 jilid. Risalah wilayah dan pemerintahan Islam. Di samping itu, dialog pada tahun 1338 h.sy dengan Profesor Karben, orientalis dari Prancis. Risalah dar I’jaz, Ali wa falsafah Ilahiah, Syi’ah dar Islam, Quran dar Islam, Kumpulan makalah, tanya jawab, pembahasan ilmiah dan filosofis yang beragam, dan terakhir Sunan Nabi. [Era Al-Quran]


Latar Belakang Penulisan
Penulisan tafsir al-Mizan itu sendiri berawal ketika ia datang dari Tabriz ke Qum. Ia mempelajari dan melihat adanya kebutuhan dalam diri masyarakat Islam, berikut berbagai situasi yang melingkupi lembaga Qum ini.
Setelah itu, Thabathabai sampai pada kesimpulan bahwa lembaga tersebut amat membutuhkan satu tafsir al-Quran untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik dan instruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam teks yang paling penting dan paling tinggi kedudukannya dalam Islam ini.
Di sisi lain karena gagasan-gagasan materialistik telah sangat mendominasi, ada kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis Ayatullah Murtadha Muthahhari, seorang ulama yang mempunyai pemahaman yang mendalam tentang filsafat Islam dan filsafat Barat, pernah mengatakan bahwa tafsir al-Mizan adalah yang terbesar yang pernah ditulis orang sepanjang sejarah kejayaan Islam, dan diperlukan waktu 60 hingga 100 tahun sampai orang menyadari kebesaran karya Allamah Thabathabai ini.
Contoh tafsir al-Mizan
            Mengaitkan hukum bolehnya menikahi perempuan-perempuan muhshanat itu dengan syarat mereka itu dari golongan orang-orang yang telah menerima kitab suci tanpa menjelaskan dati golongan yahudi atau nashrani, misalnya atau bahkan tidak ditegaskan sebagai ‘ahli kitab’ semua itu tidak terlepas dari maksud untuk mengingatkan kita akan suatu kemuliaan. Konteks pembicaraan memang   dalam rangka menjelaskan suatu anugerah dan dispensasi (dalam menikahi perempuan perempuan non muslimah) dengan demikian makna ayat tersebut adalah: “ kami menganugerahkan dispensasi dan kemerdekaan dengan mencabut keharanman menjalin pertkawinan antara pria muslim dengan perempuan baik-baik dari ahli kitab karena mereka lebih dekat kepadamu dari senua penganut agama lainnya sebab nereka menerima kitab suci mengakui tuhan dan risalah kenabian hal ini bertolak belakang dengan sikap kaum musyrikin  dan penyembah berhala yang selalu memgimgkari kenabian.
            Selanjutnya yang dimaksud dengan al-muhshanat dalam ayat itu ialah: “perempuan baik-baik”. itulah salah satu dari beberapa makna al-ihshan yang tidak berkonotasi: “perempuan-perempuan yang telah bersuami” [perempuan-perempuan baik-baik]. kemudian dengan dihimpunnya dalam satu ungkapan antara al-muhshanat dari ahli kitab dan al-muhshanat dari orang orang mukminat, sebagaimana tampak kepada kita, maka itu berarti keduanya merujuk pada satu makna yang sama, yakni “perempuan-perempuan baik baik”, bukan bermahna mereka yang yang telah memeluk islam karena al-muhshanat juga ditegaskan Allah ada dari kalanmgan mereka yang telah diberi hitab suci; dan juga perempuan-perempuan merdeka karena perempuan budak pun halal dinikahi. Jadi tidak ada makna lain dari al-muhshanat dalam ayat ini kecuali “perempuan-perempuan” baik-baik.
            Berdasarkan uraian-uraian yang lalu, maka jelaslah bahwa persyaratan halalnya menikahi perempuan-perempuan baik baik dari ahli kitab bagi pria muslim sebagaimana ditegaskan oleh ayat itu apakah untuk selamanya atau hanya sementara waktu saja tidak ada penegasan. Tapi yang jelas dalam ayat itu hanya disyaratkan membayar mahar dan hubungan tersebut dalam bentuk perkawinan yang sah bukan “kumpul kebo” atau pacaran. Jadi kehalalan hubungan ialah atas dasar perkawinan yang sah dengan membayar mahar yang cuhup bukan “kumpul kebo” Dan tak ada persyaratan lain misalnya mengenai durasi perkawinann apakah untuk selamanya atau hanya temporer saja.

Contoh Penafsiran Al-Qurthubi Tentang Al-Muhshanat Dalam Al-Qur’an
Al-tahashshun adalah sesuatu yang terpelihara dan terjaga baik: dari akar ini diambil kosa kata al-hish (benteng) karena dengan benteng itu orang dapat bertahan dan selamat. Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan Kami mengajarinya (Nabi Dawud) membuat baju besi agar dapat menyelamatkan kamu dalam pertempuran” (QS. al-Anbiya’: 80) artinya dengan baju itu kamu menjadi terpelihara dan terjaga (dari cedera dalam pertempuran). Lafal al-hishan yang berarti kuda jantan juga berasal dari akar kata ini karena kuda memang dapat mencegah pemiliknya dari kecelakaan. Tapi al-hashan berarti al-‘afifat (perempuan baik-baik) karena kepribadiannya yang baik itu dapat menjaga dirinya dari kehancuran. Perempuan yang pandai menjaga dirinya kan selalu terpelihara sehingga dia menjadi seorang yang terpelihara dengan baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenan dengan firman Allah (dan perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi kitab) yaitu mereka yang mempunyai perjanjian damai dengan pemerintah Islam bukan yang berada di wilayah perang; jadi ayat itu berkonotasi khusus, (tidak umum bagi semua perempuan kafir). Tapi ada yang berpendapat bahwa konotasi ayat itu umum pada semua perempuan kafir, baik yang zimmiyzt maupun yang harbiyyat. Satu riwayat lagi dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan:”al-muhshanat” itu artinya “perempuan baik-baik lagi cerdas”. Menurut al-Sya’bi yang dimaksud dengan al-muhshanat itu adalah perempuan yang menjaga kehormatannya, sehingga dia tidak mau berzina dan selalu mandi dari hadas besar (janabat). Al-Sya’bi membaca ayat itu “al-muhshanat” denga shad bergaris di bawah. Bacaan ini kemudian diikuti oleh al-Kisa’i. kata Mujahid yang dimaksud dengan al-muhshanat ialah perempuan-perempuan merdeka bukan budak (hamba sahaya). Menurut Abu Ubayd, pendapat itu berkonotasi kepada tidak halalnya menikahi budak-budak ahli kitab karena Allah telah menegaskan (kalau kalian tidak sanggup membayar mahar perempuan merdeka) maka nikahilah perempuan-perempuan budak yang kamu miliki diantara gadis-gadis mukminat itu. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama.

Karakteristik Tafsir al Mizan dan Qhurtubik
           
            Tafsir al-Mizan meskipun mirip dengan al-Qhurtubi, yakni sama-sama didominasi oleh pemikiran rasional, tapi fikihnya tampak dengan jelas memihak kepada konsep syiah. Seperti tertera di bawah ini
dalam ayat itu hanya disyaratkan membayar mahar dan hubungan tersebut dalam bentuk perkawinan yang sah bukan “kumpul kebo” atau pacaran. Jadi kehalalan hubungan ialah atas dasar perkawinan yang sah dengan membayar mahar yang cuhup bukan “kumpul kebo” Dan tak ada persyaratan lain misalnya mengenai durasi perkawinann apakah untuk selamanya atau hanya temporer saja.
            Penafsiran ini dikatakan memihak kepada fikih syi’ah karena sampai sekarang syiah masih memperbolehkan nikah mut’ah.
            Sementara tafsir Qurthubi mengawali tafsirannya dengtan mencari pemahaman secara bahasa kemudian menuju kepada makna teknis (syar’i), bagaimana pengamalannya oleh nabi dan para sahabat. berdasarkan kondiasi diatas



            Selanjutnya dalam bidang fikih Thaba’thabai tampak dengan jelas memihak kepada konsep msyiah, bukan sepertyi al-Zamakjhsyari yang bersikap netral. Dikatakan penafsiran ini mkemihak Syaih karena syiahlah smpai sekarang yang masih memperbolehkan nikah mut’ah, dengan mengamati penafsiran yanmg dikemukakan oleh al-Thabathabai diatas maka jelas bagi kita bahwa tafdsirnya itu menggunakan bentuk tafsir
Bentuk, Metode Dan Corak Dalam Tafsir al-Mizan
Bentuk penafsiran dalam kitab tafsir al-Mizan adalah tafsir bi al-ra’yi. dikarenakan dalam menafsirkan ayat al-Quran Muhammad Husain Thaba’thabai, banyak mengambil pemikiran-pemikiran ulama dan membandingkannya kemudian beliau analisis. Sehingga metode yang digunakannya didalam penafsiran ialah metode analitis atau tahlili. Sedangkan coraknya ialah pemikiran falsafi sebab dalam tafsirnya banyak bersandar kepada ilmu filsafat yang ia pelajari di Qum.[1]

       I.            PENUTUP
Perkembangan sebuah pemikiran tidak akan dapat dipahami kecuali jika kita memahami dasr-dasar perkembangan tersebut, seorang penafsir sebereapapun tinggi kedudukannya bukanlah seorang malaikat[2]. Mereka tidak pernah bisa terbebas dari kelemahan dan keterbatasan yang manusiawi
Namun ini semua membuktikan kemukjizatan al-Quran, sebagi mukjizat yang sinambung dan kekal bersama manusia. Karena setiap kali manusia mengalami perkembangan, mereka tidak merasakan kitab tersebut tertinggal jauh dibelakang mereka, tapi beriringan jalan dengan mereka. Bahkan berposisi sidepan mereka. Dari pemahaman akan kitab itu, mereka dapat mengambil inspirasi.

    II.            REFERENSI
Al Banna, Gamal, Evolusi Tafsir, Qisthi Press, Jakarta, 2004
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Thabathaba’i, M. Husein, al Mizan fi Tafsir al Qur’an, Mu’asasat al A’lamy, Beirut.
eraalqur’an.wordpress.com
icc-jakarta.com



 










[1] Muhammad Husein Thabathaba’i, al Mizan fi Tafsir al Qur’an, Beirut, Mu’asasat al A’lami.

[2] Gamal al-Banna, Evolusi Tafsir, Qisthi Press, Jakarta, hal. 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar