TAFSIR
Al-MIZAN
PENDAHULUAN
Kajian
terhadap al-Quran dari berbagi segi penafsirannya selalu menunjukkan
perkembangan yang cukup signifikan, sejak diturunkannya al-Quran hingga
sekarang ini munculnya berbagai penafsiran atasnya dan karya karya tafsir yang sarat
dengan berbagai ragam metode maupun pendekatan, merupakan bukti bahwa upaya
untuk menafsirkan al-Quran memang tidak pernah berhenti sebab umat islam pada
umumnya ingin senantiasa menjadikan al-Quran sebagai “mitra dialog” dalam
menjalani kehidupan dan mengembangkan peradaban. Proses dialektika antara teks
yang terbatas dan konteks yang tak terbatas itulah yang sesungguhnya menjadi
pemicu dan pemacu bagi perkembangan penafsiran al-Quran. Sebagaimana kitab
tafsir al-Mizan yang dikarang oleh Thaba’thabai,
PEMBAHASAN
Biografi
Penulis
Sosok
ulama yang satu ini adalah seorang mufasir dan filsuf besar. Diantara karya
qurani beliau yang paling berharga adalah Tafsir Al-Mizan, yang menjadi salah
satu rujukan tafsir kontemporer paling populer. Kitab tafsir ini merupakan
salah satu kitab paling komplit dari sisi metode dan muatan. Berikut biografi
mufasir besar ini yang ditulis langsung oleh beliau pada awal-awal tahun 1341
Hijriah Syamsiah.
Muhammad
Husain Thaba’thabai, lahir di kota Tabriz pada tahun 1281 H. Sy, di
tengah-tengah keluarga pecinta ilmu. Pada usia lima tahun saya ditinggal oleh
ibunda tercinta dan tiga tahun setelahnya saya menjadi yatim piatu, karena
ditinggal ayah. Mengingat keluarga kami termasuk keluarga yang mampu, kondisi
kehidupan kami tetap berjalan dan dengan bantuan seorang wakil (pengasuh)
beserta istrinya yang telah ditunjuk oleh ayah, kami meneruskan roda kehidupan
yang mesti dilakoni.
Tak
lama setelah kepergian ayah, saya dikirim ke sebuah madrasah dan akhirnya
saya digembleng oleh sorang guru privat yang selalu datang ke rumah. Dan
begitulah, tanpa terasa enam tahun saya mempelajari bahasa Persia dan
pelajaran-pelajaran dasar. Pada waktu itu, pelajaran-pelajaan dasar belum
memiliki program dan kurikulum khusus dan tetap. Yang saya ingat dari tahun
1290-1296 H. Sy. pelajaran yang paling banyak saya terima adalah Al-Quran,
kitab Gulistan, Bustan Sa’di, Nishab, Akhlak Mushawar, Anwar Sahili, Tarikh
Mu’jam dan Irsyadul Hisab.
Pada
tahun 1297 H. Sy saya mulai memasuki pelajaran agama dan bahasa Arab. Hingga
tahun 1304 H. Sy saya sibuk membaca teks-teks pelajaran. Dalam kurun waktu
tujuh tahun inilah, saya menamatkan kitab-kitab berikut ini: Amtsilah, Sharf
Mir, Tashrif, ‘Awamil dalam Ilmu Nahwu, Anmudaj, Shamadiyah, Suyuthi, Jami dan
Mugni tentang penjelasan kitab Muthawal, dalam Fiqih; Syarh Lum’ah, Makasib,
dalam Ushul, kitab Ma’alim, Qawanin, Rasail, Kifayah, dalam ilmu Logika;
Hasyiah dan Syarh Syamsiyah, dalam filsafat Kitab Syarh Isyarat, dalam teologi
kitab Kasyful Murad.
Pada
tahun 1304 saya pergi ke Hauzah Najaf untuk meneruskan pelajaran. Di sana saya
menghadiri pelajaran Marhum Ayatollah Syekh Muhammad Husain Isfahani. Sekitar 6
tahun pelajaran Ijtihad Ushul dan empat tahun pelajaran kharij Fiqih saya
lewati. Begitu juga saya hadir pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Naini
selama delapan tahun dan sekali menamatkan pelajaran kharij fiqih beliau, serta
sedikit hadir dalam pelajaran kharij fiqih Marhum Ayatollah Sayid Abul Hasan
Isfahani.
Universalia
tentang ilmu Rijal saya terima dari Ayatollah Hujjat Kuh Kamari. Dalam
filsafat saya juga mendapat taufik untuk belajar dari seorang filsuf besar saat
itu, Sayid Husain Badkubi. Di bawah arahan beliau, dalam waktu enam tahun saya
dapat menyelesaikan pelajaran seperti, Mandhumah Sabzawari, Asfar, Masyair
Mullah Shadra, Syifa, Tamhid Ibn Turkah dan AkhlakIbn Maskawaih.
Al-Marhum
Ustadz Badkubi saking perhatiannya terhadap perkembangan intelektualitas saya,
senantiasa menganjurkan kepada saya untuk mempelajari matematika guna memperkuat
sistem pemikiran argumentatif dan untuk menguatkan analisa filosofis.
Dalam rangka menjalankan petuah beliau akhirnya saya menghadiri pelajaran Sayid
Abul Qasim Khansari, ahli matematika yang amat terkenal waktu itu dan saya
mulai mempelajari perhitungan argumentatif.
Pada
tahun 1314 H. Sy karena kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, terpaksa saya
kembali ke kampung halaman, kota Tabriz. Sekitar 10 tahun saya di sana. Tanpa
basa basi lagi, masa ini merupakan masa yang sangat merugikan jiwa dan mental saya,
karena untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan, saya terpaksa terjun ke
dunia pertanian dan meninggalkan tadris dan pemikiran ilmiah yang begitu saya
gandrungi.
Pada
tahun 1325 H. Sy saya mengesampingkan masalah kehidupan dan kampung halaman dan
menuju Hauzah ilmiah Qom. Di kota inilah saya kembali menggeluti pembahasan
ilmiah dan hingga sekarang tahun 1341 H. Sy saya meneruskan aktivitas
ini. Hanya saja perlu dipahami setiap orang dalam kehidupannya pasti
menghadapi manis - pahitnya kehidupan. Saya juga demikian, kehidupan saya
diwarnai dengan keyatiman, keterasingan, berpisah dari teman, kekurangan isi
saku dan problem-problem lain. Alhasil saya telah menghadapi pasang surutnya
kehidupan, dan merasakan berbagai nuansa kehidupan. Akan tetapi saya selalu
merasakan ada tangan gaib yang selalu menyelamatkan saya dari gang buntu dan
membawa saya kepada cahaya hidayah.
Pada
awal-awal pendidikan, saya sibuk dengan pelajaran tata bahasa Arab, Nahwudan
Sharaf. Saya tidak memiliki keinginan yang besar untuk melanjutkan pelajaran
seperti ini. Oleh karena itu, dengan minat yang minim, saya selalu kesulitan
dalam memahami pelajaran yang saya terima. Saya masih ingat empat tahun
pelajaran (tata bahasa) itu saya tempuh.
Kemudian
pada akhirnya tanpa terasa dan saya sadari, inayah Allah datang dan
merubah segalanya. Saya merasa tak kenal lelah dari awal belajar hingga akhir –
yang kurang lebih memakan waktu 17 tahun-. Saya juga lupa akan indahnya dunia
yang membuat belajar menjadi kurang nikmat dan bersemangat. Saya merasa cukup
dengan hal yang sangat sederhana dalam makanan, pakaian dan atribut materi
lainnya. Lebih dari itu, saya curahkan semuanya untuk mutala’ah. Sering kali
saya belajar semalam suntuk hingga pajar menyingsing (khususnya pada musim
panas) dan senantiasa membaca pelajaran yang akan saya pelajari esok harinya,
dan jika ada isykalan dengan segala cara saya tuntaskan sendiri. Rasanya tidak
pernah saya hadir ke kelas dengan membawa iskalan dan pertanyaan.
Beberapa
karya yang saya tulis saat belajar di kota Najaf adalah, Risalah dar
Burhan,Risalah dar Mughalathoh, Risalah dar Tahlil, Risalah dar Tarkib, Risalah
dar I’tibariyat.Sedang karya-karya saya sewaktu berada di kota Tabriz adalah
sebagai berikut; Risalah dar Itsbate dzat, Risalah dar Asma’ wa Sifat, Risalah
dar Af’al, Risalah dar Wasaith Khudo wa Insan, Risalah Insan qablaz Dunya,
Risalah Insan Fi Dunya, Risalah dar Wilayat dan Risalah dar Nubuwa. Semua
risalah-risalah ini berisikan dalil-dalil logis dan tekstual.
Sedangkan
hasil karya saya di kota suci Qom adalah Tafsir Mizan yang terbit dalam 20
jilid. Dalam kitab ini saya berusaha menafsirkan Al-Quran dengan metode yang
belum pernah digunakan oleh mufasir sebelumnya yaitu metode menafsirkan
al-Quran dengan al-Quran, ayat dengan ayat-ayat yang lain. Karya lain saya di
kota ini adalah Usul Falsafah (Rawesy realisme), dalam buku ini saya membahas
dan membandingkan filsafat barat dan timur, kemudian Hasyiah Kifayatul Usul,
Hasyiahterhadap kitab Mulla Shadra yang dicetak dalam 9 jilid. Risalah wilayah
dan pemerintahan Islam. Di samping itu, dialog pada tahun 1338 h.sy dengan
Profesor Karben, orientalis dari Prancis. Risalah dar I’jaz, Ali wa falsafah
Ilahiah, Syi’ah dar Islam, Quran dar Islam, Kumpulan makalah, tanya jawab,
pembahasan ilmiah dan filosofis yang beragam, dan terakhir Sunan Nabi. [Era
Al-Quran]
Latar Belakang Penulisan
Penulisan
tafsir al-Mizan itu sendiri berawal ketika ia datang dari Tabriz ke Qum. Ia
mempelajari dan melihat adanya kebutuhan dalam diri masyarakat Islam, berikut berbagai
situasi yang melingkupi lembaga Qum ini.
Setelah
itu, Thabathabai sampai pada kesimpulan bahwa lembaga tersebut amat membutuhkan
satu tafsir al-Quran untuk mendapatkan sebuah pemahaman yang lebih baik dan
instruksi yang lebih efektif untuk sampai pada makna yang tersirat dalam teks
yang paling penting dan paling tinggi kedudukannya dalam Islam ini.
Di
sisi lain karena gagasan-gagasan materialistik telah sangat mendominasi, ada
kebutuhan besar akan wacana rasional dan filosofis Ayatullah Murtadha Muthahhari,
seorang ulama yang mempunyai pemahaman yang mendalam tentang filsafat Islam
dan filsafat Barat, pernah mengatakan bahwa tafsir al-Mizan adalah yang
terbesar yang pernah ditulis orang sepanjang sejarah kejayaan Islam, dan
diperlukan waktu 60 hingga 100 tahun sampai orang menyadari kebesaran karya
Allamah Thabathabai ini.
Contoh
tafsir al-Mizan
Mengaitkan hukum bolehnya menikahi
perempuan-perempuan muhshanat itu dengan syarat mereka itu dari golongan
orang-orang yang telah menerima kitab suci tanpa menjelaskan dati golongan
yahudi atau nashrani, misalnya atau bahkan tidak ditegaskan sebagai ‘ahli kitab’
semua itu tidak terlepas dari maksud untuk mengingatkan kita akan suatu
kemuliaan. Konteks pembicaraan memang dalam rangka menjelaskan suatu anugerah dan
dispensasi (dalam menikahi perempuan perempuan non muslimah) dengan demikian
makna ayat tersebut adalah: “ kami menganugerahkan dispensasi dan
kemerdekaan dengan mencabut keharanman menjalin pertkawinan antara pria muslim
dengan perempuan baik-baik dari ahli kitab karena mereka lebih dekat kepadamu
dari senua penganut agama lainnya sebab nereka menerima kitab suci mengakui
tuhan dan risalah kenabian hal ini bertolak belakang dengan sikap kaum
musyrikin dan penyembah berhala yang
selalu memgimgkari kenabian.
Selanjutnya yang dimaksud dengan al-muhshanat
dalam ayat itu ialah: “perempuan baik-baik”. itulah salah satu dari beberapa
makna al-ihshan yang tidak berkonotasi: “perempuan-perempuan yang
telah bersuami” [perempuan-perempuan baik-baik]. kemudian dengan
dihimpunnya dalam satu ungkapan antara al-muhshanat dari ahli kitab dan
al-muhshanat dari orang orang mukminat, sebagaimana tampak kepada kita,
maka itu berarti keduanya merujuk pada satu makna yang sama, yakni “perempuan-perempuan
baik baik”, bukan bermahna mereka yang yang telah memeluk islam karena al-muhshanat
juga ditegaskan Allah ada dari kalanmgan mereka yang telah diberi hitab
suci; dan juga perempuan-perempuan merdeka karena perempuan budak pun halal
dinikahi. Jadi tidak ada makna lain dari al-muhshanat dalam ayat ini
kecuali “perempuan-perempuan” baik-baik.
Berdasarkan uraian-uraian yang lalu,
maka jelaslah bahwa persyaratan halalnya menikahi perempuan-perempuan baik baik
dari ahli kitab bagi pria muslim sebagaimana ditegaskan oleh ayat itu apakah
untuk selamanya atau hanya sementara waktu saja tidak ada penegasan. Tapi yang
jelas dalam ayat itu hanya disyaratkan membayar mahar dan hubungan tersebut
dalam bentuk perkawinan yang sah bukan “kumpul kebo” atau pacaran. Jadi
kehalalan hubungan ialah atas dasar perkawinan yang sah dengan membayar mahar
yang cuhup bukan “kumpul kebo” Dan tak ada persyaratan lain misalnya mengenai
durasi perkawinann apakah untuk selamanya atau hanya temporer saja.
Contoh Penafsiran
Al-Qurthubi Tentang Al-Muhshanat Dalam Al-Qur’an
Al-tahashshun
adalah sesuatu yang terpelihara dan terjaga baik: dari akar ini diambil kosa
kata al-hish (benteng) karena dengan benteng itu orang dapat bertahan dan
selamat. Dalam konteks ini Allah berfirman: “Dan Kami mengajarinya (Nabi Dawud)
membuat baju besi agar dapat menyelamatkan kamu dalam pertempuran” (QS.
al-Anbiya’: 80) artinya dengan baju itu kamu menjadi terpelihara dan terjaga
(dari cedera dalam pertempuran). Lafal al-hishan yang berarti kuda jantan juga
berasal dari akar kata ini karena kuda memang dapat mencegah pemiliknya dari
kecelakaan. Tapi al-hashan berarti al-‘afifat (perempuan baik-baik) karena
kepribadiannya yang baik itu dapat menjaga dirinya dari kehancuran. Perempuan
yang pandai menjaga dirinya kan selalu terpelihara sehingga dia menjadi seorang
yang terpelihara dengan baik.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas berkenan dengan firman
Allah (dan perempuan baik-baik dari mereka yang telah diberi kitab) yaitu
mereka yang mempunyai perjanjian damai dengan pemerintah Islam bukan yang
berada di wilayah perang; jadi ayat itu berkonotasi khusus, (tidak umum bagi
semua perempuan kafir). Tapi ada yang berpendapat bahwa konotasi ayat itu umum
pada semua perempuan kafir, baik yang zimmiyzt maupun yang harbiyyat. Satu
riwayat lagi dari Ibnu Abbas bahwa dia mengatakan:”al-muhshanat” itu artinya
“perempuan baik-baik lagi cerdas”. Menurut al-Sya’bi yang dimaksud dengan
al-muhshanat itu adalah perempuan yang menjaga kehormatannya, sehingga dia
tidak mau berzina dan selalu mandi dari hadas besar (janabat). Al-Sya’bi
membaca ayat itu “al-muhshanat” denga shad bergaris di bawah. Bacaan ini
kemudian diikuti oleh al-Kisa’i. kata Mujahid yang dimaksud dengan al-muhshanat
ialah perempuan-perempuan merdeka bukan budak (hamba sahaya). Menurut Abu Ubayd,
pendapat itu berkonotasi kepada tidak halalnya menikahi budak-budak ahli kitab
karena Allah telah menegaskan (kalau kalian tidak sanggup membayar mahar
perempuan merdeka) maka nikahilah perempuan-perempuan budak yang kamu miliki
diantara gadis-gadis mukminat itu. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama.
Tafsir al-Mizan meskipun mirip dengan al-Qhurtubi, yakni sama-sama didominasi oleh pemikiran rasional, tapi fikihnya tampak dengan jelas memihak kepada konsep syiah. Seperti tertera di bawah ini
dalam ayat itu hanya
disyaratkan membayar mahar dan hubungan tersebut dalam bentuk perkawinan yang
sah bukan “kumpul kebo” atau pacaran. Jadi kehalalan hubungan ialah atas dasar
perkawinan yang sah dengan membayar mahar yang cuhup bukan “kumpul kebo” Dan
tak ada persyaratan lain misalnya mengenai durasi perkawinann apakah untuk
selamanya atau hanya temporer saja.
Penafsiran ini dikatakan memihak
kepada fikih syi’ah karena sampai sekarang syiah masih memperbolehkan nikah
mut’ah.Sementara tafsir Qurthubi mengawali tafsirannya dengtan mencari pemahaman secara bahasa kemudian menuju kepada makna teknis (syar’i), bagaimana pengamalannya oleh nabi dan para sahabat. berdasarkan kondiasi diatas
Selanjutnya dalam bidang fikih Thaba’thabai tampak dengan jelas memihak kepada konsep msyiah, bukan sepertyi al-Zamakjhsyari yang bersikap netral. Dikatakan penafsiran ini mkemihak Syaih karena syiahlah smpai sekarang yang masih memperbolehkan nikah mut’ah, dengan mengamati penafsiran yanmg dikemukakan oleh al-Thabathabai diatas maka jelas bagi kita bahwa tafdsirnya itu menggunakan bentuk tafsir
Bentuk, Metode Dan Corak Dalam Tafsir
al-Mizan
Bentuk
penafsiran dalam kitab tafsir al-Mizan adalah tafsir bi al-ra’yi. dikarenakan
dalam menafsirkan ayat al-Quran Muhammad Husain Thaba’thabai, banyak mengambil
pemikiran-pemikiran ulama dan membandingkannya kemudian beliau analisis.
Sehingga metode yang digunakannya didalam penafsiran ialah metode analitis atau
tahlili. Sedangkan coraknya ialah pemikiran falsafi sebab dalam tafsirnya
banyak bersandar kepada ilmu filsafat yang ia pelajari di Qum.[1]
I.
PENUTUP
Perkembangan
sebuah pemikiran tidak akan dapat dipahami kecuali jika kita memahami
dasr-dasar perkembangan tersebut, seorang penafsir sebereapapun tinggi
kedudukannya bukanlah seorang malaikat[2].
Mereka tidak pernah bisa terbebas dari kelemahan dan keterbatasan yang
manusiawi
Namun
ini semua membuktikan kemukjizatan al-Quran, sebagi mukjizat yang sinambung dan
kekal bersama manusia. Karena setiap kali manusia mengalami perkembangan,
mereka tidak merasakan kitab tersebut tertinggal jauh dibelakang mereka, tapi
beriringan jalan dengan mereka. Bahkan berposisi sidepan mereka. Dari pemahaman
akan kitab itu, mereka dapat mengambil inspirasi.
II.
REFERENSI
Al Banna, Gamal, Evolusi
Tafsir, Qisthi Press, Jakarta, 2004
Baidan, Nashruddin, Wawasan
Baru Ilmu Tafsir, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005
Thabathaba’i, M.
Husein, al Mizan fi Tafsir al Qur’an, Mu’asasat al A’lamy, Beirut.
eraalqur’an.wordpress.com
icc-jakarta.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar